BERITABETA.COM –  Virus Corona atau coronavirus desiase (Covid-19) terus mengintai dunia. Wabahnya telah menelan ribuan korban jiwa manusia dan menjadi pandami global.

Kondisi ini membuat para ilmuwan menelusuri sumber pasti yang menjadi asal virus ini. Belakangan timbul banyak spekulasi atau teori konspirasi mengenai kemunculan virus corona. Benarkah demikian?

Faktanya, penelitian terbaru jurnal Nature Medicine yang menganalisis susunan genetik virus corona menyebutkan tidak ada bukti bahwa Covid-19 adalah buatan manusia atau direkayasa.

Hal serupa juga disimpulkan dalam sebuah peneliatian belum lama ini. Mengutip www. star.grid.id menyebutkan para ilmuwan di seluruh dunia telah mencoba membuktikan asal-usul virus corona, SARS-CoV-2 yang diklaim berasal dari rekayasa genetika.

Namun, studi yang dilakukan membuktikan virus penyebab penyakit Covid-19 ini berasal dari epidemi alami.

Kristian Andersen, PhD seorang profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research, melakukan penelitian gabungan bersama sejumlah peneliti dari berbagai lembaga.

Melansir Science Daily, Rabu (18/03), berdasarkan analisis sekuensing genomik mereka, Andersen dan timnya menyimpulkan kemungkinan asal SARS-CoV-2 mengikuti salah satu dari dua skenario yang mungkin terjadi.

Skenario pertama, yakni virus berevolusi di keadaan patogen saat ini melalui seleksi alam di inang non-manusia, kemudian melompat ke manusia.

Pada skenario ini menunjukkan bagaimana wabah virus corona sebelumnya muncul, dengan transmisi penularan manusia dari musang (SARS) dan unta (MERS).

Para peneliti mengusulkan kelelawar sebagai reservoir yang paling mungkin untuk SARS-CoV-2, karena virus ini sangat mirip dengan virus corona pada kelelawar.

Kendati demikian, tidak ada kasus penularan langsung dari kelelawar ke manusia yang terdokumentasi, hal ini menunjukkan kemungkinan perantara yang terlibat antara kelelawar dan manusia.

Dalam skenario ini, kedua spike protein SARS-CoV-2 bagian RBD yang mengikat sel dan situs pembelahan yang membuka celah untuk virus, akan berevolusi ke kondisi saat ini sebelum memasuki manusia.

Dalam kasus ini, epidemi saat ini mungkin akan muncul dengan cepat segera setelah manusia terinfeksi. Sebab, virus telah mengembangkan fitur yang membuatnya menjadi patogen dan dapat menyebar di antara manusia.

Sedangkan dalam skenario lain, versi virus non-patogenik melompat dari inang hewan ke manusia, kemudian berevolusi menjadi kondisi patogen dalam populasi manusia.

Sebagai contoh, beberapa virus corona dari pangolin, mamalia mirip armadilo yang ditemukan di Asia dan Afrika, memiliki struktur RBD yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2.

Virus corona dari trenggiling bisa ditularkan ke manusia, baik secara langsung atau melalui inang perantara seperti musang.

Selanjutnya, karakteristik spike protein lain yang berbeda dari virus SARS-CoV-2, situs pembelahan, dapat berevolusi dalam inang manusia.

Kemungkinkan evolusi itu terjadi melalui sirkulasi terbatas yang tidak terdeteksi dalam populasi manusia sebelum awal epidemi.

Para peneliti menemukan bahwa situs pembelahan virus SARS-CoV-2, tampak mirip dengan situs pembelahan strain flu burung yang telah terbukti menularkan dengan mudah di antara orang-orang.

Virus SARS-CoV-2 dapat berevolusi seperti situs pembelahan yang ganas di dalam sel manusia dan segera menjadi epidemi saat ini, sebab, virus corona mungkin akan jauh lebih mampu menyebar di antara manusia.

Rekan penulis studi ini, Andrew Rambaut mengingatkan, sulit atau bahkan mustahil untuk mengetahui pada titik mana skenario yang bisa memastikan asal virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 ini.

Jika SARS-CoV-2 saat ini, masuk ke manusia dalam bentuk patogenik dari sumber hewan, itu meningkatkan kemungkinan wabah di masa depan.

Sebab, menurut Rambaut, jenis virus penyebab penyakit masih bisa beredar di populasi hewan dan mungkin sekali lagi melompat ke manusia.

Kemungkinannya lebih rendah dari virus corona non-patogen yang memasuki populasi manusia dan kemudian mengembangkan sifat-sifat yang mirip dengan SARS-CoV-2.(BB-DIP)