Oleh: Hasbollah Toisuta (Rektor Institut Agama Islam Negeri  Ambon )

SALAH satu moment yang ditunggu-tunggu setiap muslim dalam siklus hidupnya selama satu tahun adalah datangnya bulan suci Ramadhan. Bulan Ramadhan begitu penting dan sangat dirindukan karena di dalamnya manusia muslim berusaha untuk melakukan refleksi terhadap perjalanan hidupnya selama ini.

Dalam masyarakat multikultural seperti di Indonesia, kita kerap menemukan berbagai macam tradisi dan cara masyarakat menyambut bulan suci ini. Tradisi membersihkan lingkunagn mulai dari rumah kemudian meluas ke lingkungan masyarakat di tingkat RT/RW dan desa begitu terasa.

Sementara itu, sebulan sebelum Ramadhan mimbar-mimbar jumat dan temapat-tempat pengajian dan majelis taklim, para da’i dan ustaz tak henti-hentinya mengajak jamaah untuk mempersiapkan diri menyambut ‘tamu agung’ ini dengan mengajak umat melakukan “tazkiyah al nafs” (penyucian diri).

Tradisi silaturrahim, saling mengunjungi untuk meminta maaf antar keluarga pun tidak terabaikan. Di desa-desa di Maluku, ketika menjelang Ramadhan grafik pemakmuran masjid- masjid juga meningkat secara signifikan dengan bobot pengunjung terbanyak adalah anak-anak dan remaja.

Demikian pula di kota. Dengan berkembang pesatnya sarana komunikasi seperti medsos yang demikian masif, kita juga memperhatikan fenomena sosial baru, lalulintas medsos seperti WhatsApp, Facebook, Twitter dan sebagainya dipenuhi dengan stiker atau video pendek ucapan “Selamat Memasuki Ramadhan” sembari dibumbui dengan aneka pantun atau kalimat-kalimat wisdom dan do’a yang juga disertai dengan permohonan dan kesediaan untuk saling memaafkan sehingga memasuki bulan suci Ramadhan setidaknya kita berada dalam dimensi “rasa kesucian”, tidak ada beban (dosa) sosial.

Setiap kita umat Islam bersiap untuk memasuki orbit kemanusiaan yang paling fithri. Bulan Ramadhan sebagai bulan suci sejatinya disambut oleh mereka yang berhati suci pula. Dalam perspektif tersebut, kehadiran bulan suci Ramadhan di tengah-tengah hiruk-pikuknya politik -yang nyaris memecah-belah keutuhan bangsa kita saat ini – setidaknya menjadi “masa jeda” bagi semua pihak.

Ilustrasi doa di bulan ramadhan

Tak dapat dipungkiri bahwa polarisasi politik yang sedang kita hadapi terutama menjelang dan usainya pemilu Presiden, dan pemilihan Legislatif tidak menunjukan kesadran baik terhadap sikap berdemokrasi, malah semakin menjurus kepada potensi disintegrasi sosial. Masing-masing pihak terutam para elit umat – lebih mementingkan kelompoknya. Berbarengan dengan itu ujaran kebencian, pemberitaan hoaks yang mengadu-domba antar anak bangsa menjadi konsumsi publik yang setiap saat dilahap masyarakat.

Konon inilah masa yang oleh para futurolog disebut dengan “post truth” (pasca kebenaran), ketika hoaks diframe untuk merebut kepercayaan publik, ketika ujaran kebencian diframe untuk mendapatkan justifikasi, ketika ketidakadilan dijungkirbalikan dan diframe sehingga menggiring opini seakan-akan semua itu adalah benar dan adil.

Saat menyambut Ramadhan inilah momentum untuk kita kembali secara kritis memikirkan secara serius fenomena “post truth” ini. Ujaran kebencian, hoaks, dan semacamnya harus bisa dikendalikan bahkan wajib dihentikan.

Para pemimpin umat yang tampak secara kasat mata sedang menggiring umat dan bangsa ke arah perpecahan, setidaknya bisa “berpuasa” untuk tidak membangun dan memframing opini yang membelah umat. Bulan Ramadhan sejatinya menjadi oase yang mempertemukan umat bangsa ini dalam satu kesatuan ukhuwah keumatan.

Pemimpin umat apalagi ulama, seharusnya mengorbankan seluruh hidupnya untuk menjaga keutuhan umat dan bangsa, tidak membiarkan bangsa dan umat pecah atau tidak mengambil bagian dalam mempertajam polarisasi umat hanya demi mempertahankan ego firqahnya.

Bukankah Ramadhan dengan puasa juga menjadi ajang untuk membangun naluri kepekaan sosial kita? Sebagai wahana untuk instropeksi, Ramadhan menyediakan ruang spiritual untuk kita melakukan permenungan-permenungan mendalam akan hakikat hidup dan hakikat kemanusiaan kita.

Ramadhan adalah ruang spiritual untuk melakukan transendens diri, juga ruang spiritual untuk menaklukan ego kita.  Di dalam Ramadhan kita menjadi lebih jernih melihat dan berdialog dengan diri sendiri. Implikasinya adalah kita lebih jernih menanggapi lingkungan sosial kita. Inilah proses edukasi yang diharapkan diperoleh selama berpuasa Ramadhan.

Dengan begitu Ramadhan tidak sekedar bermakna latihan menahan lapar dan haus semata, melainkan Ramadhan menjadi sebuah institusi kepelatihan yang dengannya semua dimensi kemanusiaan, sejak dari dimensi fisik, dimensi psykologis, dimensi sosial, dan dimensi spiritual kita mengalami proses penggemblengan.

Jika di dalam memasuki bulan Ramadhan, begitu banyak kita menerima sapaan melalui medsos tentang ajakan memaafkan dan memaksimalkan ibadah, memperkokoh silaturrahim dan keshalehan sosial, maka harapan kita semoga saja ungkapan tersebut tidak berhenti hanya pada kotak ponsel karena”trend zaman millenial”.

Tapi kita harus benar menginternalisasi pesan-pesan moral tersebut dalam sebuah kesadaran transendental. Inilah hakikat dari pesan Nabi Muhammad SAW, “man shoma ramadhaana iimanan wshtisaban ghufira lahu maa taqddama min zanbihi”

“Barang siapa berpuasa ramadhan dengan penuh iman dan intropeksi maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”. Semoga Ramadhan yang kita masuki hari ini menjadikan kita sebagai pribadi yang kelak melimpah dengan kearifan, yang efeknya dapat dirasakan masyarakat dan lingkungan atau bahkan dirasakan oleh semesta kemanusiaan.

Marhaban ya Ramadhan. (***)