Catatan :  Mary Toekan (Pemerhati Sejarah Islam)

Pagi yang indah. Birunya langit dipadu sinar matahari dari celah celah dedaunan yang kembali menghijau tampak cerah. Bunga - bunga liar berwarna kuning, indah tertiup angin di halaman. Rerumputan masih basah, sisa - sisa hujan semalam.

Kudorong kursi roda itu. Tadinya aku pikir agak berat mendorong kursi roda dengan seseorang di atasnya. Ternyata tidak juga. Roda - rodanya dibuat mudah berputar.

Aku sedang asyik menata piring di ruang makan, ketika sebuah sentuhan di lenganku membuatku tersentak. Ku toleh ke belakang. Seorang ibu di kursi roda tersenyum manis padaku.

Ia tak berbicara. Hanya sebatas aba - aba dengan bahasa tubuh. Ku ikuti apa maunya. Aku mendorong kursi roda menuju kamarnya, menekan tombol pintu otomat. Ia meminta remote control dan menyalakan tv, lalu mengucapkan terima kasih padaku.

Ketika akan berlalu, kudengar ia berbicara perlahan dengan dialek Brabantnya.

(Belanda juga mempunyai beberapa dialek seperti Indonesia dengan logat Jawa, Sunda dan lainnya ) 

"Aku menyukaimu. Kamu cocok dengan hoofddoek (jilbab) yang kamu kenakan."

"Ouw...dank u wel, mevrouw.... ! Jawabku sedikit tersipu.

"Mia (bukan nama sesungguhnya). Panggil saja aku Mia. Aku suka padamu sejak pertama kali aku melihatmu minggu lalu "

"Thanks, Mia. Nice to meet you. Aku Mary."

"Hai Mary..."

"Aku juga menyukaimu, Mia...Aku suka penampilanmu. Ok. Mia, ada yang lain yang bisa aku bantu ? "

"Nee, terima kasih. Kamu relawan baru di sini ?"

"Yes ! "

"Kapan kamu akan datang lagi ? "

"Minggu depan. Setiap Selasa aku akan datang ke sini ".

"Maukah kamu minggu depan membacakan buku untukku ? "

"Tentu saja, dengan senang hati....sampai jumpa minggu depan, Mia "

Kututup pintu kamar itu. Dan pagi ini aku mendorong kursi roda, bersamanya kami duduk di halaman samping gedung berkaca tingkat 3 itu.

Ada beberapa kursi dan meja tersedia di taman. Lingkungan ini sangat asri dan tenang. Kawasan senior living atau warga lansia di bawah penanganan sebuah Rumah Sakit di kotaku.

Sedikit dingin. Ku perbaiki syalku dan membetulkan syalnya. Mia masih cantik. Terlihat dari guratan yang menua dengan dua bola mata birunya

"Mia, kamu mau secangkir kopi atau teh? Akan kubuatkan untukmu sebelum aku membacakan buku."

"Aku suka teh. ": katanya.

" Yes! Aku juga."

Mia tertawa. Gigi palsunya terlihat. 76 tahun tapi masih berdandan cantik dengan giwang senada dengan warna bajunya. Badannya tak terlalu besar dariku. Hanya terlihat ringkih. Kakinya tak mampu lagi menahan badannya. Tangannya gemetar jika mengangkat sesuatu.

Kutinggalkan Mia sebentar, berlalu membuatkan seteko teh untuk kami.

'De Zweep' adalah judul buku yang dipilih Mia. Sebuah novel karya Catharina Cookson. Novel Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Kubacakan buku itu untuknya, meskipun tak semua ku mengerti. Sesekali kubuka google translate untuk mengetahui bagaimana cara membaca kata - kata baru sekaligus artinya.

Kadang Mia terkekeh mendengarku terbata - bata mengeja kalimat dengan rangkaian huruf konsonan, seperti 'schaduw' yang harus jelas  terdengar 'sch'nya atau 'slechts' dengan 'chts' nya. Mia membetulkan lafalku.

Setelah beberapa lembar kuhabiskan bacaan untuknya, Mia membuka pertanyaan dengan sedikit hati - hati.

" Mary, boleh aku bertanya ?"

