Sudah lama Nusa Apono Bapak tinggalkan. Sejak, Jumat 24 Februari 2017 dan  hingga kini, genap sudah 2 tahun, 8 bulan, 10 hari, Bapak pergi dan tak lagi kembali. Kami bangga dan sangat  menaruh hormat. Rasa itu kami tuangkan dengan sematkan gelar ‘Upu’ kepada Bapak.

Nusa Apono menjadi saksi, ribuan mata melihat Upu yang gagah perkasa, ribuan hati menaruh harapan, ketika ‘manawa kabasarang’ berdiri kokoh dan berjanji akan melihat kami sebagai rakyat adat di tanah Maluku.

Semua gembira, semua riang dan semua riuh ketika Upu lantunkan pantun, “Panah gurita di ujung tanjong, cari bia di ujung meti. Biar tapisah gunung deng tanjong, orang Maluku selalu di hati,”

Upu pasti tidak lupa akan pantun itu. Pantun yang membahana dan menggema sekan memantul di tembok dan plafon gedung Kristiani Center, Ambon.  

Jumat itu, Upu Bonifaxius Silooy, Ketua Majelis Latupati Maluku, dengan sigap memasang jubah kebesaran, kain ikat pinggang, kain bahu, mahkota kebesaran (kapatesi) dan juga tongkat adat kehormatan lengkap di badan, sebagai penanda penganugerahan gelar adat dari kami rakyat Maluku.

Penganugerahan gelar adat masyarakat Maluku kepada Presiden Jokowi tahun 2017

Kami tidak berharap ada belas kasih disaat  sebagian dari kami terlilit prahara. Tapi kami tahu Upu adalah pemimpin. Pemimpin negara dan juga pemimpin adat Maluku, setelah jubah kebesaran membungkus tubuh,  setelah ikat pinggang  dan kain bahu  melingkar, kapatesi tertanam di kepala dan tongkat adat di tangan Upu, maka hari itu sejarah mencatat, Upu akan selalu hadir di saat anak adat rindu sombar(bayangan) Upu sebagai pemimpin.

“Upu Kalatia Kenalean Da Ntul Po Deyo Routnya Hnulho Maluku,” somba Upu tula muhalano (hormat kami kepadamu dan seluruh pembantumu). Sungguh ini gelar yang cukup besar dalam tatanan adat kami. Di pundak Upu, ada harapan masyarakat adat di daerah ini. Harapan  yang sesuai dengan gelar yang Upu sandang,  “Pemimpin besar yang peduli terhadap kesejahteraan hidup masyarakat adat Maluku”.

Rakyat Maluku mafhum, tidak mudah membagi waktu dalam kesibukan yang cukup padat akhir-akhir ini. Banyak gejolak yang terjadi, membuat Ibu Pertiwi selalu menangis. Upu pun risau bahkan jadi repot, mana yang harus Upu utamakan. 

Papua bergejolak soal isu Ras yang berbuntut rusuh, Jakarta membara, akibat mahasiswa turun ke jalan menolak beragam kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Belum lagi, tanggungjawab politik yang harus dituntaskan oleh Upu.

Tapi kami di  Maluku dilanda musibah. Ada gempa yang susul-menyusul tiada henti. Kami pun tahu, setiap hari satu per satu muhalano(pembantumu) datang, melihat dan merasakan dari dekat,  akibat windu yang menyapu Nusa Apono dan Nusa Ina,  sebagian dari kami harus berada di tenda-tenda menahan dinginnya malam, menahan rasa ketakutan dan trauma yang menghantui.

Upu, sungguh tak elok harus memohon, sungguh tak baik harus  meminta. Ini bukan soal belas kasihan. Sebab, kami tidak butuh itu. Kami selalu riang dalam kondisi terbatas, kami selalu bahagia dalam suasana sengsara dan kami selalu tabah dalam suasana terjepit.

Semua itu sudah menjadi riwayat dalam hidup kami. Buktinya kami selama ini menyandang status miskin, entah apa yang terjadi. Kami sendiri juga bingung,  apa penyebabnya. Sedangkan alam kami kaya. Laut kami berisi jutaan ikan, hutan kami rimbun, perut bumi kami luar biasa kaya, dan selama ini semunya menjadi ladang bagi Ibu Pertiwi.

Tapi biarkan saja semua terjadi dan berlalu. Kami sudah terbiasa miskin, maka tak heran ada donci “Biar miskin asal snang”. Tapi kami tetap berjanji, akan terus menjadi tumpuan Ibu Pertiwi, hingga hayat di kandung badan. Itulah kami rakyat Maluku, selalu terpatri jiwa kapitano.

Di jiwa kami ada Pattimura, di jiwa kami ada Said Perintah, di jiwa kami ada J. Latuharhary, di jiwa kami ada Johanes Leimena, di jiwa kami ada A.M. Sangadji, di jiwa kami ada Leo Wattimena, di Jiwa kami ada Martinus Putuhena dan di jiwa kami ada sejumlah kesatrian asal Maluku yang memilih mati untuk Ibu Pertiwi.

Upu, hanya satu yang mesti Upu tahu, masyarakat adat Maluku rindu sosok Upu untuk kembali  ke Nusa Apono. Mungkin bersama hanya sebentar.  Batavia – Nusa Apono, hanya tapele gunung. Burung besi hanya sekejap membelah angkasa dan sebentar saja sudah di Bandara Pattimura.

Ini sebagai bukti  Upu tetap peduli, mungkin tak perlu mengenakan  kapatesidi kepala, jubah kebesaran, kain ikat pinggang, kain bahu, dan juga tongkat adat kehormatan, namun bawa somber besar sebagai tanda rasa sayang par basudara yang ada di tenda-tenda menjadi hati besar, seperti pantun yang Upu sampaikan di Jumat mubarok itu.

Upu Jokowi, ini sedikit pantun untuk Upu, “Ikan tatu mati tadampar di ujung tanjong, jangan dimakan kasihan badan, biar yang datang orang terpandang, mar seng sama sombar Upu yang jauh disana,”   (***)