PERNYATAAN Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat membuat publik Maluku meradang. Viktor sesumbar mengklaim daerah yang dipimpinnya akan mendapat jatah participating interest (PI) atau hak partisipasi bagi daerah 5% pengelolaan Blok Gas Masela yang akan dimulai pada tahun 2025 mendatang.

Menyimak pernyataan Viktor laksana petir menyambar di siang bolong. Kita lalu mengaitkan apa kewenangan dan  NTT dalam proyek Blok Masela ini.  Pernyataan Viktor seakan pertanda sebagai ‘legacy kerakusan’ yang dilanjutkan dari  pemimpin NTT sebelumnya.

Memang,  polimik seputar PI 10% ini jauh sebelumnya sudah menjadi rebutan oleh NTT, saat daerah itu dipimpin Gubernur  Frans Lebu Raya. Upaya Frans akhirnya kandas saat itu.

Pemerintah melalui Menteri ESDM yang dijabat Sudirman Said  saat itu sudah memutuskan hak 10 %  di Blok Masela hanya milik Maluku dan meminta  Frans Lebu Raya harus mematuhinya.

Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat meresmikan patung pahlawan nasional Johanis Leimena, di Ambon pada 9 Juni 2012. SBY menegaskan Maluku sebagai pemilik  Blok Masela akan kebagian PI 10%.

Jika dikaji dengan seksama, maka upaya Viktor merebut jatah PI 10% bagi Maluku, dengan menyertakan pengakuan persetujuan dari Presiden Jokowi sepertinya hanya sebuah geratakan.

Secara geografis NTT bukan bagian dari Maluku, lebih dari itu kesepakatan Viktor Laiskodat dengan Presiden Jokowi seperti yang diungkapkan, tidak bisa sekejap merubah  ketetapan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 persen pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

Selain itu, pernyataan Viktor sepertinya lebih pada trik politik yang dimainkan.   Sebab, dalam revisi plan of development (POD) yang sudah disetujui Presiden Jokowi sama sekali tidak menyebutkan NTT sebagai daerah penghasil.

POD hanya menyebut nama Kepulauan Tanimbar di Maluku. Dalam tataran kebijakan selama ini, Maluku juga selalu disebut sebagai pemilik sah jatah PI 10% itu.

Berkali-kali pemerintah pusat  melalui Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) sudah menggelar pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Maluku dan juga  Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebagai daerah penghasil.

Seperti yang digelar SKK –Migas dengan Pemkab Kepulauan Tanimbar  pada Jumat 21 Juni 2019 di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga menyampaikan, pihaknya telah menggelar pertemuan dan membahas mengenai PI 10%   yang menjadi hak partisipasi bagi daerah.

Dwi bahkan memastikan Provinsi Maluku mendapatkan PI 10% sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 persen pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

“Pemerintahkan sudah menentukan PI 10%,” kata Dwi kepada Pers saat itu.

Apalagi Presiden Jokowi usai menyetujui POD Blok Masela juga secara langsung di Istana sudah meminta Inpex Corporation selaku kontraktor untuk mengutamakan kepentingan daerah Maluku selabagai daerah penghasil.    

Ini artinya POD (rencana pengembangan)  Blok Masela sudah final di Kepulauan Tanimbar, Maluku dan langkah selanjutnya yang ditempuh saat ini adalah Final Investment Decision(FID).

Pengembangan hulu migas di Blok Masela diharapkan dapat memberikan kontribusi tambahan produksi gas bumi sekitar ekuivalen 10,5 juta ton (mtpa) per tahun (sekitar 9,5 juta ton LNG per tahun dan 150 mmscfd gas pipa) dengan target onstream di tahun 2027.

Setelah revisi POD disetujui maka Indonesia dalam kontraknya akan menerima sekitar USD 39 billion, dan Inpex sekitar 37 (miliar dollar AS), yang didalamnya sudah termasuk  PI 10 % persen milik  daerah penghasil.

Ini artinya, keputusan final yang sudah disepakati bersama adalah hak pengelolaan atau PI 10% milik daerah Maluku itu sudah disepakati akan ditanggulangi oleh Inpex Corporation selaku kontraktor.

Lalu dengan cara apa NTT di bawah komando Viktor Bungtilu Laiskodat dapat menyeruduk POD yang disepekati dengan mengambil alih jatah PI 10% dari tangan Inpex itu? 

Satu hal yang harus dipahami, jika benar ada keinginan dari Presiden Jokowi untuk membagikan PI 10% itu, maka yang pertama harus ditempuh adalah merevisi kembali POD yang sudah dipakati antara pemerintah pusat dengan Inpex Corporation dan juga merevisi ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 persen pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

Selajutnya, Provinsi NTT dibawah kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat harus menyertakan modal 5% yakni sebesar Rp.14 trilun lebih, agar bisa masuk sebagai pihak yang ikut bermain dalam pengembangan blok gas Masela di Kepulauan Tanimbar Maluku.

Apakah semudah itu? Jika ini terjadi maka Gubernur Viktor cukup luar biasa karena mampu menyeruduk kepentingan Maluku dan juga regulasi dan kesepakatan yang sudah dijatuhkan para elit bangsa.

Hanya satu catatan dari permainan ini, bahwa Presiden Jokowi juga pernah meminta Viktor Bungtilu Laiskodat untuk masuk ke dalam kabinet yang baru saja dibentuk. Tapi Viktor akhirnya pulang dengan tangan kosong.  Jangan sampai hal ini kembali terjadi, karena pengakuan belum tentu berbuah hak veto (***)