" Ya !" Aku menatapnya.

" Apakah jilbab yang kamu kenakan karena paksaan dari orang tuamu ?"

" Pardon me ? " aku terkejut namun buru - buru kuberi seulas senyum.

Kali ini Mia sedikit khawatir pertanyaannya membuatku tak enak.

"No ! Bukan itu maksudku. Darimana kamu mendengar bahwa kami dipaksa memakai jilbab ? "

Mia terlihat bingung. Matanya berputar, nampaknya Mia berusaha mengingat - ingat : " Ooh...sekedar mendengar dari omongan orang. Aku juga mendengarnya dari berita - berita di tv ."

" Mia...tak ada paksaan sedikitpun dari orang tua kami. Aku memakai jilbab karena keinginanku sendiri. Begitu juga dengan teman - temanku. Kami justru merasa jauh lebih nyaman dan terlindungi."

" Aku melihat beberapa anak memakai penutup kepala sejak kecil." : sambung Mia.

" Yes, Mia...bahwa ada sebagian kami mengenakan jilbab pada putri kecil mereka sebagai bentuk pengenalan pakaian tertutup sejak dini seperti para ibu di sini membiasakan putri-putrinya mengenakan pakaian terbuka di musim panas atau bikini mungil saat berenang."

"Ooo...I see." Mia menepis beberapa lembar anak rambut yang mengganggunya sewaktu tertiup angin.

"Ya, terlalu banyak informasi keliru dari sudut pandang berbeda karena ketidaktahuan. Namun banyak juga berita yang disebarkan dengan sengaja untuk mendiskreditkan Islam. Aku melihat dan mendengarnya langsung dari media - media mainstream."

Mia terlihat serius mendengarku.

"Awal aku tinggal di sini, aku melihat berita tentang seorang wanita Maroko melaporkan suaminya ke polisi ketika ia mengalami KDRT. Tentu saja wanita ini mempunyai hak yang sama dengan siapapun. Langkah itu adalah sebuah bentuk perlindungan diri."

"Tentu saja " : jawab Mia.

"Tapi berita ini di ulang - ulang di media mainstream seakan menjadi suguhan menarik. Setidaknya disiarkan dalam tiga hari tanpa jeda di waktu pagi, siang, malam dan tengah malam. Narasinya sengaja diperjelas bahwa lelaki Islam memang biasa memukuli istri mereka."

"Ya. Aku dengar seperti itu." : sambung Mia.

"Apakah di sini tidak ada kasus KDRT, Mia ? " : tanyaku padanya.

"Banyak. Makanya Belanda punya sistem perlindungan yang cepat dan terstruktur. Ada 'vluchthuizen' semacam rumah penampungan sementara. Negara menyediakan pendampingan psykologis dan hukum secara gratis dari lembaga sosial dan bantuan hukum. Bahkan ada organisasi 'Veilig Thuis' khusus menangani KDRT."

"Itu maksudku, Mia. KDRT bukanlah khas satu kelompok saja tapi fenomena yang terjadi di masyarakat secara luas."

Mia mengangguk setuju.

"Ceritaku belum selesai, Mia. Dua hari setelah berita itu, tersiar kabar tentang seorang pria lokal menghabisi nyawa istrinya. Media hanya menulis singkat: 'pelaku menderita gangguan jiwa'. Tak ada liputan berhari-hari, tak ada sorotan panjang seperti saat perempuan Maroko yang ditinju suaminya."

"Aku mengira di sini negara maju. Full akan toleransi. Nyatanya tidak untuk Muslim. Kamu tahu, Mia...seberapa kuatnya kami harus  berjuang mempertahankankan jilbab ini ?" : lanjutku.

Mia terdiam...menatapku dalam.

"Aku pernah merasakannya. Ketika turun dari mobil untuk berbelanja. Datang seorang lelaki dengan muka tak ramah, mengangkat kedua tangannya tepat di hadapanku dengan dua ibu jarinya mengarah ke bawah."

Mia kaget..." Mengapa kamu tak membalas menunjukkan jari tengah kepadanya ?"

"Ow...aku hampir menendang perkututnya !"

Kami tertawa...

