BERITABETA – KISAH heroik pejuang Adam Pattisahusiwa bersama sejumlah rekannya yang tergabung dalam “Pemuda Merah Putih”, tak pernah lekang oleh waktu. Dari generasi ke generasi cerita heroik ini terus mengalir. Rakyat di Pulau Buru masih tetap mengenang jasa mereka sebagai pejuang, ketika membebaskan Pulau Buru dari genggaman kolonial.

Adam Pattisahusiwa adalah satu diantara tiga pemuda tangguh yang memimpin pasukan “Pemuda Merah Putih” di Pulau Buru.  Mereka menyerbu sejumlah pos penting yang dikuasai pihak penjajah dan mengambil alih kekuasaan dari tangan tentara Belanda. Dua rekannya adalah Abdulah Bin Thalib dan Hamid Koja.

Ironisnya, kisah heroik Adam, Abdullah, Hamid dan sejumlah pemuda yang terlibat dalam pristiwa pembebasan tanah Bupolo itu, sampai detik ini seakan terlupakan oleh negara. Anak, cucu, dan cicit para pejuang ini, kerap mempertanyakan keberpihakan negara, bukan sebagai imbal jasa, tapi sebagai penghargaan atas jasa mereka.

Di momentum Hari Pahlwawan 10 November 2018, ini redaksi beritabeta.com kembali mengangkat kisah heroik Adam Pattisahusiwa Cs saat mengagas pertempuran pembebesan tanah Bupolo di tahun 1946.

Bermula dari Surabaya

10 November 1945 merupakan satu dari sekian banyak kisah besar perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Dipicu oleh tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, dalam pertempuran di Surabaya, Jawa Timur. Mallaby tewas terpanggang di dalam mobil yang ditumpanginya setelah diduga terkena ledakan granat tepat saat dirinya melintas di Depan Gedung Internatio.

Atas kematian Malabby, Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia Jenderal Christison mengancam akan menuntut balas kepada para pejuang Indonesia di Surabaya. Ancaman Christison tak membuat pejuang Indonesia gentar.

Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo alias Bung Kecil bahkan menyerukan perlawanan terhadap ancaman Christison.

Bung Tomo khawatir pihak Belanda akan memanfaatkan kemarahan Inggris untuk mencaplok kawasan Surabaya, seperti Jepang menguasai Mansuria, saat perang melawan China. Kekhawatiran itu pun terbukti benar. Pihak Belanda melalui Inggris, mengultimatum pemerintah Indonesia yang baru terbentuk, untuk melakukan gencatan senjata.

Komandan Angkatan Perang Inggris di Jawa Timur Mayor Jenderal Mansergh meminta seluruh pimpinan Indonesia, pemuda, polisi dan kepala radio Surabaya, menyerahkan diri ke Bataviaweg atau Jalan Batavia, pada 9 November 1945.

Kemarahan para pejuang meledak kala itu. Mereka menganggap permintaan musuh sebagai sebuah penghinaan. Dengan cepat, BPRI memberikan pelatihan kilat perang gerilya. Terutama tentang tata cara penggunaan senjata hasil rampasan pasukan Nippon. Dari pelatihan itulah terbentuk barisan yang dikenal sebagai “pasukan berani mati”.

Pejuang dari berbagai daerah turun. Tak hanya masyarakat Surabaya, namun juga masyarakat dari Maluku, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Bali. Selain itu, para kiai, ulama serta para muda-mudi turut terjun ke medan perang. Hingga pecahlah preristiwa 10 November 1945.

Propaganda di Pulau Buru

Pasca pertempuran di Surabaya 10 November 1945,  lima bulan kemudian, tepatnya,  Rabu 4 April 1946 pukul 12 WIT, sebuah kapal misterius berlabu di teluk Namlea, Pulau Buru. Kapal yang tak dikenal itu diketahui bernama KM. Sindoro. Di di dalam kapal terdapat beberapa orang yang memantau kota Namlea dari kejauhan.

Keberadaan KM. Sindoro menarik perhatian Abdulah Bin Thalib (Ami Do).  Pemuda asal Pulau Buru ini lantas bergegas menyuruh anak buahnya Taleb Bin Thalib dan dua orang temannya Hamis Saanun dan Yusuf Chan untuk mendatangi kapal misterius itu.

Ketiganya mendayung perahu kecil menuju ke kapal. Ketika perahu kecil yang ditumpangi tiga pemuda Buru itu mendekati kapal,  terlihat kibaran bendera Merah Putih di atas kapal. Pada bagian lambung kapal tertulis KM. Sindoro.

Penumpang kapal ketika melihat ketiga pemuda itu mendekat, langsung memekikan suara “Merdeka”. Teriakan di atas lambung kapan dengan spontan dibalas ketiga pemuda tersebut dengan pekikan yang sama “Merdeka”. Anak buah kapal mempersilahkan Taleb Bin Thalib, Hamis Saanun dan Yusuf Chan untuk naik ke kapal.

Penghuni kapal kapal lantas menjelaskan perjalanan mereka dari Pulau Jawa ke Indonesia Timur,  sambil menunjukan foto Bung Karno, Bung Tomo dan Johanes Latharihari serta foto-foto para pemuda yang sedang berjuang mengusir Belanda di Pulau Jawa.

