Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa masjid bukanlah rumah do'a tapi tempat ritual misterius. Kisah yang sama banyak aku temukan pada cerita para muallaf di sini.

Imaji ini semakin kuat setelah peristiwa Charlie Hebdo saat kartun Nabi Muhammad dengan latar belakang api, dirilis Prancis tahun 2006.

Gambar ini aku saksikan sendiri dipublikasikan kembali dalam sebuah acara talk show di televisi tahun 2015 karena serangan balik beberapa anak muda yang mengaku Islam ke kantor Charlie Hebdo, Prancis.

Entah mengapa gambar itu memutar kembali akan sejarah Perang Salib untukku. Perang berseri mempertemukan Dunia Islam dan Barat Kristen dalam pertarungan berdarah selama ratusan tahun.

Masa itu, Muslim tak sekedar musuh politik, tetapi juga musuh spiritual. "Saracen" adalah istilah yang disematkan kepada umat Muslim. Islam dianggap agama penyembah berhala, pengaruh cerita banyaknya patung di sekitar Ka'bah. Padahal itu kisah sebelum Islam.

Islam dituduh pengikut ajaran palsu dari nabi palsu dan bahkan agama pemuja api tersebab sejarah Persia dengan majusinya. Kesalahan- kesalahan persepsi ini diramu dalam setiap memori generasi Eropa.

Kekeliruan pemahaman semakin keruh dengan adanya ritual Hari Asyura yang digelar setiap tahun di Iran sebagai peringatan tragedi Karbala, di mana sebagian mereka melakukan ta'ziyah dengan cara self-flagellation (menyakiti diri) sebagai bentuk duka mendalam atas wafatnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husain.

Ritual ini sekaligus menggugah ingatanku tentang film "The Da Vinci Code". Film yang diadaptasi dari novel karya Dan Brown tahun 2006. Salah satu sinnya, menceritakan tokoh Silas seorang biarawan Opus Dei yang sering mencambuk dirinya sendiri (self-flagellation) sebagai bentuk pertobatan dan penebusan dosa.

Memang dulu di abad pertengahan praktik ini dilakukan oleh sebagian kelompok Katolik dengan keyakinan bahwa penderitaan fisik bisa mendekatkan mereka pada penderitaan Kristus. Namun ritual ini telah lama ditinggalkan gereja Katolik.