Catatan : Dhino Pattisahusiwa

Nama Sukarno begitu beken di Aljazair, belahan utara Afrika, karena jasa-jasanya yang begitu besar menghancurkan imperialisme hingga ikut membantu kemerdekaan Aljazair dari penjajahan Prancis pada 5 November 1962.

Di negara-negara Timur Tengah, Sukarno dikenal dengan nama, Ahmed Zukarna. Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang mengenalkan Sukarno sebagai Ahmad Sukarno atau yang dilafalkan dengan lidah lokal jadi Ahmed Zukarna.

Jasa Sukarno mengakui Aljazair dimulai saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Sukarno sengaja mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis.

Berkat forum internasional yang digagas Sukarno itulah nama Aljazair pertama kali dikenal dunia internasional. Hingga akhirnya pada 5 November 1962 para pejuang memproklamasikan kemerdekaan Aljazair.

Peran Sukarno bagi Aljazair tak berhenti sampai di situ saja. Sebuah siasat pernah dilakukan Sukarno di tahun 1957. Ia menyelundupkan senapan mesin bagi Front Nasional Pembebasan Aljazair untuk melawan Prancis.

Misi rahasia ini melibatkan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Setelah berlayar dari Moskow menuju Aljazair, barulah kapal selam itu melanjutkan perjalanan ke Tanah Air.

Abdelhamid Mehri, pejuang Aljazair yang meninggal pada 30 Januari 2012 seperti dikutip detik.com bahkan mengatakan, Sukarno tak cuma menyuplai senjata dari Moskow, tapi juga mengirimkan perwira-perwira TNI dari berbagai angkatan untuk melatih pejuang Aljazair.

Ketika Guntur bertanya apakah Bung Karno tidak takut pada sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa karena melanggar hukum internasional, dia membalas dengan suara kentut yang besar! Ya, dia bilang kalau PBB berani menghukumnya karena membantu negara lain lepas dari penjajahan, dia akan mengentuti badan internasional itu.

“Soal kemerdekaan, soal menghancurkan imperialisme, itu buatku nomor satu,” ujarnya seperti dikutip Guntur dalam buku Bung Karno, Bapakku Kawanku, Guruku.

Tapi Sukarno tak hanya nekat. “Kita itu harus pakai otak,” kata Bung Karno menjelaskan alasannya mengirim senjata ke Aljazair.

Buat Sukarno, membantu Aljazair merdeka merupakan taktik diplomasi menikung buat merebut Irian Barat. Menyerang langsung ke Papua hanya akan membuat Belanda diuntungkan dengan bantuan dari pasukan Sekutu, yang bermarkas di Samudra Pasifik. Apalagi jalan diplomatik pun mentok di PBB.

Sukarno mengharapkan efek domino dari sukses pejuang Aljazair memukul Prancis di negerinya. Merdekanya Aljazair akan menambah daftar negara yang mendukung perjuangan melawan kolonialisme.

“Di sini beratnya perjuangan melawan kolonialisme,” kata Sukarno. “Yang mau kita serang adalah Belanda di Irian Barat, tapi kita juga harus menggempur benteng-benteng mereka di semua tempat.”

Sikap Sukarno terhadap Aljazair juga dilakukan untuk  mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina.

Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia.

Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.

Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel dinilai menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri.

Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya.

Seperti dikutip historia.id, dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.

Ali Sastroamidjojo dalam tulisannya ‘Tonggak-Tonggak di Perjalananku,’ menyebutkan  Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika.

“Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulang tahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.

Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga.

Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salah satu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional.

Pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya.

“Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia.

“Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan.

Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut.

Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah.

Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos). Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan.

Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan.

“Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.

Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan.

Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan.

Hingga masa akhir kekuasaanya, Sukarno tetap pada pendiriannya untuk terus berjuang untuk kemerdekaan Palestina. Hal ini ditunjukkan dalam pidato politinnya pada HUT RI ke-21.

Sukarno pun mengungkapkan alasannya selama ini konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

"Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme," kata Sukarno.

"Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel..." tegas Bung Karno (*).

Disadur dari berbagai sumber