BERITABETA.COM, Jakarta – Komnas HAM mendesak Presiden RI Joko Widodo, untuk melakukan refleksi menyeluruh terkait tata kelola penanggulangan Covid-19. Presiden juga diminta menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai dasar hukum penanganan pandemik yang masih berkepanjangan, dengan tetap mengutamakan hak hidup, hak kesehatan dan hak-hak asasi lainnya.

Dari rilis diterima beritabeta.com, Selasa (28/7/2020) Komnas HAM menyebutkan, setelah mereview secara periodik berdasar pada informasi berbagai sumber, baik media massa cetak, elektronik, diskusi kelompok terarah, penjelasan ahli, nara sumber.

Selanjutnya,  dokumen atau laporan berkala yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, non-pemerintah, lembaga riset nasional serta internasional yang menyimpulkan, sekitar 8 poin yang menjadi kelemahan dalam proses penanganan Covid-19.

Beberapa diantaranya menjelaskan, legalitas yang lemah dalam kondisi kedaruratan mengancam kesehatan masyarakat, pemerintah khususnya Presiden RI mestinya memiliki kewenangan luar biasa (extraordinary), dalam menangani kondisi kedaruratan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD RI 1945.

Komnas HAM RI sejak awal menekankan, vitalnya penguatan legalitas penanggulangan Covid-19 dengan meminta Presiden RI menerbitkan Perppu. Pasalnya dimensi dampak serta penanggulangan wabah tersebut tidak sebatas kesehatan, melainkan juga ekonomi, politik, sosial, keagamaan, budaya, dan sebagainya.

Menurut Komnas HAM, penguatan legalitas ini penting untuk menambah kewenangan yang lebih solid, implementatif, jelas, dan konkrit. Namun, pemerintah justeru memutuskan untuk menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, yang berfokus pada penyelamatan sektor ekonomi.

Sedangkan aspek kesehatan, memakai landasan hukum Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang tidak mampu menjangkau setiap dimensi karena hanya berperspektif pada sektor kesehatan semata.

Akibat lain dari legalitas yang lemah, lanjut Komnas HAM,  pelaksanaannya tidak efektif dan tidak mencerminkan situasi yang darurat, lamban, serta tidak tepat sasaran. Hal ini karena masih lemahnya sistem atau data base penduduk rentan, dan lemahnya koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah.

“Padahal persoalan bantuan hidup langsung menjadi kunci penting untuk membantu dan merealisasikan hak asasi manusia di tengah pandemi Covid-19,” sebut Komnas HAM RI dalam rilis itu.

Hal lain yakni, menyangkut ekonomi sebagai panglima. Sejak awal 2020, ketika banyak negara menyusun langkah dan kebijakan untuk menghadapi pandemik Covid-19, pemerintah justeru mengambil langkah yang berlawanan, yaitu meresponnya dengan pendekatan ekonomi pariwisata.

Dalam masa PSBB, pemerintah beberapa kali membuat pengecualian terkait peraturan pembatasan kegiatan dengan alasan untuk menjaga agar perekonomian tetap berjalan dan bernuansa diskriminatif.

Diantaranya, melalui Surat Edaran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19.