Dimensi lain dari kebahagiaan orang Maluku ialah afeksi atau perasaan. Afeksi diartikan sebagai perasaan individu dalam kehidupan sehari-hari seperti perasaan tenang, perasaan tidak tertekan, dan tidak khawatir atau cemas. Jika orang Maluku merasa tertekan dan/atau cemas, maka tingkat kebahagiaan akan turun.

Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy  (Dosen Psikologi IAIN Ambon)

DILANSIR dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017, Maluku termasuk daerah nomor 2 paling bahagia di Indonesia. Persentase indeks kebahagiaannya sebesar 73,77 persen.

Berbeda dari tahun sebelumnya, pada tahun 2014, indeks kebahagiaan orang Maluku sebesar 72,12 persen. Artinya, ada peningkatan kebahagiaan orang Maluku terhitung dari tahun 2014 sampai 2017, yakni naik 1,65 poin. Meskipun demikian, data ini harus ditelusuri lebih dalam lagi.

Ada tiga dimensi yang di ukur dari indeks kebahagiaan orang Maluku yakni kepuasan hidup, afeksi (perasaan), dan makna hidup. Kepuasan hidup diartikan sebagai kondisi objektif dari sisi personal maupun sosial.

Dari sisi personal misalnya terkait kepuasan layanan pendidikan, kesehatan personal, dst. Artinya, jika nuansa pendidikan yang dirasakan individu itu baik, dan ia dapat memenuhi tingkat pendidikan dari level SD sampai Perguruan Tinggi, maka ia akan merasakan kepuasan hidup. Sebaliknya, jika ia tidak dapat memenuhi tingkat pendidikannya, maka ia akan merasa tidak puas dalam kehidupan ini.

Sementara dari sisi sosial (kepuasan hidup) yakni dilihat mulai dari hubungan sosial, fasilitas umum, keamanan, dst. Misalnya, jika masyarakat merasa aman hidup di Maluku, maka ia akan memiliki tingkat kepuasan hidup yang baik.

Sebaliknya, jika masyarakat merasa tidak aman, maka kepuasan hidupnya akan turun. Dari kedua sub-dimensi kepuasan hidup yakni sisi personal dan sosial harus dalam kondisi baik dan stabil, jika tidak maka kepuasan hidup orang Maluku akan turun.

Dimensi lain dari kebahagiaan orang Maluku ialah afeksi atau perasaan. Afeksi diartikan sebagai perasaan individu dalam kehidupan sehari-hari seperti perasaan tenang, perasaan tidak tertekan, dan tidak khawatir atau cemas. Jika orang Maluku merasa tertekan dan/atau cemas, maka tingkat kebahagiaan akan turun.

Terakhir, salah-satu dimensi dari kebahagiaan ialah makna hidup, diartikan sebagai konsep ‘flourishing’. Konsep ini dikembangkan oleh ilmuwan ternama kontemporer dalam ilmu psikologi bernama Seligman. Beliau mengatakan, konsep flourishing dialami seseorang ketika ia merasakan ‘feeling good’ (perasaan damai/baik/tenang), memiliki tujuan hidup yang baik, penguasaan lingkungan, dst.

Jika kita melihat indeks kebahagiaan orang Maluku secara lebih mendalam, sebetulnya antar-setiap dimensi itu yakni kepuasan hidup, afeksi (perasaan), dan makna hidup cenderung naik-turun.

Ada beberapa aspek psikologis yang turun dari indeks kebahagiaan orang Maluku yakni dimensi kepuasan hidup (personal) dilihat dari tingkat pendidikan turun 0,68 poin atau 68 persen. Artinya, ada beberapa orang Maluku yang merasakan kepuasan hidup dari segi pendidikan. Kemungkinan besar, asumsi kami, hal ini dialami oleh masyarakat Maluku yang tinggal di pelosok pulau Seram, Saparua, dll. Bisa dikatakan bahwa sebagian masyarakat Maluku pedesaan belum merasakan tingkat pendidikan yang baik sampai pada level Perguruan Tinggi.

Kemudian, kepuasan hidup (sosial) dilihat dari kondisi rumah dan fasilitasnya, kepuasannya turun 0,71 poin. Maksudnya, ada sebagian orang Maluku yang fasilitas rumahnya tampak kumuh dan kurang terawat, sehingga membuatnya kurang merasakan kepuasan hidup.

Dari sisi ini, pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat harus memperhatikan situasi tersebut. Jika aspek ini tidak diperhatikan, maka dalam hitungan tahun ke depan, indeks kebahagiaan hidup orang Maluku bakalan turun, sehingga berpengaruh pada proses pembangunan sumber daya manusia di Maluku.

Disamping itu, pada dimensi makna hidup orang Maluku dilihat dari pengembangan diri turun menjadi 0,68 poin. Padahal, makna hidup termasuk dimensi penting dari kebahagiaan masyarakat Maluku.

Pengembangan diri lebih terkait potensi diri seperti pengetahuan, keterampilan, dan upaya membangun relasi terlampau minim. Padahal, kemajuan suatu daerah sangat tergantung pada bagaimana masyarakatnya dapat mengembangkan keterampilan personalnya sesuai minatnya masing-masing.

Misalnya, ada keterampilan usaha, menulis, menyanyi, dst, ini harus dikembangkan terus-menerus. Kemungkinan besar pengembangan diri ini turun ialah karena sarana-prasarana di Maluku sangat minim.

Memang, ada tempat karaoke untuk pengembangan diri skill musik, tapi untuk masuk ke dalamnya harus membayar minum dll yang kurang terjangkau masyarakat luas. Namun, jika ada sarana-prasarana yang dapat menunjang pengembangan potensi diri orang Maluku pada bidang-bidang tertentu sesuai minatnya, maka hal itu akan sangat berpengaruh pada kebermaknaan hidupnya. Tentu, hal ini akan berimbas pada pembangunan daerah yang lebih optimal.

Itulah ulasan singkat mengenai sisi bawah (undercover) orang Maluku yang jarang teramati, jika dilihat dari indeks kebahagiaan hidupnya. Memang, Maluku termasuk salah-satu daerah yang paling bahagia nomor 2 di Indonesia. Namun, jika kita mau menyelami ke dasar psikologis orang Maluku, sebetulnya masih banyak yang harus diperbaiki. Jika kekurangan-kekurangan ini bisa teratasi, maka Maluku akan menjadi daerah paling “top” di Indonesia.

Tentu, masalah ini tidak hanya urusan pemerintah saja, tapi semua elemen harus menyadari bahwa Maluku adalah milik kita bersama, sehingga perlu ada upaya untuk mengentaskannya (***)