BERITABETA.COM – Jumlah orang yang positif terinfeksi Coronavirus Disease (COVID-19) di Indonesia kian hari kian bertambah. Guna mencegah penyebaran virus Corona lebih luas, Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk melakukan rapid test, khususnya di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki kasus COVID-19 yang tinggi.

Tindakan ini ditujukan agar pemerintah dan petugas kesehatan bisa mengetahui siapa saja orang yang berpotensi menyebarkan virus Corona dan melakukan tindakan pencegahan agar jumlah kasus COVID-19 tidak semakin bertambah. Apa itu rapid test?

Dikutip dari alodokter.com menyebutkan,  rapid test adalah metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus Corona. Antibodi ini akan dibentuk oleh tubuh bila ada paparan virus Corona.

Dengan kata lain, bila antibodi ini terdeteksi di dalam tubuh seseorang, artinya tubuh orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki oleh virus Corona. Namun, perlu Anda ketahui, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu, bahkan bisa sampai beberapa minggu.

Jadi, rapid test hanyalah sebagai pemeriksaan skrining atau pemeriksaan penyaring, bukan pemeriksaan untuk mendiagnosa infeksi virus Corona atau COVID-19.

Prosedur pemeriksaan rapid test dimulai dengan mengambil sampel darah dari ujung jari yang kemudian diteteskan ke alat rapid test. Selanjutnya, cairan untuk menandai antibodi akan diteteskan di tempat yang sama. Hasilnya akan berupa garis yang muncul 10–15 menit setelahnya.

Hasil positif pada rapid test menandakan bahwa orang yang diperiksa pernah terinfeksi virus Corona. Meski begitu, orang yang sudah terinfeksi virus Corona dan memiliki virus ini di dalam tubuhnya bisa saja mendapatkan hasil rapid test yang negatif. Alasannya, tubuhnya belum membentuk antibodi terhadap virus Corona. Oleh karena itu, jika hasilnya negatif, pemeriksaan rapid test perlu diulang 7–10 hari setelahnya.

Akurasi Rapid Test Virus Hanya 30 Persen

Sementara itu, ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyebut tingkat akurasi rapid test virus Corona hanya sekitar 30 persen untuk mendeteksi virus Covid-19.

Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan, rapid test hanya dapat dijadikan penunjang dari tes spesimen yang sudah ada. Sebab, kata Rusdan, rapid test berpotensi menghasilkan 70 persen hasil ‘negatif’ Covid-19 palsu.

“Rapid test itu betul-betul tidak bisa diandalkan. Soalnya rapid test ini tidak bisa membedakan, apakah orang ini sedang sakit atau orang ini sudah sembuh. Karena sama-sama positif. Kalau kita bicara rapid test itu biasanya yang berbasis antibodi. Tapi dugaan saya, ya mungkin pemerintah ini hanya pertama. Jadi rapid test yang kualitatif, hanya bisa mengatakan yes or no gitu,” kata Ahmad Rusdan seperti dikutip dari KBR.

Konsultan genom di Laboratorium Kalbe ini menilai pemerintah tak dapat menggantikan tes spesimen atau PCR (Polymerase Chain Reaction).

Akuransi PCR, kata Ahmad  mencapai di atas 70 persen. Sehingga, tak ada satupun artikel ilmiah yang menunjukkan pengunaan rapid test untuk memastikan seorang bebas Covid-19.

“Data-data yang ada saat ini, itu menggunakan ART-PCR. Saya malah belum lihat ada jurnal ilmiah yang melaporkan, bahwa dari sekian puluh ribu atau ratusan ribu kasus yang positif, yang positif itu pakai rapid test,” kata Rusdan.

“Setahu saya itu ini masih pakai ART-PCR. Rapid test itu mungkin pengunaannya sebagai back-up aja. Misalnya, begini untuk rapid test itu kemungkinan besar penggunanya tadi di bandara, di pelabuhan. Di mana kita bicara orang yang mobile, orang yang keluar masuk,” lanjutnya.

Ahmad Rusdan menyebut, saat ini terdapat dua jenis rapid test. Jenis pertama hanya mengukur antobodi, sedangkan jenis kedua dapat mendeteksi virus Covid-19. Namun tetap melakukan uji di lab dengan waktu sekitar satu jam.

“Memang penting sekali dari penegakan diagnosis. Jadi lini pertama, karena memang seed-nya sendiri di instruksinya itu digunakan sebagai auxiliary. Auxiliary itu sebagai penunjang, bukan lini pertama. Ini harus kita ketahui juga. Jadi jangan menggunakan (rapid test) ini sebagai lini pertama, tetap harus diukur dengan PCR. Jadi rapid test ini memang tidak bisa menggantikan ART-PCR. Maka penggunaannya harus tepat. Satu-satunya yang bisa saya bayangkan, ini usefull lebih ke surveilans,” jelasnya.

Ahmad Rusdan menyarankan saat ini pemerintah harus memikirkan pola pengelolaan penggunaan rapid test. Sebab waktu 20 menit untuk pemeriksaan bukanlah waktu yang sebentar, dan bisa menimbulkan antrian. Ahmad menganggap penting jaga jarak sosial saat tes Covid-19 (BB-DIP)