Catatan : Mary Toekan Vermeer (Menetap di Belanda)

SEBERSIT rindu di benakku  kian menggebu, menghantan dinding hatiku, menjebol bening air semakin deras,   membuatku ingin menghadirkan mereka detik ini juga dari serpihan – serpihan celoteh ibuku.

Berbekal beasiswa dari pemerintah Maluku,  papa tembus sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Sospol di Yogyakarta  antara tahun 1959 atau 1960 kalau tak salah.  Papa dilahirkan di Negeri Sirisori Islam 23 Oktober 1935. Opa dan oma memberi nama papa Idrus Efendi Toekan.

Kepiawaian papa bernegosiasi dan jiwa  kepemimpinannya, membuat papa terpilih menjadi ketua HMI fakultas Sospol Universitas Gajah Mada. Bersama organisasi mahasiswa Islam yang dibentuk oleh Prof. Lafran Pane tahun 1947, papa menjadi aktivis Islam di kampus. Nama papa cukup dikenal dikalangan mahasiswa di Bulaksumur.

Menjadi corong organisasi mahasiswa Islam, papa masuk dalam daftar mahasiswa yang diburu, dianggap melawan pemerintah era demokrasi liberal, karena menolak  dibubarkannya Masyumi, partai politik Islam terbesar di Indonesia tahun 1960.

Dalam suasana politik seperti itu, keras suara papa menentang pemerintah. Berdiri di pihak oposisi, papa ikut mengkritisi pemerintah yang hendak memisahkan antara agama dan kehidupan bernegara seperti yang terjadi di Turki, di tangan Mustafa Kemal Atatürk.

Dimata kami, semua jejak papa penuh strategi. Matanya tajam membaca lawan bicara  sebelum melepaskan argumen.

“Bila ada dua pilihan terbaik, pilihlah resiko terkecil, ambil nilai kebaikan terbesar,” begitu pesan papa.

Selalu on time, ini ciri papa. Acara resmi Old n New di mulai dengan hanya sepuluh orang pegawai sewaktu pertama kali memimpin Halmahera Tengah. Tak suka menunggu.

Papa memang bukan orator yang menyala-nyala, yang bisa membakar semangat sekelompok manusia. Justeru sebaliknya, papa adalah tipe meneduhkan, dapat memadamkan gejolak api kemarahan. Halus tapi menusuk meninggalkan bekas tanpa luka yang menganga.

Ratusan buku telah menemani papa, membuat cara pandang papa seakan tak bertepi. Aturan agama tersimpul kuat. Siapa saja yang berhadapan dengan papa akan mundur perlahan. Jika tak kuat argumenmu, jangan pernah ajukan permohonan ataupun  sejenisnya, apalagi tipu – tipu. Dilibas habis! Terutama dalam keluarga papa.

Kami dididik sangat keras, tahan banting. Bila melawan aturan, sabuk papa yang akan berbicara. Laksana cemeti Khalifah Umar RA :

“Gantungkan cemeti itu di dinding rumahmu, agar anak anakmu beradab,” begitulah cara papa mengajari kami.

Waktu kerusuhan Ambon, oleh petinggi kemiliteran di sana, papa diminta ke Jakarta. Info yang diterima, papa dalam target yang  akan dilenyapkan. Namun papa tetaplah papa dengan jiwanya yang dulu. Ibarat pawang yang bisa menjinakkan Singa yang  sedang lapar, papa mampu menurunkan suhu pertikaian Ambon.

Meskipun nyawa taruhannya, papa kembali ke Ambon. Beliau hanya titipkan ibu kepada kami di Jakarta. “Umat harus diselamatkan, ” kata papa saat itu.

Mendamaikan dua kubu yang  sama- sama terluka, sama- sama kehilangan orang orang tercinta,  memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Bersama tokoh agama di Ambon, mereka sepakat merenda kembali rasa yang terlanjur koyak.

Aku saksinya, melihat ibu yang selalu gelisah memikirkan nyawa papa yang setiap detik bisa  terancam hilang. Alhamdulillah ! Damainya Ambon adalah salah satu sumbangan papa saat menjabat Ketua MUI Maluku.

Dari dulu papa memang sudah terlihat mempunyai jiwa pemimpin yang berizzah.  Kelebihan ini, nampaknya menjadi magnet dikalangan mahasiswi. Banyak dari mereka yang nekat melayangkan surat cinta.

