PRESIDEN Joko Widodo saat membuka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) di Hotel Bidakara, Jakarta, pada Selasa, 4 Desember 2018, menyampaikan sejumlah hal penting. Di antaranya, tak melihat angka capaian penindakan sebagai prestasi.

“Kondisi ideal dari bangsa antikorupsi adalah ketika disaring dengan hukum seketat apapun, tidak ada lagi orang yang ditersangkakan sebagai koruptor”katanya.

Butir yang disampaikan Presiden bisa diartikan bahwa upaya memberantas korupsi tak cukup dengan penindakan, tetapi juga dalam hal pencegahan. Prestasi dalam hal penindakan, bukanlah tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi.

Mari tengok kembali capaian Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menurut survei lembaga Tranparency International (TI). Indonesia masih stagnan di skor 37 dari 100, dan berada di peringkat 96 dari 180 negara.

Sepanjang lima tahun terakhir, Indonesia hanya beranjak dari angka 32 ke 37. TI berkomentar, “Jalan Indonesia dalam melawan korupsi masih panjang”. Meskipun, mereka memberi apresiasi atas kenaikan peringkat dalam periode tersebut.

Nilai buruk disumbang oleh praktik korupsi di sektor eksekutif, legislatif, dan peradilan. Menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, turunnya nilai pada aspek tersebut, sebaiknya bisa menjadi cermin bagi parapihak di sektor politik dan penegakan hukum.

Menyoroti korupsi di ranah legislatif, KPK mengadakan acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) sebagai rangkaian Hakordia 2018, dengan tema Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik.

Sejak KPK berdiri, sekitar 61,17 persen pelaku korupsi yang diproses berdimensi politik, yaitu 69 orang anggota DPR RI, 149 orang anggota DPRD, 104 Kepala Daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut.

Korupsi  telah lama dikategorikan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Untuk memeranginya dibutuhkan pula extraordinary efforts dari seluruh komponen bangsa dan negara.

Bukan hanya penegak hukum, masyarakat pun harus ikut serta mengambil bagian dalam pemberantasan korupsi. Tanpa peran serta masyarakat, niscaya perang melawan korupsi akan jauh lebih sulit untuk dimenangkan.

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejalan dengan semangat tersebut.

PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 17 September 2018 itu mengatur tata cara pelibatan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dengan PP itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo mendorong masyarakat berperan aktif dalam perang melawan korupsi.

Masyarakat yang memiliki informasi mengenai dugaan tindak pidana korupsi didorong untuk menyerahkannya kepada pejabat berwenang pada badan publik atau penegak hukum, baik secara lisan maupun tulisan, disertai dokumen pendukung.

Bukan hanya itu, atas peran aktif masyarakat, pemerintah menjanjikan penghargaan berupa piagam dan/atau premi serta hadiah uang hingga Rp200 juta.

Kita tentu menyambut baik terbitnya PP tersebut. Kita juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pemerintah yang membuka jalan bagi pelibatan aktif masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Lahirnya PP 43/2018 diharapkan pula akan membuat masyarakat tidak ragu untuk berperan aktif mengungkapkan kasus korupsi.

Kita sependapat bahwa pemberian penghargaan kepada masyarakat pelapor kasus korupsi tidak hanya perlu, tetapi juga penting untuk dilakukan. Dengan pemberian penghargaan itu, niscaya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi akan jauh lebih meningkat.

Peningkatan peran serta masyarakat ini pada gilirannya diharapkan akan membuat tingkat keberhasilan dalam pemberantasan korupsi ikut meningkat pula.

Untuk semakin mewujudkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, peran serta masyarakat memang harus diberi ruang seluas-luasnya.

Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi ini di lain sisi juga selaras dan senapas dengan prinsip keterbukaan dalam demokrasi.

Karena itu, kita mendorong pemerintah untuk tidak ragu-ragu dan tidak setengah-setengah dalam mengimplementasikan kebijakan yang dituangkan dalam PP 43/2018 tersebut.

Selain itu, lahirnya PP ini diharapkan membuat kinerja lembaga-lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas dalam pemberantasan korupsi lebih meningkat.

Bukan hanya itu, kinerja seluruh lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan Agung, dan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, diharapkan jauh lebih sinergis dengan dibukanya peran serta masyarakat yang diatur dalam PP 43/2018.

Akan tetapi, kita juga mengingatkan agar peran serta publik dalam perang melawan korupsi ini harus tetap dilakukan dalam koridor hukum dengan penuh tanggung jawab.

Jangan sampai peran serta publik dalam perang melawan korupsi ini kemudian disalahgunakan. Jangan sampai pula ia dilakukan secara serampangan sehingga menumbuhsuburkan peredaran hoaks, fitnah, dan kebencian di antara sesama anak bangsa. Bila itu yang terjadi, pelibatan aktif publik dalam perang melawan korupsi hanya akan menambah kegaduhan. (***)