Oleh  : Imanuel R. Balak, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

Berangkat dari judul itulah mungkin merupakan sebuah kalimat yang tepat bagi penulis menggambarkan realita yang terjadi di Kab. Kepulauan Tanimbar, Kec. Wermaktian Seira pada khususnya beberapa pekan terakhir ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa persoalan Andon atau penangkap ikan atau telur ikan yang tidak perlu lagi penulis gambarkan secara gamblang dalam tulisan ini, menurut hukum sesuatu yang telah diketahui umum tidak perlu dibuktikan (Notoire Feiten notorius), jika kita gubris dalam konteks hukum pembuktian.

Esensinya adalah bahwa persoalan yang terjadi saat ini menyita perhatian masyarakat Seira secara serius, baik di Seira sendiri maupun di luar Seira. Atas eksistensi Andon Penangkap Ikan yang diketahui akhir-akhir ini tidak prosuderal  sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 2012 silam.

Melihat kondisi yang tidak elok ini, penulis mengajak pembaca untuk sama-sama kita pahami hal ini dengan menggunakan pendekatan dari kaca mata hukum secara yuridis normative yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksaan pengeluaran izin kapal penangkap ikan di Perariraan Kabupaten Kepulauan Tanimbar terlebih khusus Kecamatan  Wermaktian Siera. 

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bahan informasi bahwa pada umumnya terkait dengan izin andon penangkap ikan menggunakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2014 tentang Andon Penangkap Ikan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Andon Penangkap Ikan.

Langkah yang sangat Panjang dilalui oleh Ikatan Keluarga Lima Satu Seira (IKLAS-AMBON), dalam mengadvokasi persoalan andon ini, sampai saat sekarang tak kunjung selesai, terdapat fakta yang ditemui dilapangan dalam proses advokasi yang dilakukan IKLAS Ambon ternyata ada beberapa hal prinsip yang jauh dari perintah regulasi.

Oleh karena itu sebagai orang yang sedikit memahami hukum, penulis mengajak kita untuk menganalisa secara hukum melalui tulisan ini:

Tentang Perizinan Andon

Setelah melakukan pencarian data dan fakta dilapangan, ditemukan bahwa  diantara sekian andon yang beroperasi di wilayah administrasi Kab. Kepualaun Tanimbar, ternyata semua tidak memiliki izin, alias tidak dilegalkan di Provinsi Maluku.

Artinya bahwa jika mengacu pada statement Sekdis Perikanan Provins tersebut, sangat tegas dan jelas,  bahwa telah terjadi Pelanggaran hukum, dan itu bukan hanya pelanggaran hukum dalam konteks Administrasi, akan tetapi juga meiputih pelanggaran hukum pidana.

Pertama; Pelanggaran hukum, dalam konteks administrasi tidak lain adalah tegas dan jelas andon-andon tersebut tidak memiliki izin secara tertulis dari pejabat yang berwenamg, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2020, yang dituangkan dalam BAB III Tentang Kewenangan Mmberikan Izin Andon.

Kedua; Pelanggaran hukum pidana, yaitu sebagaimana dituangkan dalam berbunyi sebagai berikut “Pasal 93 ayat (1), Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Artinya sangat jelas terjadi ”Normanvertrading” atau Pelanggaran Norma dan itu ada, akan tetapi seakan system eror sehingga sama sekali pelanggaran-pelanggaran ini tidak meresponi. Dari fakta- fakta ini, seakan mencoret marwa Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah Negara Hukum”, maupun marwa penegakan hukum (Law Enforcement) di Indonesia, hal ini sangatlah ironis.

Terkait Mekanisme Pemberian Izin

Bahwa mekanisme pemberian Perizinan Andon Penangkap Ikan secara eksplisit dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2020.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2020 Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Andon penangkap ikan dilakukan oleh kapal penangkap ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antar Gubernur” sedangkan ayat (2) “ Kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama Penangkapan ikan oleh Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk”.