Foto-foto para pejuang itu disodorkan satu per satu sebagai motivasi untuk membakar semangat patriotisme pemuda di Pulau Buru.

Seketika terjadilah dialog singkat, antara anak buah kapal dengan ketiga pemuda itu.  Anak buah kapal bertanya tentang status pemerintahan di Pulau Buru dan pimpinan pemerintahan saat itu kepada ketiga pemuda  Buru.

“Bagimana kondisi Pulau Buru saat ini, apakah masih ada penjajah? Siapa yang memimpin,” tanya orang tersebut.

Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan tegas, “ Pemerintahan masih dikuasai Belanda dan dipimpin seorang kontroler bernama Gaspers,” demikian penjelasan  Taleb Bin Thalib.

Ketiganya kemudian memohon agar rombongan turun ke darat bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda Buru yang sedang menanti.

Permintaan ketiga pemuda tersebut diterima. Penghuni kapal siap turun untuk bertemu dengan pemuda Buru.  Seketika kemduian bergegas Raden Yusuf Kartadikusuma (pemimpin rombongan), Ibrahim Saleh (kapten kapal), Anton Papilaya (Tim PNC) ke daratan Namlea untuk melangsungkan pertemuan.

Sementara di dalam KM. Sindoro ada Yos Sudarso, Dominggus Pattinasarane, Welly Noya, Agus Hektari, Mulyadi, Djafar, Polnaya, Espiano dan Nn. Ana Luhukay.

Kabar Indonesia Merdeka

Setiba di darat rombongan Raden Yusuf Kartadikusuma disambut hangat oleh Abdulah Bin Thalib dan teman-teman. Raden Yusuf kemudian membuka perbincangan dengan menjelaskan kepada Abdulah Bin Tahalib dan teman-temannya, ikhwal kedatangan mereka di Pulau Buru.

“Kami tim dari Badan Propaganda Daerah Seberang. Kami mendapat perintah dari Biro Propaganda Pemerintah RI yang berkedudukan sementara di Yokyakarta. Tugas kami adalah propaganda tentang kemerdekaan RI yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945,”ungkap Raden Yusuf Kartadikusuma kepada Abdulah Bin Thalib yang ditemani sejumlah pemuda saat itu.

Mendengar berita Indonesia telah merdeka, spontan rasa kegembiraan yang luar biasa dirasakan para pemuda yang hadir pada saat itu. Rasa gembira yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Saat pristiwa ini terjadi,  tanggal 4 April 1946,  bendera penjajah kolonial Belanda masih berkibar di Kota Namlea.  Pulau Buru masih dalam koloni pemerintahan Belanda.

Untuk memotivasi dan membakar semangat patriotisme pemuda-pemuda Pulau Buru, Raden Yusuf Kartadikusuma berkisah tentang semangat patriotisme para pemuda di Pulau Jawa yang tidak mengenal menyerah dalam mengusir penjajah Belanda. “Semboyan mereka, para pejuang di Tanah Jawa adalah merdeka atau mati,” tuturnya.

Adam Pattisahusiwa Diminta Bergabung

Raden Yusuf Kartadikusuma berhasil membawa misi propaganda. Rapat untuk mengkosolidasi kekuatan pun digelar.  Dalam upaya merapatkan saf perjuangan dan penyebaran informasi kepada rakyat Buru, Abdulah Bin Thalib menyuruh seorang pemuda memanggil Adam Pattisahusiwa.

Adam dipanggil untuk diperkenalkan dengan para tamu istimewa tersebut. Dialog tentang perjuangan pun berlangsung sampai dengan siang hari dan makan siang bersama di rumah Abdula Bin Thalib.

Setelah itu, pembicaraan rahasia dan bersifat tertutup dilakuan Abdulah Bin Thalib, Adam Pattisahusiwa dan Yusuf Kartadikusuma yang berlangsung hingga pukul 05.00 WIT sore.

Rupaya pertemuan hari itu belum tuntas membicarakan masalah strategi. Esok harinya, rombongan Raden Yusuf Kartadikusuma kembali trun dari kapal menemui Abdulah Bin Thalib dan Adam Pattisahusiwa.

Pertemuan kedua digelar tangga 5 April 1946, tepat pukul 09.00 WIT pagi di tempat yang sama  di rumah Abdulah Bin Thalib.

Rombongan dari KM. Sindoro ikut pula kapten kapal  Ibrahim Saleh, Raden Yusuf Kartadikusuma, Papilaya, Yos Sudarso, Dominggus Pattinasarani, dan Nn. Ana Luhukai. Pertemuan yang berlangsung dalam suasana keakraban dan kekeluargaan itu akhirnya berhasil sesuai harapan.

Rombongan kemudian berpamitan dan menghaturkan terima kasih kepada putra-putra terbaik Pulau Buru yang telah melayani mereka selama 2 hari. Sambil bersalaman terucap kata-kata “Merdeka rakyat Pulau Buru, Maju terus pantang mundur, “ Inilah pekikan rombongan yang disahut oleh pemuda Pulau Buru. (bersambung)