Oleh :  Fahri Asyathry  (Ketua LSM Pusat Kajian Strategis dan Pengembangan Sumber Daya Maluku)

Kemelut Kapal Cepat milik swasta di Kabupaten Maluku Tengah adalah wajar bila dipandang sebagai sebuah desain sistem yang rapi dan menguntungkan korporasi atau pihak kapitalis. Bermula dari kasus korupsi pembelian kapal cepat MV.

Pamahanunussa yang terjadi tahun 2001-2002 yang bersumber dari DAU dengan pemenang tender PT. Young Marine pimpinan Antonius  Trisno Wibowo yang beralamat di Jln. R.E. Marta Dinata 1- Jakarta Utara sesuai surat penawaran No. 02/PT/YM/XI/2001 melahirkan dampak kerugian negara yang tidak kecil karena terbukti kapal yang dibeli adalah kapal bekas dan tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak.

Kasus itu pun menyeret nama Mantan Bupati Abdullah Tuasikal yang sempat diperiksa oleh pihak Kejaksaan dan menjadikan mentan Bupati Rudolf Ruka sebagai tersangka.

Setelah kasus itu bergulir, kondisi Kapal Pamahanunussa mulai memprihatinkan, yakni terjadi kerusakan pada mesin dan beberapa badan kapal dan karenanya ia membutuhkan biaya mencapai 1 Milyar untuk perbaikan setelah terjadi pembicaraan antara Komisi B DPRD Malteng dengan pihak Pemda yang kala itu dihadiri oleh Sekretaris Daerah A.R Syukur.

Karena tak ada kelanjutan antara opsi perbaikan kapal atau diserahkan untuk dikelola oleh ke pihak ketiga, kapal itu kemudian dibiarkan terlantar dan tak berfungsi sama sekali. Setelah berlabuh sekian lama di Pelabuhan Tulehu, kita dikagetkan dengan berita hangusnya Kapal MV. Pamahanunussa dengan sebab kebakaran yang tidak pernah jelas hingga hari ini.

Dalam kondisi itu, masuklah PT. Darma Indah yang bertindak sebagai satu-satunya pemain tunggal dalam bisnis pelayaran kapal cepat yang menghubungkan antara Pulau Seram dan Pulau Ambon.

Dalam perjalanannya, perusahan yang dipimpin oleh Jhony de Queljo alias Siong ini terlihat makin kuat karena tak ada kompetitor lain yang bisa menekan harga tiket kapal dan sedikit meringankan beban para penumpang dari dan ke Pulau Seram-Pulau Ambon.

Harga tiket mulai naik seiring dengan kenaikan BBM. Tetapi tidak segera turun ketika harga BBM pun turun. Lewat Surat Keputusan Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal (Kakak kandung mantan Bupati Abdullah Tuasikal) atas atensi dari Dinas Perhubungan yang kala itu dipimpin oleh Nafis Amahoru yang belakangan menjadi caleg satu partai dengan Abdullah Tuasikal yakni partai Nasdem,  tarif tiket ditetapkan menjadi Rp. 115.000.

Tetapi sejak terbitnya SK tersebut, harga tiket yang diberlakukan oleh pihak otoritas kapal justeru Rp. 117.000 atau terjadi selisih Rp.2.000. Komponen harga yang ditetapkan pemerintah daerah tentu – dan memang semestinya – mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan tentang mekanisme penentuan tarif kapal laut dengan segala rinciannya.

Kenaikan harga tiket Amahai-Tulehu, Tulehu-Amahai tersebut terjadi sejak DPRD periode 2014-2019 dan gagal menemukan titik temu. Kegagalan itu dicoba dibenahi oleh DPRD periode 2019-2024 hari ini yang memicu ketegangan antara pihak DPRD dengan PT. Darma Indah yang dinilai arogan karena tidak menghargai panggilan DPRD sebanyak dua kali dan akhirnya DPRD berinisiatif untuk menemui PT. Darma Indah di Ambon pekan kemarin.

Darma Indah tetap tidak mau menurunkan harga tiket sesuai ketentuan. Selain itu, keberangkatan DPRD dengan alibi sidak itu menemukan sejumlah indikasi pelanggaran berupa pungutan liar yang juga diduga melibatkan Dinas Perhubungan Maluku Tengah.

Beredar kabar, hari ini (27/02/2020) akan ada aksi mogok operasi oleh pengelola kapal dengan alasan ada tekanan dari salah satu anggota Komisi II DPRD Maluku Tengah. Tetapi  nyatanya, kapal cepat tetap beroperasi atas permintaan Bupati (menurut keterangan rekan pers).

Tidak hanya itu, beredar kabar di kalangan wartawan, ada permintaan sejumlah uang oleh oknum anggota DPRD kepada pihak PT. Darma Indah. Entah siapa nama oknum tersebut dan berapa jumlah permintaannya serta untuk tujuan apa, yang bisa memastikan itu hanya PT. Darma Indah dan oknum tersebut.

Kita hanya bisa berasumsi dengan menarik garis hubung antara fakta sejarah dengan fenomena hari ini lalu meletakan analisis dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Fakta kehadiran PT. Darma Indah sebagai “penguasa tunggal” dalam bisnis pelayaran di laut Seram, Maluku Tengah setelah hangusnya Kapal MV. Pamahanunussa, seakan menguatkan kesan bahwa ada desain yang cukup rapi yang berorientasi pada keuntungan kapitalis yang ditandai dengan pemberian karpet merah bagi korporasi pleh pemerintah daerah Maluku Tengah.

Hubungan perangkat negara dan korporasi semacam ini memang bukan hal baru dalam ikatan kepentingan bisnis. Dalam pada itu, masyarakat awam akan memandang kehadiran PT. Darma Indah sebagai dewa penyelamat yang tak boleh diganggu oleh pihak mana pun.

Indikatornya sederhana: saat harga tiket melonjak, Dinas Perhubungan seperti tak kuasa “memaksa” PT. Darma Indah selaku penguasa kapal untuk tetap ‘on the track’ dengan SK Bupati.

Belakangan, orang nomor satu di Dinas Perhubungan Malteng dikabarkan masuk sebagai salah satu petinggi di jajaran PT. Darma Indah yang dalam kacamata bisnis tentu saja itu sangat menguntungkan pihak perusahan karena ia dianggap “orang dalam istana” yang cukup tahu seluk beluk tantangan dan hambatan bisnis bagi pihak perusahan.

Sampai disini, DPRD yang sudah terlanjur “basah” diberi tantangan untuk melepas jerat kapitalisme ini dengan berbagai kemungkinan resiko yang muncul sejak terbukanya tabir keterlibatan hubungan modal antara oknum politisi dalam lingkaran kekuasaan di eksekutif maupun legislatif dalam memback-up korporasi sampai pada terganggunya kepentingan kekuasaan dan korporasi yang bisa berujung pada sikap kick balik yang mengakibatkan semua persekongkolan itu justru terkuak, bergantung pada seberapa kokoh komitmen dan konsistensi wakil rakyat dalam membuktikan sumpah jabatannya.

Apakah mereka akan berjuang demi kepentingan rakyat, atau justru mereka malah menjadi mandor kapitalis dan berubah wujud menjadi pengkhianat rakyat karena tak sanggup menghadapi mantera kapitalisme? Wallahu ‘alam (***)