BERITABETA.COM, Ambon – Insiden pemukulan dengan menggunakan rotan (pecut) yang dilakukan oknum anggota polisi terhadap warga yang tidak menggunakan masker di Pasar Mardika Ambon, terus menuai perhatian sejumlah pihak.

Aksi yang sempat viral di media sosial ini, tak luput dari perhatian praktisi hukum, menyusul adanya kabar para oknum anggota polisi tersebut diproses oleh pihak Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Maluku.

Menanggapi kasus ini, salah satu Dosen Hukum dari Universitas Kristen Paulus Makassar, Jermias Rarsina kepada beritabeta.com, Minggu (31/5/2020)  berpendapat para anggota polisi pelaku pecut tidak pantas dijatuhi sanksi hukum.

“Mereka boleh dipanggil oleh pihak Propam untuk diproses, tetapi hemat saya tidak boleh diberi sanksi apapun yang melukai hati mereka,” kata Rarsina menjawab pertanyaan wartawan beritabeta.com via telepon selulernya.

Menurut advokat senior asal Maluku ini, kasus yang melilit oknum polisi dengan memukul warga dengan rotan itu, harus dilihat dalam kajian yang holistik (komprehensif). Tidak boleh parsialistik berlebel legal positifism semata.

“Saya cuma membantu untuk memberikan masukan sebagai solusi  untuk dipertimbangkan oleh pihak Propam Polda Maluku,” katanya.

Ia menjelaskan, memang benar ajaran hukum pidana secara matriil menganut asas legalitas/ kepastian hukum (nulum deliktum). asas legalitas tersebut, kata dia,  telah melahirkan  cara berpikir (pemikiran)  yang harus memenuhi 4 syarat.

Antara lain,  Lex Scripta (hukum harus tertulis), Lex Certa  (dalam arti rumusan delik harus jelas) Lex Stricta (rumusan pidana dimaknai tegas /tidak multi tafsir, tidak boleh analogi) dan Lex Praevia (hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut).

Sekalipun demikian, kata Rarsina,  namun hukum dalam teori dan praktik, dalam banyak hal kadang menjadi berbeda. Olehnya itu setiap kasuistis dalam perspektif yang substantif selalu harus diletakan pada sifat proporsinalitas-nya (posisi kasusnya) dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah.

“Hukum pidana kita membuka ruang untuk itu, sekalipun dalam tatanan sistem hukum pidana negara kita menganut ajaran asas legalitas (hukum tertulis).Ini  terbukti dalam praktek peradilan telah banyak putusan para yuris (hakim pengadilan) membuat terobosan  mengesampingkan hal itu dengan menggunakan  prinsip yang dikenal dengan sebutan menemukan hukum (recht vinding) dan menciptakan hukum (recht schiping ),” bebernya.

Itu artinya bahwa penyelesaian kasus kasus hukum tidak selalu atau tidak selamanya beraviliasi dengan legal pofitivism sebagai ajaran kepastian hukum (asas legalitas).

“Makanya secara realita sekarang ini, saya sebut sistem hukum pidana kita (termasuk ilmu hukum lain) telah bergeser pemikirannya. Tidak lagi ngantuk (melek mata) pada hukum tertulis bernuansa legalitas yang kontinental, tetapi juga anglo saxion/ hukum tidak tertulis atau terilhami dalam putusan putusan hakim/yurisprudensi,” urainya.

Dengan gambaran di atas, Jermias Rarsina berpendapat, kasus pecut yang melibatkan para oknum anggota polisi ini tidak boleh penyelesaiannya ‘ngantuk’ pada penegakan hukum di bidang Propam yang berlandaskan menjalankan aturan dalam arti legalitas/normatif yuridis.

Ia juga menguraikan, terkait beberapa metode untuk  menilai perbuatan para pelaku (polisi-red) untuk tidak dapat dipertanggung jawaban atau tidak memiliki unsur kesalahan (Schuld), sekalipun ada perbuatan yang meliputi:

Pertama, bahwa tugas kemanusian dalam negara  yang sedang dijalankan untuk menyelamatkan nyawa umat manusia, dari penyebaran Covid- 19 yang mematikan. Kedua, video pukul pantat, jika dilihat masih pada taraf pembinaan, hanya bentuknya teguran dengan rotan. Ketiga,  akibat yang ditimbulkan tidak fatal atau tidak membahayakan si koran (warga)  atau juga dapat disebut tidak menimbulkan sesuatu kerugian.

Kemudian yang keempat, ternyata masyarakat (khususnya warga yang diberi sanksi, tidak taat atau tidak patuh pada aturan protokol kesehatan berupa tidak gunakan masker. Tentunya, ini dapat  membahayakan terjadi berpindahnya virus Corona kepada orang lain. Padahal telah disosialisasi terlebih dahulu berkali kali.

“Jika menggunakan parameter ini sebagai landasan berpikir yang holistik, maka  pelanggaran atau apapun sifat pidananya tidak memenuhi unsur kesalahan. Sebab disinilah  alasan-alasan yang tepat untuk meniadakan atau menyampingkan perbuatan polisi,”jelasnya lagi.

“Benar ada perbuatan, namun unsur kesalahan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Apalagi faktanya tidak ada sama sekali unsur rusak kesehatan karena teraniaya. Itupun dapat disimak lewat video aksi polisi memukul pantat pelan-pelan seperti teguran. Jadi bukan perbuatan kekerasan fisik,” sambungnya.

Rarsina juga mengaku sangat yakin dan percaya bahwa Propam Polda Maluku sebagai aparat hukum akan bertindak arif dan bijaksana dan bisa membedakan kasusnya secara proporsional (BB-DIO)