BERITABETA.COM, Ambon – Nasib apes menimpa ribuan warga di tiga desa yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Maluku Tengah.  Sudah dua periode masa pemerintahan presiden, namun  warga Desa  Samasuru, Wasia dan Sanahu hidup dalam ketidakpastian.

Dimulai dari pemerintah  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga pemerintahan Jokowi, status ribuan warga ini tidak jelas. Mereka tidak menikmati pelayanan dari pemerintah,  bahkan hak –hak politik mereka juga terabaikan,  akibat sengketa tapal batas wilayah yang melibatkan Kabupaten SBB dan Kabupaten Malteng.

Menyikapi hal ini, Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Daerah Maluku, Semuel Waileruny, SH,MH  meyampaikan rasa prihatinnya, kerana sengketa ini,  telah merugikan ribuan warga di tiga desa ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 02 Februari 2010 yang menjadi kepastian atas status ketiga desa ini bahkan kembali dikaburkan akibat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor Nomor 29 Tahun 2010.

“Permendagri  ini  melawan putusan MK dan  menyebabkan   ribuan masyarakat dirugikan. Bertahun-tahun mereka tidak memperoleh hak pelayanan dari pemerintah,” kata Semuel Waileruny dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Minggu (17/2/2019).

Dia menguraikan, warga di tiga desa itu, tidak  mendapat jatah  dana desa (DD) dan ADD. Bahkan tidak bisa menyalurkan hak politiknya.  “Mereka juga terancam tidak dapat mengikuti Pilpres dan Plileg pada 17 April 2019 mendatang. Hal  ini juga    berdampak pada  ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah,”tandasnya.

Sengketa  antara kedua kabupaten ini, harusnya sudah berakhir dengan adanya putuskan  MK Nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 02 Februari 2010.  Dengan rincian batang tubuh UU Nomor 40 Tahun 2013 tentang pembentukan tiga kabupaten, termasuk SBB. Dalam putusan itu telah menempatkan batas  wilayah  kabupaten SBB dan  Malteng   berada di Sungai Tala atau Kali Tala.  Sedangkan pada lampiran ditentukan batasnya di Sungai Mala.

Waileruny mengatakan,    MK  berpendapat sebagaimana pada halaman 101 baris 4 dari s/d halaman 102 baris 5 dari atas.  “Bahwa  pasal 7 ayat (2) huruf b UU 40/2003 menyatakan, Kabupaten SBB mempunyai batas wilayah sebelah Timur berbatasan  dengan Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Amahai Kabupaten Malteng,  dan Selat Seram.

“Khusus  menyangkut Kecamatan Amahai, menurut MK,  harus dimaknai Kecamatan Amahai sebelum adanya pemekaran wilayah Kabupaten SBB, karena   kabupaten  tersebut saat itu belum ada.  Sehingga MK  berpendapat bahwa batas wilayah Kabupaten SBB adalah di sungai Tala atau kali Tala atau Wai Tala,”ungkapnya.

Waileruny menjelaskan, sifat putusan MK  ditentukan pada pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final,  menguji UU terhadap UUD, memutuskan  sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan  pembubaran partai politik, dan memutuskan  perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Untuk itu, kata Waileruny,  jatuhnya  putusan MK,  seharusnya dapat dipatuhi oleh Mendagri, Gubernur Maluku dan Pemerintah Kabupaten SBB. Caranya dengan menerbitkan putusan-putusan  yang sejalan dan sejiwa dengan putusan MK.

“Ini yang perlu dilakukan, agar masyarakat yang berada pada wilayah sengketa,   memiliki ketenangan, dan hak-hak mereka dapat terpenuhi, terutama  memperoleh pelayanan pemerintah dan  hak konstitusional untuk mengikuti pemilu,” tandasnya.

Ia mengakui, berbagai upaya kini telah ditempuh untuk mengakhiri sengketa ini. Antaranya  dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas- HAM) dengan melakukan  investigasi dan mediasi beberapa kali di kota Ambon dan di Jakarta.

Komnas HAM, kata dia,   telah merekomendasikan kepada Mendagri untuk merubah Permendagri Nomor 29 Tahun 2010,  agar  sesuai dengan putusan MK.   Hasil mediasi ini juga telah ditindaklanjuti oleh Bupati Maluku Tengah  (Malteng), sesuai surat Nomor 135.6/174 tanggal 10 April 2015 perihal ‘Penyelesaian Batas Daerah’ yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Maluku,  untuk diteruskan kepada Mendagri.

“Kenyataanya sama, Gubernur Maluku tetap bersikap pasif  dan  Mendagri  juga menolak untuk memperbaiki Permendagri.

Hal serupa  juga dilakukan  masyarakat dengan berulang kali menyurati   Mendagri, melakuan pertemuan dengan Pemprov Maluku yang diwakili  Asisten I, Kepala Biro Pemerintahan, Kepala Biro Hukum dan Kepala Kesbangpol.

“Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa Mendagri berpegang pada putusan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan kasasi oleh Bupati Maluku Tengah  (Malteng) terhadap Mendagri. MA mempertimbangkan bahwa kewenangan menentukan batas wilayah kabupaten bukan pada pengadilan, namun pada Mendagri, sehingga gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima,”jelasnya.

Waileruny berpendapat, pertimbangan MA tersebut  benar, namun kewenangan Mendagri untuk menentukan batas wilayah kabupaten, bukanlah kewenangan mutlak,  namun kewenangan yang telah dibatasi oleh hukum,  apalagi setingkat konstitusi.

Dengan demikian, keputusan Mendagri   dibatasi oleh putusan MK, sehingga seharusnya Mendagri dalam menerbitkan Permendagri mesti berpedoman pada putusan MK sebagai konsekwensi pelaksanaan negara hukum.

“Dapat dibayangkan, kejahatan  yang telah berlangsung dari 2010 sejak pemerintahan SBY sampai pemerintahan Jokowi, telah melahirkan penderitaan masyarakat yang begitu berat. Hal ini  membuktikan bahwa Pemerintah Pusat sulit dipercaya akan melaksanakan hukum secara murni dan konsekwen bagi masyarakat Maluku,”tukasnya.

Waileruny menambahkan, dirinya berkepentingan untuk terus-menerus menyampaikan protes sekeras-kerasnya dan menyuarakan berbagai kejahatan lainnya. “Saya hanya berharap,  pemerintah dapat sadar dari kesalahannya,”pungkasnya.(BB-DIA)