Semua media  memberitakan insiden mati karena kelaparan yang melanda 3 warga Maluku. Tiga orang Suku Mausu Ane, mati karena kelaparan. Topik ini menohok.  Mereka adalah warga yang menempati wilayah petuanan Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Kobi, Kabupaten Maluku Tengah.

Berita kematian karena lapar, menggelegar kemana-mana. Seakan klop dengan ‘lebel’ miskin yang kini disandang daerah Maluku. Ini sama halnya dengan kombinasi pukulan straight dan hook. Kombinasi pukulan ini telak mengena wajah Maluku. Dalam dunia tinju, kedua jenis pukulan ini mematikan lawan. Sama persis yang dialami Maluku kekinian. Sudah miskin, mati lapar pula.

Yang paling menohok dari kabar tak sedap ini, adalah lokasi tempat tinggal warga yang terkena bencana itu. Kenapa? Kecamatan Seram Utara Kobi, adalah salah satu kawasan yang sudah dicanangkan menjadi sentra lumbung pangan (beras/jagung) di Provinsi Maluku.

Masih segar dalam ingatan kita. Tak jauh dari petuanan Maneo Rendah itu, September tahun 2017 silam, tepatnya di Desa Samal, Menteri Pertanian (Mentan) RI,  Andi Amran Sulaiman  bahkan mencanangkan penanaman perdana padi pada luasan lahan 600 ha. Maka tak berlebihan,  bunyi pribahasa “ayam mati di lumbung padi” seakan terbukti.

Kedatangan Mentan  RI kala itu menjadi “suplemen” bagi Maluku dalam bidang pertanian. Target swasembada pangan makin menguat. Para petinggi di daerah ini ‘sumringah’ saat mendampingi sang menteri. Maluku menjadi salah satu daerah yang kecipratan bantuan segala jenis alsintan (alat mesin pertanian) dan sarana produksi (saprodi), termasuk petani di wilayah Seram Utara.  Tentu ini kebijakan yang jitu, setelah kunjungan itu, tapi juga ironi.

Ada harapan dan ada prahara di satu wilayah yang sama. Sangat menggelikan bagi kita.  Siapa yang salah? Jika dirunut lebih jauh, maka pemerintah daerah patut divonis bersalah atas kondisi ini. Kita harus ‘to the poin’ mengakui itu.

Alasannya, cukup kuat.  Warga Mause Ane hidup di alam bebas,  tanahnya subur berhumus tebal.  Seperti bunyi analogi dalam lirik  lagu band lagendaris Koes Plus, “tanah kita tanah surga tongkat dan kayu jadi tanaman”.

Untuk bertahan hidup mereka menanam tanpa pupuk, tanpa pestisida bahkan jauh dari alsintan, alam memberi garansi kepada hidup mereka, meski menuai hasil apa adanya.  Hanya untuk sajian di meja makan keluarga.

“From farm to table”. Harusnya mereka sehat, karena mereka menganut sistem pertanian  terpadu yang ramah lingkungan. Tapi sayang, mereka jauh dari sentuhan  intervensi pemerintah, maka bila  “Sus scrofa” dan “Muridae” berkoalisi  menyerang, tamatlah riwayat hidup mereka.

Sementara, tak jauh dari pemukiman meraka ada warga yang menuai hasil panen berlimpah dan rutin menabur benih, rutin  pula mendapat kucuran bantuan pemerintah. Mereka terorganisir dengan apik, kebutuhan mereka dipantau, jika minus dimaksimalkan sesegera mungkin. Akses bagi mereka apalagi? Dibina, disubsidi dan bahkan diberdayakan selamanya.

Insiden kematian  warga Suku Mause Ane, tentunya menjadi pukulan telak bagi kita. Kombinasi pukulan straight dan hook telah mendarat di rahang dan wajah kita. Pangan adalah  hal urgen yang tak bisa lalai diperhatikan. Negera harusnya menjamin kemandirian pangan warganya. Apalagi untuk warga Maluku, karena kita adalah pencetus sejarah pangan di Negara ini.

Lembaran sejarah di Negara ini telah mencatat,  bahwa di masa awal kemerdekaan RI, masalah pangan di negera kita dicetuskan dari pikiran seorang anak negeri Maluku bernama  Mr. Johannes Latuharhary.

Putra Maluku yang masuk sebagai  anggota  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saat itu. Bersama Ir.Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri, sosok Johannes Latuharhary yang paling berjasa menyampaikan saran akan urgensinya  masalah pangan di Negara ini.

Ketika Muhammad Hatta mengusulkan pembentukan 15 Departemen pada  rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, Latuharhary mendukung pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum. Kata  Latuharhary kala itu, “Urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele”.

Dan kini ucapan sosok mendiang mantan Gubernur Maluku pertama itu  terbukti. Ada warga Maluku yang kelaparan dan akhirnya mati. Prahara yang menimpa tiga warga Suku Mause Ane beberapa pekan lalu adalah ikhtiar yang disampaikan ‘founding fathers’ saat itu.

Lirik lagu Koes Plus terpatahkan, karena tanah kita tanah surga, tapi tongkat dan batu tak mungkin lagi tumbuh berkembang dengan bebas, bila tak ada sentuhan pemerintah.  Sebab koalisi “Sus scrofa” dan “Muridae” tak bisa dibendung oleh warga yang tak terlatih ilmu agraris. ###

den kematian  warga Suku Mause Ane, tentunya menjadi pukulan telak bagi kita. Kombinasi pukulan straight dan hook telah mendarat di rahang dan wajah kita. Pangan adalah  hal urgen yang tak bisa lalai diperhatikan. Negera harusnya menjamin kemandirian pangan warganya. Apalagi untuk warga Maluku, karena kita adalah pencetus sejarah pangan di Negara ini.

Lembaran sejarah di Negara ini telah mencatat,  bahwa di masa awal kemerdekaan RI, masalah pangan di negera kita dicetuskan dari pikiran seorang anak negeri Maluku bernama  Mr. Johannes Latuharhary.

Putra Maluku yang masuk sebagai  anggota  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saat itu. Bersama Ir.Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri, sosok Johannes Latuharhary yang paling berjasa menyampaikan saran akan urgensinya  masalah pangan di Negara ini.

Ketika Muhammad Hatta mengusulkan pembentukan 15 Departemen pada  rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, Latuharhary mendukung pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum. Kata  Latuharhary kala itu, “Urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele”.

Dan kini ucapan sosok mendiang mantan Gubernur Maluku pertama itu  terbukti. Ada warga Maluku yang kelaparan dan akhirnya mati. Prahara yang menimpa tiga warga Suku Mause Ane beberapa pekan lalu adalah ikhtiar yang disampaikan ‘founding fathers’ saat itu.

Lirik lagu Koes Plus terpatahkan, karena tanah kita tanah surga, tapi tongkat dan batu tak mungkin lagi tumbuh berkembang dengan bebas, bila tak ada sentuhan pemerintah.  Sebab koalisi “Sus scrofa” dan “Muridae” tak bisa dibendung oleh warga yang tak terlatih ilmu agraris. ###