Ibuku di tahun yg sama, diterima di fakultas IKIP jurusan bahasa Inggris. Musyahadah Asnawi. Lahir dari keturunan pedagang tgl 21 April 1939  di Samarinda. Siang itu, bersama teman teman wanitanya, bertugas mendekorasi sebuah ruangan yang akan dipakai untuk acara HMI.

Bisik- bisik para wanita saat papa masuk untuk pastikan kesiapan ruangan, sedikit mengganggu konsentrasi ibu yang sedang mendekor. “Kak Idrus…kak Idrus,” panggil wanita -wanita ini mencari perhatian.

Pada dasarnya ibuku tak suka orang Ambon. Benci tak beralasan. Eh ! Rasis juga ibuku ini. Papa bagaikan ada namun tiada. Namanya laki- laki, dianggap angin, justeru malah menjadi nilai plus.Tebar pesona mengawali strategi penaklukan.

Malam minggu, di halaman asrama wanita, papa memarkir sepedanya. Terlihat beberapa motor dan skuter yang  sudah terparkir lebih dulu. Jaman itu skuter termasuk kendaraan mewah. Cuma orang orang berduit yang bisa mengendarainya.

Buat papa, kalau cuma soal petantang petenteng, tak bakal dianggap. Percaya diri papa tak akan melorot jika hanya sekedar perkara alat transportasi.

Benar juga. Di ruang tamu tempat ibu, telah duduk seorang pemuda. Si pemilik kendaraan mewah itu, tentu saja mengenal papa ( di era pak Harto, pemuda ini sempat menjadi salah satu menterinya). Tak mundur sejengkal, papa tak ingin kehilangan kesempatan.

Kedewasaan dan kesabaran papa, perlahan merobohkan tembok kebencian ibu. Panah itu telah dilesatkan menembus ruang – ruang  jantung pujaan hati.

Perjuangan memenangkan hati ibu tak sampai di situ, sebab opa Abah (papanya ibu) tak begitu yakin kemusliman papa.

Maluku yang  terkenal dengan  pasukan Belanda Hitam (KNIL), membuat opa Abah serius akan bibit, bebet, bobot pemuda Ambon yang  akan menemani putri semata wayangnya sepanjang  hidup.

Dengan menumpang kapal motor kecil, puluhan hari papa lewati di tengah dinginnya malam, membelah samudera dari Ambon menuju Samarinda, adalah bukti cinta papa kepada ibuku.

Tanggal,  27 Desember 1962, papa memenuhi janjinya, menikahi ibu. Sambil mengetik skripsi ditemani ibu, mereka menghabiskan bulan madu di ” Roemah Djoeang ” di jalan Panglima Batur Samarinda. Ibuku sudah lebih dulu meraih sarjana.

Keluarga ibu keluarga pejuang. Mereka pahlawan- pahlawan tangguh. Tak ada kata damai dalam kamus mereka melawan penjajah Belanda. Opa Abah kadang bergerilya membawa keluarganya keluar masuk hutan. Rumah mereka adalah markas perjuangan karenanya rumah itu diberi nama Roemah Djoeang.

Papa memboyong ibu kembali ke Jogja, mempertanggung jawabkan karya ilmiah papa. Satu tahun perjalanan waktu, hadir putri kecil dlalam keluarga ini. 𝗠𝗮𝗿𝗱𝗵𝗶𝘆𝗮𝗵 𝗛𝗮𝘆𝗮𝘁𝗶, nama yang dipilihkan 𝗕𝗨𝗬𝗔 𝗛𝗔𝗠𝗞𝗔, sebagai hadiah untuk  papa dan ibu. Ibuku menambahkan 𝗜𝗱𝗮 di depannya.

Usai bergelar Doktorandus, papa membawa keluarganya ke Ambon. Banyak teman papa yang  menyayangkan keputusan papa kembali ke daerah, mengingat potensi papa yang begitu berkilau.

Papa orang paling amanah. Ketika daerah merogoh saku untuk  kelanjutan sekolah papa,  papa pasti kembali melunasi janji, membangun daerahnya, meskipun banyak teman seangkatan papa menjadi petinggi petinggi partai di pusat, menjadi orang orang penting di ring satu penguasa saat itu.

