Oleh: Mariska Lubis (Penulis Buku)

SETIAP kali mengingat Ambon, mata saya dipenuhi dengan bayang-bayang kapal-kapal di pelabuhan yang dipenuhi dengan rempah-rempah. Para penduduk di Kerajaan Tanah Hitu itu tersenyum simpul dengan manisnya, hingga terkenal dengan sebutan “Ambon Manise”. Syair-syair bernuansa Islam pun tak mau kalah, mengisi hari-hari dan waktu di setiap perjalanan menuju kepadaNya.

Rasa kekeluargaan yang begitu erat pasti akan langsung dirasakan bila berjumpa dengan orang Ambon, tidak perlu jauh-jauh ke Ambon, di mana-mana pun sama. Saya masih ingat rumah tetangga dan sahabat dari kecil, mereka keluarga Ambon sejati, begitu saya bilang. Rumah mereka selalu penuh oleh keluarga dan kawan-kawan, rasanya hampir tidak ada hari tanpa keceriaan di sana.

Istilah “potong di kuku, rasa di daging” yang merupakan filosofi keluargaan orang Ambon memang begitulah adanya. Saya sendiri tak pernah lupa dengan istilah itu, sejak saya mengetahuinya dari seorang kakek tua asal sana yang menetap di Jakarta dan pernah menolong saya. Ya, mungkin tanpa beliau saya sudah pukul-pukulan dengan pemalak di daerah Blok M.

Masih juga ada bayang-bayang di mata ini ketika menjelang hari-hari besar. Warga yang ada di desa berbondong ke kota, membawa karung berisi Rupiah untuk dibelanjakan. Mereka membeli banyak sekali keperluan, mulai dari pakaian hingga segala perabot rumah tangga. Keceriaan itu nampak dan tak ada yang namanya kegelisahan akibat adanya perbedaan antar umat beragama.

Jalan-jalan di pinggir laut sambil membayangkan era keemasan di masa lalu memang menyenangkan. Apalagi, bila sempat menikmati keindahan bawah laut wilayah Maluku. Rasanya, saya tak ingin keluar kembali ke darat. Di sana tak ada suara selain desah nafas kita sendiri dan keindahan yang diberikan Allah. Ah! Saya masih ingat hari-hari itu!

Hingga kemudian beberapa tahun lalu terjadi peristiwa yang saya anggap sebagai “rekayasa politik” untuk memecah belah Ambon hingga rakyat saling berperang satu sama lain. Peluru dan deru mesin senjata tidak ada habisnya sepanjang hari. Keadaan ekonomi yang sebelumnya juga seperti dibuat hancur berantakan, menurut saya memicu keadaan lebih buruk. Saat orang dalam keadaan fakir harta, emosi sangat mudah dibakar dan disulut. Memilih antara kebutuhan dan idealisme, bahkan harga diri, seringkali menjadi dilema.

Saya tidak tahu bagaimana keadaan Ambon saat ini. Namun saya yakin, keadaannya tidak berbeda jauh dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ada keresahan yang tidak bisa dipungkiri dengan situasi dan keadaan ekonomi politik, apalagi setelah Pilpres dengan segudang masalahnya. Siapa yang tidak ingin maju dan kembali berjaya? Siapa yang tidak ingin ada kedamaian dan kebahagiaan yang senantiasa itu?

Bagaimana kita bisa mendapatkan kembali semuanya adalah tantangan besar, apalagi ke depan akan lebih berat. Ada banyak perubahan yang terus terjadi. Semoga Ambon akan mendapatkan senyumnya kembali, senyum yang manis itu.(***)