SEPERTINYA kita baru saja dihadapkan dengan sebuah permainan rumit dalam kehidupan kita. Semua rutinitas keseharian diuji untuk sejenak berhenti. Dari hal-hal besar yang kerap menjadi target kita, terpaksa menjadi samar-samar, karena perubahan rutinitas yang drastis.

Pernahkah dalam benak kita bertanya tentang sebuah alasan yang menjadi pemicu kenapa kevakuman itu terjadi? Sungguh, jawabannya pasti ini semua kerena musibah.

Tidak salah jika jawaban itu muncul. Tapi sebenarnya, yang terjadi karena kebiasaan kita berpikir hal-hal yang besar, sehingga mangabaikan hal-hal kecil, lantaran tubuh kita tidak imun terhadap penyakit ‘megalomania’ dengan selalu merasa berkuasa.

Sampai disini, seharusnya kita bisa kembali mengingat kata-kata orang bijak yang menyatakan “Jika kita mampu mengobati semesta mikro yang ada di sekeliling kita, niscaya semesta makro akan mengalami kesembuhan dengan sendirinya,”.

Kadang kita travelling (mengembara) ke mana-mana, tapi tak pernah terketuk untuk mengembara ke dalam diri. Kadang kita pun sibuk menilai dan membaca orang lain, tanpa ada kemauan untuk berusaha membaca diri.

Boleh jadi kita melakukan sesuatu yang secara kasat-mata dianggap besar dalam penilaian manusia, namun belum tentu itu berharga dalam pandangan Tuhan. Begitupun sebaliknya, mungkin saja kita melakukan sesuatu yang nampaknya kecil dan sepele, tapi ternyata cukup besar artinya di mata Tuhan.

Seperti itulah apa yang terjadi saat ini. Wabah virus Corona (COVID-19) telah membawa kita harus masuk ke dalam semesta mikro yang kerap kita abaikan di separuh hidup kita.  Apa contohnya?

Kita harus menjaga kebersihan diri, agar tidak terinfeksi virus dan bakteri,  kita harus lebih banyak waktu di rumah bersama keluarga,  agar bisa lebih dekat dengan anak dan istri,  kita harus mengkonsumsi makanan yang bisa menambah daya tahan tubuh, agar tidak selalu konsumsi makanan instant dan terbiasa menikmati pangan lokal yang selama ini dikonsumsi kaum papa.

Kemudian,  kita harus mengurangi berpergian, nongkrong, shopping (belanja) dan hura-hura,  agar terhindar dari sifat konsumtif dan juga bisa merasakan apa yang dialami kaum papa. Dan seterusnya yang menjadi kebalikan dari semua apa yang kita lakukan selama ini.

Semua yang diharuskan saat ini, tentunya menjadi rutinitas yang berlawanan dengan kebiasaan kita sebelumnya. Virus corona hanyalah problem fisik. Belum menyangkut yang lebih terdalam, faktor psikis manusia.

Sebab, tubuh manusia modern (milenial) dapat diibaratkan sebagai sistem keamanan dalam tembok-tembok kerajaan yang rapuh. Analogi seperti ini ada benarnya.

Penyakit degeneratif yang menyerang sistem kekebalan tubuh kita, seperti COVID-19, dikarenakan sehari-hari pergaulan hidup kita yang rentan terhadap penyakit. Makanan cepat saji, lemak, kolesterol, gula dan lain-lain.

Di sisi lain, seberapa banyak dari anggota tubuh kita yang bergerak – kecuali jari tangan, leher dan bola mata – ketika berjam-jam kita menghadapi laptop, komputer, gadget dan perangkat teknologi lainnya.

Bukan saja tembok kerajaan yang rapuh, tapi balatentara pun tertidur pulas. Sementara kekuatan musuh terus mencari-cari inovasi dan strategi baru, maka virus jenis apapun yang menyusup masuk sambil mendobrak benteng kerajaan, jelas mengagetkan semua pihak.

Kita semua harus berani membalik logika bahwa kebutuhan manusia saat ini semakin berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya kecil, simpel, dan sederhana. Saat ini adalah era di mana kita harus mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar.

Kita harus berpikir ke dalam (inward), bukan lagi keluar (outward). Karena penyebab persoalan bangsa yang tak pernah kunjung usai ini, dikarenakan kita sibuk berpikir dalam skala makro, rumit, njelimet, mempersulit diri. Dan akar masalahnya, memang dibikin-bikin oleh ulah dirinya sendiri.

Memang sulit untuk disangkal dan dimungkiri, lantaran pikiran manusia hakikatnya dikendalikan oleh faktor terdalam yang kemudinya adalah self awareness (kesadaran diri).

Solusi bagi peradaban masa depan adalah petualangan dan pengembaraan kita ke dalam diri, sebagai inti dari semua makhluk hidup, yakni lingkungan sekitar hingga ke sel-sel dan molekul dalam tubuh kita.

Jika kita mampu melakukan semua yang terbalik ini, pastinya sehebat apapun ancaman lawan ke tembok kerajaan (tubuh kita), tentunya kita tidak harus lagi menunggu himbauan, arahan bahkan maklumat dari meraka yang berkompoten, karena balatentara telah siap di balik tembok kerajaan dengan tangguh untuk  melawan musuh.

“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” (HR. Tirmidzi) (***)