BERITABETA.COM, Ambon – Mentari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Pagi itu tidak ada tanda akan turun hujan. Lagit di kota penghasil minyak terlihat cerah di awal tahun  2014 silam. Saya baru bangun dan menghidupkan hand phone, tiba-tiba ada sebuah short massage servis (SMS) sudah muncul di layar HP. Sambil merapihkan tempat tidur, saya lalu mengintip isi pesan tersebut. “Bang jangan lupa jam 07.00 WIT kita jalan,” demikian isi pesan itu.

Saya baru sadar, ternyata sehari sebelumnya, saya sudah janjian untuk mengantar  teman sesama PPL yang mendampingi kegiatan SOLID di desa binaan baru.

Mila Fransiska Fatah demikian namanya. Gadis mungil lulusan sarjana perikanan yang biasa disapa Mila ini, baru saja menerima tugas, harus melakukan kunjungan ke Desa Namalena, Kecamatan Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian Timur. Mila adalah PPL yang ditunjuk sebagai pendamping kegiatan Smallholder Livelihoold Development (SOLID) atau kegiatan Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (PKPK)  tahun 2014 di desa tersebut.

Tanpa berleha-leha saya pun bergegas mandi dan menjemput Mila yang menetap di kawasan Kampung Jawa di kota Bula. Saya lantas membonceng Mila, lalu tancap gas menyusuri jalanan kota Bula di pagi hari itu. Meski udara pagi serasa dingin menusuk pori-pori, saya harus cepat, karena  bila hujan turun, maka kami tidak mungkin sampai ke Desa Namalena, salah satu desa yang berada di sebuah pulau kecil terpisah dengan Pulau Seram.

Di pulau yang disebut Pulau Farang itu hanya dihuni oleh penduduk dua desa. Untuk menuju pulau tersebut, kami harus menyusuri jalanan panjang sekitar 35 km sampai ke Desa Karay salah satu desa paling ujung di Kecamatan Teluk Waru.  Dari Desa Karay, perjalanan akan dilanjutkan menggunakan perahu kayu dengan mesin tempal. Oleh warga setempat biasa disebut Ketinting.

Untuk mencapai ke Desa Karay, kami harus melewati beberapa sungai dengan ukuran lebar sekitar 50 meter. Bila musim hujan tiba, aliran sungai-sungai itu cukup deras dan sukar dilalui warga yang mengendarai sepeda motor.

Ada juga sungai  yang kedalaman airnya mencapai satu meter dan cukup deras aliran airnya.  Oleh warga setempat disebut kali Beli, sungai yang membatasi dua desa, Solang dan Belis.

Meluapnya air di kali Beli membuat warga menawarkan jasa memikul sepeda motor di tahun 2014 silam.

Pengendara sepeda motor harus menyeberang tanpa sepeda motor. Sepeda motor akan dipikul oleh warga setempat, bila pengendaranya berbobot badan dibawah 60 kg, warga akan menawarkan memikul kendaraan sekaligus pengendaranya atau orang yang dibonceng.

Sudah pasti, rasa was-was akan menyelimuti setiap orang yang menyeberang, bukan saja aliran airnya yang cukup deras dan mengancam setiap orang, tapi konon menurut warga setempat tepian sungai  tersebut juga banyak dihuni  buaya, binatang buas yang banyak ditakuti orang. Jangankan melihatnya, membayangkan diterkam buaya saja, bulu kudu jadi merinding.

Tantangan Berat jadi PPL

Deskripsi singkat terkait perjalanan kami ini, merupakan sebuah tantangan yang akan terus dijalani Mila Fransiska Fatah.  Gadis  berjilbab ini harus menerima kenyataan, bahwa apa yang akan dijalankan kedepan sebagai petugas penyuluh sekaligus pendamping kegiatan SOLID di Desa Namalena, bukan hal gampang. Paling tidak, Mila harus melalui semua itu hingga empat tahun mendatang, tepatnya tahun 2018 setalah project SOLID berakhir.

Sebuah fenomena yang cukup kontraks bila dilihat. Bagaiaman tidak, gadis  kolokan, feminim dan masih ABG  itu,  harus mengemban tugas sebagai seorang PPL yang dituntut bersikap  profesional sebagai guru dan mitra bagi kelompok tani binaannya.

Bukan saja soal beratnya pembinaan terhadap kelompok tani atau nelayan, namun perjalanan yang cukup panjang dan menantang itu harus dia lalui  secara kontiyu apabila dia tidak menetap di desa tersebut.

