Oleh : Muhammad Ali Holle (Mahasiswa Pascasarjana MPI Universitas Islam Makassar)

Seorang tokoh pendidik di Amerika Serikat Robert Maynard Hutchins berpendapat “Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan generasi muda, untuk mendidik diri mereka sendiri seumur hidup mereka,”.

Sayangnya, untuk mempersiapkan generasi muda itu, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Pendidikan menjadi salah satu penentu akan kebangkitan generasi muda di masa mendatang.

Banyak persoalan yang muncul dalam konteks pendidikan di Maluku. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan revolusi industri, semakin cepat pula arus globalisasi yang berdampak pada berbaga sektor termasuk ekonomi maupun pendidikan.

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah sumberdaya manusia.  Sumber daya manusianya yang berkualitas dari aspek knowledge (pengetahuan) maka akan semakian cepat pula manusia itu mengarahkan pola pikirnya untuk menyikapi problematika dan tuntutan zaman yang sedang dihadapinya. Jika tidak, maka kita tidak akan sanggup dan mampu bersaing.

Salah satu langkah besar yang harus dipikirkan oleh kita adalah kualitas sumber daya manusia yang mengabdi sebagai pendidik atau guru.

Guru menjadi elemen penting dalam pendidikan. Saking pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Ironisnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan pun tidak serta merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat.

Mengapa? Karena kualitas guru masih bermasalah. Suka tidak suka, sebuah fakta dapat disimak pada hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015 lalu. Rata-rata nasional hanya 44,5 jauh di bawah nilai standar 75. Bahkan kompetensi pedagodik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan.

Patut disepakati, persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan cara mengubah kurikulum. Atau, bahkan mengganti menteri atau dirjen.

Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru yang berkualitas adalah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru maka kualitas pendidikan akan tetap “jauh panggang dari api”, akan tidak memadai.

Bayangkan saja, dari 3,9 juta guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik, dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi.

Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Fenomena ini, sejalan dengan paparan angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016 yang menempatkan Indonesia hanya meraih 0,689 dan berada di peringkat ke-113 dari 188 negara.

Begitu pula UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, menempatkan pendidikan di Indonesia berada peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sementara itu, komponen guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Sampai di sini, mungkin ada masalah dengan kompetensi guru.

Berkenaan dengan hal ini, pemerintah telah menetapkan anggaran 20% dari APBN untuk kemajuan pendidikan. Harapanya  guru yang ada di setiap daerah, mampu menjadi salah satu unsur penentu keberhasilan belajar siswa dan bisa meningkatkan kualitas pendidikan itu.

Lalu bagaimana dengan Maluku? Kondisi guru di Maluku ‘seteli tiga uang’ dengan yang terjadi secara nasional. Fakta ini terungkap pada tahun 2018 lalu. Komisi D DPRD Maluku menyatakan keprihatinnya dengan persoalan kualitas pendidikan di daerah ini yang masuk kategori terpuruk di Indonesia, akibat tidak berfungsinya evaluasi kompetensi guru (EKG).

Ironisnya, dari 34 provinsi di Indonesia, Maluku masuk rangking terakhir uji kompetensi guru tingkat nasional tahun 2018. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah daerah.

Upaya untuk meningkatan sumberdaya guru di Maluku merupakan hal yang sangat penting.  Rendahnya mutu pendidikan tak lain disebabkan oleh kurangnya sumberdaya dan mutu guru.

Untuk itu, tidak ada kata lain, selain perlunya ada perhatian serius dari pemerintah daerah untuk lebih fokus meningkatkan kualitas guru melalui pengembangan pendidikan dan berbagai pelatihan-pelatihan. Guru perlu sisuport dengan memberikan beasiswa pendidikan untuk menyelesaikan studi gurunya baik ke jenjang sarjana, magister maupun doktor.

Disisi lain pengembangan sumber daya guru melalui keterlibatannya dalam pelatihan workshop, seminar, training harus pula didorong agar guru dapat maksimal dalam menguasai tugasnya, karena faktor pendidikan guru yang belum maksimal, akan memperburuk eksistensinya dalam menjalankan tugas.

Penulis menilai, sejauh ini pemerintah daerah belum mampu memberikan terobosan tersebut secara luas baik di lingkup Kementerian Agama maupun Dinas Pendidikan terkait di lingkup kabupaten.

Olehnya itu, pemerintah daerah perlu memberikan kesempatan dan memberikan ruang kepada guru untuk terus belajar dalam mengembangkan potensi dirinya melalui jenjang pendidikan lanjutan.

Teaching is a Profession that teaches all other professions.-Teachorg (Anda harus bangga ketika menjadi guru. Karena mengajar merupakan sebuah profesi yang tidak hanya mengajar peserta didik, namun juga mengajarkan profesi yang lain) (***)