"Bisa saja kulakukan, Mia...tapi aku takut jilbabku ditarik."

"Memang ada yang berani melakukan itu? " : alis Mia berkerut.

"Yes ! Meskipun aku melihat peringatan di mana - mana untuk tidak melakukan diskriminasi. Belakangan baru kumengerti, ternyata di Eropa tingkat diskriminasinya lebih parah dibanding dengan Amerika."

"Beberapa kali aku melihat video teman - teman Muslimahku diperlakukan tak baik, bahkan ada yang ditendang jatuh menggelinding dari tangga di stasiun kereta. Ada pula yang jilbabnya ditarik saat bersepeda.

Kali ini pelakunya sempat terekam kamera ponsel dan dilaporkan ke polisi. Ia dijatuhi denda 1000 euro. Organisasi Muslim di sini sedang mengupayakan agar siapapun pelaku diskriminasi terhadap Muslimah dikenakan  denda setinggi mungkin sebagai efek jera."

Mata Mia terbelalak.

"ooh Jesus ! Mengapa ada orang sejahat itu." : sambung Mia.

"Sorry Mia...aku terbawa emosi sehingga mencurahkan isi hatiku seperti menumpahkan seember air di hadapanmu tanpa bisa kuhentikan."

"Nee...aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Senang sekali berteman denganmu. Thanks telah membukakan jendela Islam padaku. Ternyata banyak sekali disinformasi tentang kalian."

"It's always a pleasure, Mia...! : sambil bercanda memberi hormat anggun dengan sedikit menekuk lutut.

Mia tertawa renyah..

"Ayo, anginnya mulai kencang." : Aku menutup pembicaraan pagi kami.

Kubereskan meja dan mendorong kursi rodanya ke lobby. Bersamanya menikmati sejenak dentingan piano mevrouw Wina yang sering bermain piano di lobby lalu mengantar Mia kembali ke kamar.

Begitulah kami saling mengenal. Pandangan Mia tentang wanita berjilbab perlahan berubah. Setidaknya Mia mulai memahami bahwa jilbab adalah pilihan sebagian wanita Muslim sebagai jati diri mereka.

Mia selalu memintaku membacakan buku setiap Selasa lalu menanyakan tentang kultur Islam. Aku bercerita padanya bagaimana Islam menjaga wanitanya dan hak - hak wanita Muslim dalam Islam.

Mia terkesima. Dia tak pernah membayangkan betapa Islam memuja wanita hingga tiga kali derajat ibu atas ayah bagi anak - anak mereka. Bagaimana peran suami sebagai kepala keluarga. Sebuah tanggung jawab utuh atas istri dan anak - anaknya.

Mia adalah salah satu contoh korban kekuatan media mainstream berupa penyebaran berita dengan formula yang didesain. Kini media mainstream mengalami kelumpuhan sejak arus informasi dapat diakses langsung tanpa perantara mereka lagi.

Sejak itu kami berteman baik. Aku sangat menikmati kegiatan ini. Rasanya seperti sedang membayar semua perhatian yang belum banyak ku berikan pada papa dan ibu. Mengurus para orang tua.

????????????

Sore itu kami menerima tamu di rumah. Teman dekat pak suami datang makan malam bersama kami. Sebut saja namanya Theo.

Theo adalah teman terdekatnya jauh sebelum aku mengenal suamiku. Ia masih muda berasal dari Polandia. Mereka pernah melakukan perjalanan dengan mobil Belanda - Polandia dan menginap di rumah orang tuanya Theo. Hubungan pertemanan mereka sangat akrab.

Aku diperkenalkan dengan Theo. Sosoknya tenang, sopan dan kelihatannya hangat. Setelah makan, kami ngobrol ringan di beranda belakang. Kubuatkan kopi untuk mereka lalu pamit bergegas sholat Maghrib di kamarku di lantai atas.

Usai sholat aku turun kembali. Waktu itu aku belum memutuskan berhijab. Tak ada identitas sebagai Muslim.

Ada yang berubah. Wajah Theo terlihat kaku ke arahku. Ia buru - buru pamit tanpa sepatah katapun padaku. Nampaknya sesuatu sedang terjadi. Aku menoleh pada suamiku.

