PERJUANGAN di ranah politik selalu identik dengan warna.  Seperti yang disebutkan dalam buku “The Politics of Dress in Asia and The Americas,” busana memang kerap menjadi perwakilan simbol, identitas, dan pernyataan politik pemakainya. Disadari atau tidak, para tokoh politik dan figur tertentu menggunakan pakaiannya sebagai sarana kampanye dan pernyataan politik.

Warna sepertinya sudah menjadi identitas dan simbol  yang kerap dipertontonkan di event demokrasi.  Dan kali ini,  kita sepertinya telah dipertontonkan dengan sebuah upaya “perebutan” dalam hal warna atribut itu.

Secara kasat pantas disebut demikian. Sebab, di pentas politik Indonesia selama ini politik acap kali terlihat berwarna. Ketika mencalonkan diri di Pilkada DKI, Jokowi – Ahok tampil dengan simbul warna kotak-kotak. Simbol warna inilah kemudian menjadi indentitas yang membedakan Jokowi-Ahok dengan para rivalnya. Lalu apa yang terjadi saat ini?

Pernah kita mengkaji tentang sebuah pesan yang terpublikasi dalam goresan tangan bertinta biru Jokowi di secarik kertas putih? Isinya mengajak pendukungnya berbondong-bondong ke TPS untuk mencoblos pasangan 01 yang berbaju putih-putih. Putih-putih memiliki arti yang sangat penting yaitu keberhasilan dalam “merebut” sebuah SIMBOL.

Warna-warni politik

Tak heran, ketika seruan itu dilontarkan capres 01, banyak dari pendukung capres 02 menjadi protes. Warna putih yang selama ini diasosiasikan sebagai warna favorit dari sebagian pendukung pasangan capres-cawapres 02, memang sudah sejak awal diperlihatkan.

Kubu Prabowo bahkan jauh sebelumnya, secara terbuka telah mengumandangkan penggunaan atribut putih.  Dalam aksi Apel Siaga Umat untuk Pemilu Bersih, Jujur, Adil, dan Tanpa Kecurangan, yang digelar Forum Umat Islam (FUI) di depan kantor KPU, Jumat, 1 Maret 2019 lalu  Sekretaris Jenderal FUI Al Khaththath menyerukan agar pada hari-H pencoblosan massa aksi simpatisan FUI mengenakan baju putih ketika pergi ke TPS.

“Duduk-duduk saja, kita jaga TPS, kita putihkan TPS,” ujar salah satu pimpinan organisasi pendukung Prabowo-Sandi tersebut dalam orasinya di atas mobil komando, di depan kantor KPU, Jumat, 1 Maret 2019.

Kubu Prabowo membantah bahwa seruan tersebut merupakan perintah dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi secara langsung. Namun, Sekretaris Bidang Polhukam DPP PKS, Suhud Alynuddin mengklaim bahwa warna putih lebih identik dengan partainya sedari dulu. “Yang identik dengan warna putih sejak dulu ya PKS-lah,” kata Suhud kepada Tempo, Rabu, 27 Maret 2019.

Entah mau dikaitkan dengan apapun, namun warna putih sudah setia melekat di tubuh pendukung Prabowo –Sandi sejak awal.  Simbol warna putih juga merupakan lanjutan dari simbul kemenangan yang ditorehkan di Pilkada DKI.

Mungkinkah “perebutan” simbol warna putih juga dapat dimaknai sebagai sebuah upaya mengeleminir sekat identitas dalam pesta demokrasi kali ini?. Jika demikian, upaya “perebutan” warna simbol yang  sukses dilakukan, sama sekali  tak bisa dikatakan sebuah keberuntungan.

Sebab kesempatan untuk “show of force” justru hanya pada saat menjelang pencoblosan dan selama waktu pencoblosan. Sama sekali tidak lagi berefek elektoral, jika dikaitkan dengan fenomena terkini soal dukung- mendukung jelang pelaksanaan pesta akbar ini.

Tapi baiknya, simbol warna putih ini dimaknai saja sebagai sebuah upaya ketulusan, kesucian dan kebersihan demokrasi di tanah air. Sebab, dengan limit waktu yang sudah tidak begitu lama lagi dari perhelatan  Pemilu 17 April 2019 nanti,  sepertinya penggunaan simbol warna yang menjadi atribut kedua kubu sudah tidak lagi berefek pada electoral masing-masing pasangan.

Semoga simbol warna putih di Pemilu 2019, bukan lagi menjadi sebuah identitas, komonitas atau apapun itu, tapi simbol putih dapat bermakna  sebagai upaya  melahirkan demokrasi yang bersih dari tangan rakyat di negara ini. (***)