BERITABETA.COM, Jakarta – Pandemik COVID-19 telah membawa dampak ikutan yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia. Pembelian obat antiretroviral (ARV) yang kemarin sudah diputuskan oleh Kemenkes, guna menutupi krisis kekosongan obat ARV yang banyak terjadi di layanan kesehatan di Indonesia, terhambat dengan sulitnya penerbangan dari India dalam mendatangkan obat yang sudah dipesan ini.

Direktur Eksekutif, LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana kepada beritabeta.com dalam siaran persnya, Jumat sore (20/03/2020) menjelaskan, mayoritas obat ARV untuk orang dengan HIV/AIDS di Indonesia didatangkan dari India.

Saat ini, kata dia, melalui dana bantuan Global Fund, Kemenkes RI telah melakukan order pembelian obat ARV melalui tender internasional dan obatnya sudah siap di India.

Sayangnya, perusahaan penerbangan yang bisa digunakan untuk mengangkut obat ARV ini, membatalkan penerbangannya untuk masa dua minggu kedepan. Lebih parahnya, tidak ada jaminan setelah dua minggu tersebut layanan pengirimannya bisa dilakukan.

Menurutnya, bila diputuskan menggunakan pesawat dari maskapai yang berbeda, dibutuhkan penyesuaian dalam dokumen impor yang sudah terlanjur dikeluarkan guna memastikan obat ini tidak akan tertahan di bea cukai bandara di Jakarta. Bagi pembelian yang menggunakan dana APBN, prosesnya pun baru saja dimulai.

LKPP masih belum mengumumkan siapa pemenang tender penyuplai obat ARV ini. Setelah proses pengumuman pemenang ini yang bisa diakses di website e-katalog, Kemenkes RI baru bisa melakukan order.

Setelah pemenang ditetapkan, masih akan ada hambatan yang sama dikarenakan meski pemenangnya perusahaan lokal, tetap saja obat ini harus didatangkan secara impor dari India.

“Kemenkes harus memikirkan ekses dari COVID-19 terhadap ketersediaan obat esensial misalnya semacam obat ARV ini.” kata Aditya Wardhana.

Aditya menambahkan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan.

Yang pertama, Kemenkes harus mengidentifikasi kebutuhan obat baik untuk program penanggulangan AIDS nasional maupun suplai obat bagi masyarakat umum serta menghitung kecukupan stoknya yang ada saat ini.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah mengumpulkan segenap stakeholder yang terkait dengan tata niaga obat ini, baik dari sisi pemerintah maupun sektor swasta, guna mendapatkan informasi mendalam serta memetakan potensi dampak dari COVID-19 terhadap kecukupan stok obat-obatan di Indonesia.

Ini juga untuk memetakan mana obat-obatan yang bisa diproduksi secara mandiri di dalam negeri dan mana yang masih bergantung pada impor dari negara lain.

“Bagi obat-obatan yang stoknya minim dan masih harus didatangkan dari negara lain, Kemenkes harus memikirkan dan mengambil solusi cepat dalam mendatangkan obat-obatan ini guna menjaga tingkat pasokan di dalam negeri,” paparnya.

Langkah berikutnya yang perlu dilakukan, Kemenkes secara serius harus mulai bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional (Rationale Use of Medicines) guna menghemat stok obat yang masih tersedia saat ini di dalam negeri.

Pemerintah juga harus mengambil momentum ini agar lebih serius mengevaluasi dan memperbaiki peta jalan (roadmap) bagi penguatan industri obat dalam negeri sehingga mampu memutus ketergantungan impor bahan baku obat serta impor obat jadi dari negara lain.

“Pertanyaan besar sekarang, apakah pemerintah kita akan bertindak dengan sigap sehingga stok obat ARV bagi 140 ribu pasien orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam pengobatan ARV bisa mendapatkan obatnya?” tulis dia (BB-DIO)