Setelah mampu melewati beberapa kali dengan arus yang cukup deras, kami pun sampai di sungai  Beli, satu diantara beberapa kali yang cukup berat dilalui.

Selain aliran airnya yang cukup deras, kedalaman air dengan dasar kali yang berlumpur, membuat semua orang yang melintasi kali itu harus basah kuyup. “Abang ini su bagimana? Trus beta nanti bagimana lai?” satu per satu pertanyaan mulai keluar dari mulut Mila yang sebelumnya hanya diam  itu.

Saya mencoba menenangkan dia, “Tenang saja, khan ada orang yang bisa pikul” jawabku singkat.

Warga sekitar yang menjadi buru pikul kendaraan rupanya ada yang kenal saya. Tak lama kemudian ada suara, “Pak mari katong pikul motornya. Ibu naik saja di atas motor seng apa-apa nanti katong pikul sekalian dengan motor,” ucap mereka menawarkan jasa memikul.

Ternyata apa yang menjadi beban saya sudah terjawab. Meski dengan ragu-ragu penuh rasa takut, Mila pun mau dipikul bersama kendaraan roda dua yang kami kendarai.  Hanya beberapa menit saja, Mila sudah diseberang maski harus berteriak histeris karena takut jatuh dari atas  sepeda motor.

Lagi-lagi sebuah memandangan yang cukup menarik, saya lalu mengabadikan momentum itu. Beberapa kali jepretan kamera berhasil saya lakukan. Hasilnya lumayan menarik dan lucu. Terlihat jelas ada cewek berjilbab dengan dandanan rapi, dipikul di atas sepeda motor.

Meski terlihat panik di raut wajahnya, tapi dasar ABG, tetap saja Mila masih sempat berteriak “Abang foto lai”, Jang lupa ini dokumentasi,”teriak Mila yang dasarnya gila foto (gifo) istilah kerennya.

Giliran saya harus nekat basah menyeberang kali dengan ketinggian air sebahu itu. Arus air yang kencang membuat nyali saya juga jadi ciut. Tak ada bebatuan yang mampu menganjal derap langkah, saya nyaris terbawa air, dengan sekuat tenaga dan bantuan warga, saya mencoba menyeberang hingga lolos ke seberang.

Saya dan Mila pun kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Karay, desa yang berada di pesisir pantai itu, baru pertama kali saya kesana.

Di Karay kami berdua kembali tertantang, harus menyebrang laut dengan menggunakan katinting selama dua jam. “Sudah basah kuyup, tapi harus tegar dan tidak boleh menunjukan rasa capek ke dia,” ucap saya dalam hati.

Kami berdua lalu menyebrang menuju Pulau Farang.  Gelombang laut mulai menghantam body ketinting. Meski harus basah untuk kedua kalinya, saya tetap mencoba menikmati perjalanan yang melelahkan itu dengan mengobrol. Hingga kami pun sampai di Desa Namalena, sebuah desa pantai yang cukup terpencil, dikelilingi hutan mangrove.

Sampai di desa itu kami harus cepat-cepat menjalankan tugas kami, membentuk kelompok mandiri binaan SOLID. Warga kami kumpul dan saya pun mencoba membuka rapat dengan menjelaskan maksud dari kunjungan kami. Mila, saya kenalkan, dia pun saya tugasi menjalankan daftar hadir agar rapat itu cepat tuntas.

Dari pertemuan singkat itu, ternyata banyak hal yang terungkap. Dari hasil diskusi kami dengan warga setempat, mereka banyak mengeluhkan tentang perhatian pemerintah yang cukup minim. Namun saya mencoba menjelaskan, bahwa kedatangan kami bukan untuk membicarakan soal bantuan pemerintah, tapi kami ditugaskan untuk membentuk kelembagaan petani dan nelayan dengan membentuk kelompok. Soal bantuan, itu nantinya disalurkan pemerintah berikutnya, setelah kelembagaan kelompok sudah dianggap layak menerima bantuan.

Inilah dinamika dalam menjalankan tugas sebagai seorang penyuluh (pertanian, perikanan dan kehutanan). Banyak hal harus dilakukan dan yang paling terberat adalah tugas untuk merubah mind set (pola pikir) masyarakat. Apalagi kondisi desa yang cukup jauh dari jangkauan seperti Desa Namalena ini. (dhino pattisahusiwa)