Jika dikaitkan dengan fakta dilapangan maka tidak ada sama sekali dasar hukum yang digunakan oleh andon-andon tersebut untuk melakukan operasi pada wilayah sebagaiamana tersebut diatas, sehingga terhadap hal ini lahi-lagi terjadi pelanggaran hukum, namun sayangnya system tetap matot sehingga .

Bahwa secara eksplisit dituangkan dalam BAB III PERMEN tersebut tentang “Kewenangan Penerbitan Izin Andon Penangkap Ikan” yang memiliki dua Pasal saja yaitu Pasal 7 dan 8.

Agar lebih jelas saya gambarkan bunyi Pasal 7 sebagai berikut; “Gubernur berwenang memberikan izin SIPI Andon dan TDKP Andon, untuk Kapal penangkap ikan yang melakukan Andon penangkapan di wilayah administrasinya”.

Ini adalah Ius Constitutum atau hukum positive yang seharusnya merupakan sebuah kewajiban untuk dijalankan. Berikut bunyi Pasal 8 yaitu “Penerbitan SIPI andon dan TDKP andon oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas atau Pejabat yang ditunjuk”.

Dari redaksi kedua pasal tersebut maka kesimpulan akhirnya adalah Ilegal. Namun lagi-lagi system hanya mampu melihat saja keleluasaan para andon penangkap itu berkeliaran di wilayah administrasi Kabupaten Kepualauan Tanimbar atau mungkin ada uang parang yang dapat memuluskan itu, saya kurang tahu. Mari kita melihat ini dari sisi teori hukum (Law Theory) Bahwa dalam teori hukum, kita mengenal yang namanya Asas Legalitas.

Pada prinsipnya asas tersebut dalam konteks hukum administrasi dapat dimaknai sebagai berikut; “Setiap tindakan pejabat tata usaha negara harus berdasar pada Peraturan Perundang – undangan yang berlaku”.

Itu lalu kemudian sejalan dengan konsep negara hukum Indonesia yang menganut dan mengutamakan “Positivisme hukum” atau hukum positive (Ius Constitutum) yang dalam arti luas dapat dimaknai dengan “Apa yang dituangkan secara tertulis dalam undang-undang, itulah yang kemudian harus dijalankan negara, dalam hal ini Pemerintah maupun rakyat”, sedangkan (Ius Constitutum) dalam arti sempit yaitu hukum yang ada dan berlaku saat ini.

Menyambung hal tersebut lalu kemudian sejalan dengan asas (Lex posterior derogat legi priori) yang mengandung makna, “Hukum yang baru menyampingkan hukum yang lama”.  Asas ini lalu memberikan ketegasan secara mutatis mutandis, PERMEN 36 Tahun 2014 tidak lagi berlaku, akan tetapi yang berlaku adalah PERMEN 25 Tahun 2020.

Jika dikorelasikan dengan facta dan persoalan perizinan yang terjadi saat ini, maka mestinya yang digunakan sebagai dasar rujukan beroperasinya andon-andon tersebut tidak lain yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Andon Penangkap Ikan.

Mengakhiri tulisan yang kurang bermakna ini penulis ingin menyampaikan sebuah pertanyaan kepada Pemerintah Provinsi Maluku dalam hal ini Dinas Perikanan yang mengeluarkan statement bahwa Praktek andon penangkap ikan di Maluku TIDAK DILEGALKAN.

Pertanyaan itu tidak lain ialah Kenapa kapal–kapal tersebut melakukan operasi di Wilayah Kab. Kepulauan Tanimbar, seperti bola yang digelinding ke arah gawang tanpa penghalang.???

Harusnya Pemerintah Provinsi Maluku dalam hal ini Dinas Perikanan sebagai dinas terkait yang diberikan wewenang oleh hukum mengabil tindakan baik itu preventif maupun represif untuk mencegah praktek liar tersebut, dan bukan malah mendiami.

Ini seakan memberikan pertanyaan tersendiri bagi kita, ada apa, ada apa, dan ada apa.? Lalu jawabannya nanti tanyakanlah kepada Sang Pemilik Hidup. Kalau seperti ini kan sesuatu yang memprihatinkan, lalu rakyat yang dikorbankan sementara Penguasa yang dikenyangkan (**)