"Ada apa dengannya ? "

Suamiku menghela napas. "Theo memutuskan pertemanan kami."

Aku terdiam. " Mengapa ?"

" Karena aku menikah dengan orang Islam !"

"What....!!! " Aku menatapnya tak percaya. Seumur hidupku aku baru pernah mendengar kalimat seperti itu.

"Ya. Aku tahu sekali tentangnya. Dia tak akan mau berteman dengan orang Islam. Ketika dia tahu kamu beragama Islam tadi saat kamu pamit sholat, dia tak mau lagi berteman dengan kita. It's ok, honey...anggap saja kita tak pernah mengenalnya."

Kubuka pintu dan berlari mengejarnya.

Yang ingin kulakukan adalah berteriak sekeras- keras padanya :

" Segera keluarkan semua isi makanan dalam perutmu itu, meneer ! Muntahkan saja...dan jangan pernah menyentuh depan rumahku lagi ! "

Tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku membisu. Hanya menatap mobilnya yang menghilang di tikungan jalan. Mataku berkaca - kaca. Itu luka...sakit tak berdarah.

Kisah pertama yang tertoreh dalam lembar pertamaku di negri ini.

????????????

Berbeda lagi dengan perjalanan suamiku memahami rumah ibadah umat Islam.

Bertahun-tahun aku baru mengerti, mengapa suamiku begitu gelisah setiap kali aku mengajaknya ke masjid. Ia mengalami trauma imajinatif masjid akibat indoktrinasi media dan orang-orang sekelilingnya.

Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa masjid bukanlah rumah do'a tapi tempat ritual misterius. Kisah yang sama banyak aku temukan pada cerita para muallaf di sini.

Imaji ini semakin kuat setelah peristiwa Charlie Hebdo saat kartun Nabi Muhammad dengan latar belakang api, dirilis Prancis tahun 2006.

Gambar ini aku saksikan sendiri dipublikasikan kembali dalam sebuah acara talk show di televisi tahun 2015 karena serangan balik beberapa anak muda yang mengaku Islam ke kantor Charlie Hebdo, Prancis.

Entah mengapa gambar itu memutar kembali akan sejarah Perang Salib untukku. Perang berseri mempertemukan Dunia Islam dan Barat Kristen dalam pertarungan berdarah selama ratusan tahun.

Masa itu, Muslim tak sekedar musuh politik, tetapi juga musuh spiritual. "Saracen" adalah istilah yang disematkan kepada umat Muslim. Islam dianggap agama penyembah berhala, pengaruh cerita banyaknya patung di sekitar Ka'bah. Padahal itu kisah sebelum Islam.

Islam dituduh pengikut ajaran palsu dari nabi palsu dan bahkan agama pemuja api tersebab sejarah Persia dengan majusinya. Kesalahan- kesalahan persepsi ini diramu dalam setiap memori generasi Eropa.

Kekeliruan pemahaman semakin keruh dengan adanya ritual Hari Asyura yang digelar setiap tahun di Iran sebagai peringatan tragedi Karbala, di mana sebagian mereka melakukan ta'ziyah dengan cara self-flagellation (menyakiti diri) sebagai bentuk duka mendalam atas wafatnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husain.

Ritual ini sekaligus menggugah ingatanku tentang film "The Da Vinci Code". Film yang diadaptasi dari novel karya Dan Brown tahun 2006. Salah satu sinnya, menceritakan tokoh Silas seorang biarawan Opus Dei yang sering mencambuk dirinya sendiri (self-flagellation) sebagai bentuk pertobatan dan penebusan dosa.

Memang dulu di abad pertengahan praktik ini dilakukan oleh sebagian kelompok Katolik dengan keyakinan bahwa penderitaan fisik bisa mendekatkan mereka pada penderitaan Kristus. Namun ritual ini telah lama ditinggalkan gereja Katolik.

Akibat adanya kemiripan ritual dengan Hari Asyura tersebut, maka masyarakat Eropa semakin percaya bahwa di dalam masjid, umat Islam masih melakukan praktik yang sama hingga kini.

