BERITABETA.COM, Namlea – Ketua Komisi D DPRD Maluku Saadyah Uluputy mengatakan penyerapan dan penggunaan Dana Desa (DD) di setiap daerah seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membuat program pemberdayaan yang dapat mensejahterakan masyarakat di desa.

“Ada penggunaan DD oleh beberapa desa yang prinsipnya asal bisa terserap tanpa melihat bagaimana manfaatnya, ada Rp700 juta atau Rp1 miliar namun ukuran atau indikator kesejahteran ini bagaimana,” kata Saadyah Uluputy saat melakukan kunjungan pengawasan bersama anggota Komisi D  di Namlae, Minggu (10/2/2019)

Menurut dia,  ada dana desa yang dipakai untuk membangun talud misalnya kira-kira kualitasnya seperti apa, bangun prasarana umum dan sebagainya.

“Dari satu sisi, masyarakat mengakui bahwa kita ingin pemberdayaan namun di sisi lain mereka juga mengeluhkan kurangnya akses dan infrastruktur, tetapi antara pembangunan infrastruktur dengan pemberdayaan secara umum kami ingin mendengarkan juga bagaimana bisa disesuaikan dengan kondisi di desa” katanya.

Sementara itu, Kadis Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Buru, Nawawi Tinggapi menjelaskan, dari 11 kabupaten/kota di Maluku maka Kabupaten Buru masuk tiga besar yang ketika dievalusi oleh provinsi soal penyerapan dana desa itu selalu dominasi dan masuk tiga kota teratas setelah Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon.

Dalam tahun anggaran 2018, dana teralokasikan untuk Kabupaten Buru sebesar Rp65,863 miliar lewat DD dari APBN.

Anggaran ini langsung ke kas desa melalui proses-proses yaitu rekening negara ke rekening daerah dan berdasarkan persyaratan daripada desa yang telah menyusun program perencanaannya, kemudian dengan waktu tujuh hari langsung ditransfer ke rekening desa.

“Seluruh dana sudah terserap melalui tiga tahap pencairan dan dari proses pelaksanaan DD berorientasi pada tujuh pelaksanaan tugas dari implementasi anggaran yang sasarannya pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan,” jelas Nawawi.

Kemudian dalam aturan UU nomor 06 tahun 2014 juga membatasi intervensi pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat pun demikian, karena itu UU telah memberikan kewenangan kepada pemerintah desa karena substansi usul perencanaan ada pada mereka seluruhnya.

“Itulah yang kita jaga sehingga yang disampaikan ketua komisi D kami ucapkan terima kasih karena terkait dengan kewenangan desa, kemudian ada juga yang berorientasi pada pembangunan fisik maupun pembangunan pemberdayaan,” tandasnya.

Namun sekarang teristimewa menyangkut prioritas kebutuhan desa itu yang paling utama dan Kabupaten Buru dalam rangka pengawasan serta evaluasi dan verifikasi pelaksanaan di desa lewat kewenangan bupati melalui peraturan bupati kepada camat dalam menjalankan tri fungsinya baik fungsi atributif, koordinatif, maupun fungsi delegatif.

Selaku camat melakukan tiga fungsi ini dengan menjalankan verifikasi bersama teman-teman pendamping dan merupakan program nasional yang masuk sampai ke pelosok desa baik pendamping lokal desa, pendamping desa, dan pendamping tenaga ahli.

“Kemudian di desa kami juga selalu berupaya sehingga ada lembaga-lembaga pemberdayaan yang terfokus juga untuk bisa melaksanakan konsep pemberdayaan yang terarah dengan kebutuhan desa, disamping peran strategis dari badan permusyawaratan desa,” tandas Nawawi.

Inilah kondisi yang terjadi di Kabupaten Buru dan pemkab selalu bertekad dalam kerangka membangun terkait dengan isyarat aturan yang sudah ada, dan sering kali dibilang haram hukumnya ketika desa melakukan kegiatan di luar apa yang sudah diisyaratkan dalam aturan permanen.

Katakanlah implementasi Permendagri terkait dengan kewenangan penyusunan perencanaan sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor 114, kemudian harta kelola keuangan sesuai Permendagri noor 113 tahun 2015 tentang tata kelola keuangan desa (BB-DIO)