Setiap tahun, di ibu kota Maluku Tengah, Masohi,  terdengar tangisan bayi yang lahir di rumah mereka, menambah kehangatan keluarga papa dan ibu. Ibu yang nota bene sarjana IKIP, tidak diizinkan papa kerja. Papa lebih memilih titel sarjana ibu untuk mendidik langsung putra putri mereka. Jabatan Sekda Maluku Tengah menjadi jabatan pertama papa setelah lulus dari Jogja.

Sempat menjadi dosen APDN di Ambon setelah tugas di Masohi, sering rumah kami menjadi bilik kampus mahasiswa yang mengejar ilmu. Satu waktu, papa mendapati aksi ibu mengganti posisi papa, gara -gara sering mendengar kuliah papa. Ibuku memang lucu, wanita smart, bravo Mom !

Dua tahun setelah kehadiran si bungsu di Ambon, kembali papa harus berkemas, mengambil sumpah. Daerah Administratif Halmahera Tengah, daerah yang sedang dipersiapkan menjadi daerah tingkat II yang otonom, diberi kepercayaan di bawah kuasa papa.

Secara de facto sejak tahun 1969, Halmahera Tengah telah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sejajar dengan daerah tingkat II lainnya di provinsi Maluku. Dua periode papa memimpin wilayah pertengahan pulau terbesar di Maluku ini.

Karena luasnya wilayahnya, tahun 2003, Halmahera Tengah dibagi tiga otoritas. Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan.  Di pulau ini kami dibesarkan.

Cinta kami tak lekang berlabuh di tanah spesial ini. Ada moment yg menyimpan rindu. Rindu akan cahaya purnama, membias di atas hamparan gelombang, menciptakan siluet pulau halmahera yg membentang. Rindu akan deru ombak yg membentur batu – batu di pesisir pantai.

Jelang senja, akan pulang jutaan burung – burung gereja, melepaskan malam di pucuk pucuk nyiur. Pemandangan ini terlihat langsung dari teras rumah kami. Aaaahh !! Sungguh aku ingin memetik moment itu.

*****

Majelis Ulama Indonesia Maluku, menjadi tempat terakhir papa mengemban amanah. Papa terpilih secara aklamasi di periode kedua, sayangnya…waktu papa telah habis. Izinkan kami mengambil tongkat estafetmu  papa, walau tak akan sebesar peranmu.

Saat cahaya fajar datang di ufuk Timur, papa pergi bersama malam menemui Sang Khalik, bertemu ibu yang memendam rindu di tempat para malaikat. Ibu yang menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan papa.

Papa bukan milik kami saja. Papa milik masyarakat yang mencintainya. Mereka sedang menanti jenazah papa untuk penghormatan terakhir di Ambon.

Ada pesan papa yang selalu kami jaga. Jangan menunda nunda waktu pemakaman. Ketika ibu wafat, papa tak mau menunggu lama. Aku yang jauh di negeri seberang memohon ingin melihat wajah ibu yang terakhir. Tidak !! tegas suara papa. Jenazah ibu harus segera dikebumikan.

Hal ini menjadi pertimbangan kami saat Gubernur Maluku Ir. Said Assagaff ingin memenuhi permintaan masyarakat Maluku. Apalagi makam ibu ada di Jakarta. Ibu yang selalu mengalah, mengikhlaskan seluruh waktu papa untuk masyarakat.

Kali ini, kami akan mengembalikan papa kepada ibu, meskipun hanya sebatas raga yang saling menemani. Tapi di sana, di tempat seluas langit dan bumi, In sha Allah, Allah menyatukan cinta mereka dalam keabadian.

Cinta yang sederhana namun teristimewa, penuh akan rasa, hanya ada pada orang- orang yang diikat hatinya oleh Sang Maha Cinta.

Kisah ini sengaja ku simpul satu persatu, kurekatkan potongan demi potongan, hingga membentuk sepotong sejarah dalam keluarga kami.

Semoga menjadi pijakan yang kokoh, kemana arah akhir perjalanan kami yang tak mungkin meletakkan nama mereka tertelan masa, berakhir dalam lembaran tak bertuan. Robb, limpahi mereka dengan cinta dan kasihMu.

Geldrop, 5 Jumadil Awal 1442 H