BERITABETA, Palu – Perjalanan menuju Desa Jono Oge terhenti. Jalan aspal terputus. Sejumlah orang berdiri di ujung jalan itu. Merekam dengan ponsel sambil menggelengkan kepala. Tanda tidak percaya atas musibah menimpa. Kampung itu lenyap. Berganti hamparan tanah berlumpur.

Desa Jono Oge masuk wilayah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tidak ada lagi bangunan berdiri bila di lihat dari ujung patahan jalan. Semua bergeser. Ke arah Desa Langaleso. Kami mencoba melihat lebih dekat. Menuruni jalan setinggi lebih kurang 2 meter.

Sebagian lokasi masih berlumpur. Harus berhati-hati menginjakkan kaki. Dari atas kami berjalan dengan rombongan TNI dan relawan dari FPI. Mereka berencana melakukan evakuasi. Ketika itu alat berat belum masuk. Fokus penanganan evakuasi masih di wilayah Kota Palu.

Berjalan hingga ratusan meter, kami berhenti. Lokasi kami berdiri itu sebelumnya merupakan perumahan. Kini sudah berganti kebun jagung. Tanaman itu masih berdiri. Bahkan sebagian sudah masuk layak untuk dipanen. Jagung manis merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan di Sigi.

Rombongan TNI dan relawan FPI terus berjalan. Kami berhenti. Bertemu dengan lima orang warga. Mereka membawa cangkul dan linggis. Di sini kami bertemu Mahse. Dia bukan warga Jono Oge. Tapi sudah enam hari berada di lokasi. Mengaku tengah mencari putrinya.

Wajahnya sudah lelah. Namun, semangatnya tak pudar. Dia meyakini lokasi putrinya ada di sini. Dekat tanaman jagung dan area agak berlumpur. “Saya tanya orang pintar (paranormal), dia menunjukkan ciri-ciri lokasinya seperti ini,” kata Mahse kepada kami.

Semua upaya sudah dilakukan. Sampai meminta wangsit dari paranormal. Sudah disadari, menemukan sang anak dalam kondisi masih hidup merupakan hal mustahil. Sebagai orangtua, dia hanya ingin menemukan jasadnya. Ingin melihat untuk terakhir kalinya.

Putrinya ketika itu tengah mengikuti kegiatan di gedung Pusdiklat GPID, Desa Jono Oge. Lokasinya berada di Gereja Patmos. Bersama sekitar 150 anak lainnya dari SMA Negeri 2 Palu. Diduga banyak korban dari situ. Apalagi lokasi gereja bergeser hingga 3 kilometer. Jarak itu diukur menggunakan GPS dari jalan terputus hingga titik di Desa Langaleso. Lokasi terakhir tanah dan bangunan itu berhenti. Banyak pula puing bekas gereja ditemukan di sana.

Mahse bukan satu-satunya orangtua mencari jasad anaknya. Ketika kami tiba di Desa Langaleso, di sana juga bertemu dengan Yoma. Perempuan itu baru pertama kali datang ke lokasi. Melihat bagaimana hancurnya satu desa akibat gempa dan likuefaksi.

Kesedihan masih menyelimuti Yoma. Tangis tidak bisa ditahan. Dia masih penasaran, mencari putri bungsunya bernama Diana Melinda. Gadis 17 tahun itu juga tengah mengikuti kegiatan di Gereja Patmos. Sebagai panitia bidang konsumsi.

Setelah melihat kondisi Desa Jono Oge, perempuan itu mulai mengikhlaskan. Sadar bahwa sulit menemukan jasad putrinya. “Saya hanya teringat terakhir kali bertemu. Dia tampak cantik sekali, memakai baju merah muda,” ucap Yoma.

Dari ratusan siswa di Pusdiklat GPID itu ada juga korban selamat. Seperti dialami San Sebastian Ariel. Siswa kelas X SMA Negeri 2 Palu itu selamat setelah memeluk erat batang pohon kepala. Dia berlari ke arah belakang gereja ketika gempa 7,4 skala richter itu mengguncang pada 28 September lalu sekitar pukul 5.30 WITA. Kini dia sudah dievakuasi ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Yoab, ayah San, membantu evakuasi. Dia bersama istri menuju lokasi sesaat setelah kejadian. Jarak dari rumahnya sekitar 12 km. Sampai di Desa Jono Oge, kondisi sudah gelap. Hanya memanfaatkan lampu senter dari ponselnya. Berjalan menyusuri. Mencari di mana lokasi sang anak. Hingga bertemu dengan salah seorang korban selamat. Dari situ dia mendapat informasi lokasi gereja.