Syiah dengan ta'ziyah seperti itu, hanyalah 10 persen dari jumlah umat Islam Sunni di muka bumi yang tak mengenal ritual sejenis itu. Islam justru melarang perbuatan menyakiti diri sendiri.

Inilah kekeliruan besar. Dijejalkan dalam memori generasi Eropa. Mereka mengira Iran adalah Arab. Dan Arab mewakili wajah Islam. 

Dan aku membutuhkan waktu panjang berjibaku melawan media mainstream untuk kesembuhan trauma imajinatif suamiku.

Sungguh sebuah perjuangan tak gampang.

????????????

Aku sedang sibuk melayani dua orang dari Ukraina membawa selembar surat dari kantor pemerintah kota untuk mendapatkan beberapa lembar pakaian di toko tempat aku bekerja paruh waktu.

Kolegaku sebut saja Amina. Ia wanita berhijab asal Somalia, lebih dulu dua tahun bekerja di sini. Berlari ke arahku dan membisikkan :

"Hati - hati...di belakang sana ada seorang pelanggan, baru saja berteriak mengusirku ! "

"What..!! "

"Ya....jika ia melihatmu, ia akan melakukan hal yang sama." Amina mengingatkanku.

" Mengapa harus terima mereka bekerja di sini ? Suruh mereka pulang ke Arab. Tempat mereka bukan di sini ! " kudengar teriakan dari jarak yang tak jauh dariku.

Semua orang terpaku tak percaya. Beberapa kolega berlari ke arahku. Cindy, Gina, Ans, Dea, Gerdy semua menghambur mengelilingku. Suasana hening beberapa detik.

" Hai meneer, di toko ini tak boleh ada diskriminasi. Tangannya menunjuk ke pintu. Tinggalkan toko ini atau kutelepon polisi...!" : Khaled, kolegaku asal Syria berbicara dengan tegas menantang langsung lelaki itu.

Erick, manajer toko menggiringnya ke luar dan mengancamnya jika datang kembali, kami akan memanggil polisi. Atmosfer toko berubah jadi sarang lebah. Semua orang mendengung. Entah apa yang dibicarakan.

Seorang ibu menghampiriku. Ia mengelus tanganku.

"Are you okay ? "

"Yes, mevrouw..I'm alright...thanks. " Tapi mataku berkaca - kaca. Dadaku sesak. Amina memelukku.

"Resiko berhijab !" : bisik Amina.

"Yes. I know, Amina."

Salah satu dari dua lelaki Ukraina di depanku nyeletuk mencairkan suasana :

"Itu belum apa - apa...kami ini betul - betul terusir dari negri sendiri loh ! "

Semua orang tertawa. Suasana kembali normal. Dan ruang memoriku menyimpan peristiwa itu.

????????????

Kini dunia perlahan berubah. Pandangan terhadap umat Muslim tak lagi sekelam dulu.

Tragedi tanah para Mujahid seolah membuka kotak pandora, membongkar tirai - tirai bisu yang menutupi kebenaran.

Lajunya arus informasi meruntuhkan semua dinding sejarah. Aku merasakan langsung perubahan itu. Ketegangan berganti kedamaian.

Ramadhan Mubarak dan Eid Mubarak semakin hangat diucapkan teman-temanku maupun pengunjung di tempatku bekerja. Aku selalu menyambut saudara Muslimku dengan salam,

“Assalamu’alaikum…”

Dan kini, salam khas Islam ini tak lagi terdengar asing. Menjadi bagian dari keseharianku bekerja. Menembus batas - batas bahasa dan budaya.

Sementara saudara-saudara kita di tanah keberkahan masih berdarah. Dunia semakin menggema menyuarakan hak atas setiap bangsa. Menggugah nurani, menyatukan kemanusiaan di atas sekat agama dan bendera.

Dan aku akan terus berusaha menjadi duta Islam di negri ini. Hijab tak lagi jadi sebuah penampilan aneh. Luka-luka itu berangsur sembuh.

Be the Ambassador of Islam. Kalimat ini berbisik merdu di ruang hatiku.

Wallahu a'lam bishowab.

Geldrop, 25 Dhul Qi'dah 1446 H.