Perjalanan berat. Tanah masih berlumpur. Berjalan lebih dari 1 km. Sampai lokasi diperkirakan anaknya berada, ternyata ada beberapa korban masih selamat. Dari kejauhan mereka memberi tanda memakai lampu ponsel. Lokasi itu didekati. Dan bertemu dengan kawan akrab anaknya, sekaligus menjadi korban selamat. Ternyata sang anak berada di sebelah sisi kirinya.

Menemukan pohon kelapa tumbang, di situ Yoab melihat seseorang berpegangan dengan batang pohon kelapa tumbang. Memegang kepala dan memastikan bahwa itu merupakan sang anak. “Saya putar kepalanya. Dan memastikan itu San, anak saya,” cerita Yoab. Kami belum menemui San. Posisinya kini berada di Makassar. Di titipkan ke rumah kakak Yoab. Sengaja dipindah untuk mengurangi rasa trauma sang putra.

Dampak Likuefaksi

Menyusuri Desa Jono Oge, kami menuju ke wilayah Desa Pombewe. Sebelumnya sempat mampir di lokasi pengungsian warga Jono Oge. Di sana bertemu dengan Sukatno. Pria 50 tahun itu mengaku bingung akan tinggal di mana. Rumahnya hilang terseret tanah. Beruntung dia dan keluarganya selamat.

“Kami tidak tahu lagi akan tinggal di mana. Tidak ada rumah kami lagi” ujar Sukatno. Dia merupakan warga transmigran dari Banyuwangi, Jawa Tengah. Sudah sejak tahun 1980an tinggal di Sulawesi Tengah. Tiap hari bekerja sebagai petani.

Dari Desa Pombewe, lokasi ini titik awal tanah bergeser berasal. Di atasnya terdapat sungai irigasi. Warga setempat biasa menyebut koala. Kondisinya sudah kering. Bagian sisi arah Desa Jono Oge amblas. Tanah terbelah. Bahkan pintu air pun rusak parah.

Diduga dari situ air masuk melalui sela-sela tanah terbelah. Ditambah air dari bawah tanah. Membuat tanah persawahan maupun bangunan rumah terangkat dan terseret jauh akibat likuefaksi. Jarak antara Pombewe hingga Langaleso berjarak 3,7 km bila diukur menggunakan GPS. Sedangkan data BNPB mencatat luas seluruh Desa Jono Oge terdampak mencapai 202 hektar.

Aliran koala itu berasal dari Bendung Irigasi Gumbasa. Dekat dari bendung itu, ada Desa Sibalaya. Butuh waktu sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor dari Jono Oge. Dampak becana di wilayah itu persis seperti Jono Oge. Mengalami pergeseran. Namun, tidak separah Jono Oge. Belum diketahui luasan maupu berapa korban berhasil selamat ketika kami datang. Banyak di antara mereka kini mengungsi di lokasi pasar dekat lokasi kejadian.

Dari Sibayala, kami menuju Petobo. Masuk dalam wilayah Kota Palu. Daerah ini paling parah terkena dampak gempa bumi dan longsor akibat likuefaksi. Hulu dari tanah longsor berada di Jalan H.M Soeharto. Bermula dari koala. Aliran irigasi itu sejajar dengan Desa Sibalaya dan Desa Jono Oge.

Bila dilihat dari jembatan di atas aliran koala, jalan menuju Desa Petobo melandai turun. Sekitar 50 meter lebih dari jembatan, hanya jalanan amblas. Rumah di samping kiri-kanan masih berdiri. Tak jauh dari situ, jalan sudah terputus. Diukur jarak menggunakan GPS dari patahan sampai lokasi akhir longsor di Jalan Dewi Sartika, mencapai 2,3 Km. Sedangkan BNPB menyebut wilayah terdampak likuefaksi mencapai 180 hektare dari total luas keseluruhan Petobo sekitar 1.040 hektare.

Melihat kondisi dari atas Jalan H.M Soeharto, terlihat jelas bagaimana wilayah itu rata hancur. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat tanah mengangkat dan puing rumah. Hancur. Mungkin itu kata paling pas buat menggambarkan keadaan Petobo pascagempa dan likuefaksi.

Menyusuri kawasan Petobo. Kami bertemu dengan korban selamat. Bernama Subhan Kacong. Dia merupakan pengusaha kayu dan warung sembako. Rumahnya tiga lantai. Setelah terkena likuefaksi hanya terlihat lantai paling atas. Beruntung dia dan sekeluarga selamat.

Proses penyelamatan berjalan dramatis. Ketika gempa besar tiba, Subhan tengah berada di rumah. Di sana tinggal dua orangtuanya dan seorang mertua perempuan. Satu per satu dia selamatkan. Dia menggendong semua. Orangtua laki di punggung, ibu kandungnya diangkat pakai tangan dan mertuanya menempel di pundak kiri Subhan. Dia berlari. Sekitar 20 meter dan berhenti bebatuan. “Saya tidak tahu bisa kuat menggendong mereka. Tiba-tiba seperti ada kekuatan,” ujar Subhan.

Di atas tanah padat berbatu itu dia berdiri. Tak lama guncangan gempa, terjadi likuefaksi. Tanah tempatnya berdiri bergeser. Bahkan terbelah dan mengangkat. Sambil memegang orangtuanya, dia berdoa. Meminta keselamatan kepada sang pencipta. Bersyukur, doanya diijabah. Mereka semua selamat. Sementara anak dan istrinya sudah berlari terlebih dahulu hingga Jalan Dewi Sartika.

Subhan kini masih mencoba menyelamatkan sisa harta benda miliknya. Mencari dokumen penting bisa diselamatkan. Dibantu tiga orang saudaranya. Sampai terakhir kami bertemu, tidak banyak bisa diselamatkan. Subhan pun pasrah. Keluarganya kini tinggal di ruko miliknya dekat Jalan Dewi Sartika.

Daerah Rawan

Warga Petobo lainnya, Makmur, tidak banyak berharap pascakejadian. Rumahnya hancur. Sulit ditemukan. Hanya bisa bersyukur masih diberi kesempatan hidup. “Artinya kita yang masih selamat diminta untuk berbuat lebih baik lagi,” kata dia.

Dampak likuefaksi di Perumnas Balaroaa

Harus diakui, kata Makmur, kondisi tanah di Petobo seharusnya tidak layak untuk dijadikan kawasan perumahan. Hampir semua rumah di sana memakai sumur suntik untuk mendapatkan air. Tidak perlu memakai pipa panjang. Kurang dari 5 meter sudah bisa mendapatkan air.

Untuk harga tanah di sana juga termasuk terjangkau. Sesuai NJOP, kata dia, harga rata-rata Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu per meter persegi. Sudah sejak 2003 dia tinggal di sana. Memang sejauh ini tidak pernah ada pemberitahuan mengenai kondisi Petobo dari pemerintah setempat.

Sejak 2012, Badan Geologi sudah melakukan penelitian mengenai kondisi tanah di Palu bekerjasama dengan Bappenas. Hasil penelitian menunjukkan Palu tergolong wilayah berpotensi sangat tinggi mengalami likuefaksi. Namun, permukiman tetap dibangun di area berisiko mengalami likuefaksi itu.

Padahal dengan hasil itu, seharusnya tiap wilayah mengetahui soal kondisi tanahnya. Namun, maraknya pembangunan diduga menjadi penyebab. Terutama dalam pemberian izin. Pemerintah setempat diduga masih tidak selektif dalam memberikan izin membangun.

Kondisi itu diakui Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho. Dia menyebut banyaknya korban dan kerusakan di wilayah Petobo lantaran adanya penataan tidak sesuai dengan data potensi daerah rawan. Wilayah itu termasuk di atas tanah berpotensi terkena likuefaksi bila terjadi gempa.

“Adanya likuefaksi saat gempa menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa di Kota Palu lebih besar dibandingkan dengan daerah lain,” ujar Sutopo. Untuk itu, seharusnya peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuefaksi akan menjadi pertimbangan dalam penataan ulang ruang Kota Palu serta elbagau daerah rawan bencana lain.

Bencana gempa bumi, likuefaksi dan tsunami di Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi telah terjadi. Banyak kerusakan. Banyak korban tidak selamat. Sedangkan sebagian mereka kini jadi penyintas. Tinggal di pengungsian dan tidur berdesakan.

Pemerintah Kota Palu berencana menjadikan dua wilayahnya menjadi monumen. Di Petobo dan Balaroa. Bagi mereka korban selamat rencananya bakal dibuat hunian sementara. Mereka akan direlokasi ke lokasi baru. Penduduk Balaroa akan di relokasi ke Balaroa Atas, Kota Palu. Sedangkan penduduk Petobo dan Jono Oge dipindahkan ke Natabaru, Kabupaten Sigi.

Untuk wilayah Balaroa, diperkirakan sekitar 1.500 unit rumah rusak dan hancur. Sedangkan di Jono Oge ditaksir ada 300an rumah. Sementara Petobo, mencapai 2.051 rumah terkena likuefaksi. itu terbagi 1.833 unit rumah rusak berat dan 218 rumah rusak ringan. (BB/ANG)

Sumber : Merdeka.com