Para tokoh dan pendahulu di Partai Masyumi memberi contoh indahnya berpolitik.

”Ada yang bisa dikatakan, dan ada yang hanya bisa dirasakan.” Kalimat ini tepat ketika sejak kemarin sampai beberapa hari ke depan, PBB dan Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) akan menjadi bahan cerita, pro dan kontra. Keputusan YIM menerima tawaran Ketua TKN Jokowi – Ma’ruf Amin sebagai Lawyer Paslon Capres 01 telah membuat “gelombang besar”.

Imbas dan buah dari keputusan itu, maka membuat bergetar suasana, bukan saja internal partai. Namun, juga eksternal di luar partai. Keputusan itu dianggap dan dinilai oleh kalangan internal dan eksternal yang berharap pada PBB pada Pemilu, akan mengurangi respek pemilih dan calon pemilih.

Aku, seperti kebiasaanku yang diajarkan oleh Guruku itu, berusaha mencari latar dan tak larut pada fenomena. Namun aku tapi berusaha mencari “neumena”, setidaknya catatan sejarah, tentang peristiwa sejenis, yang pernah tetjadi dan dilakukan oleh pendahulu.

Nah, dalam konteks partai, tentu saja acuannya akan nasib dan sejarah Partai Masyumi yang disebut sebagai cikal bakal PBB. Dan Alhamdulillah, lepas Subuh aku mendapat cerita sejenis, setidaknya tentang sikap yang diambil pimpinan utama, bahkan ketua umum, yang berseberangan dengan “perasaan” terbanyak anggotanya, bahkan partainya. Dan, tentang langkah politik partai yang menyeberangi sikap resmi awalnya.

Dalam sejarah itu ada peristiwa menarik. Ini terkait dengan posisi Masyumi memang unik. Partai Islam modernis terbesar di zamannya itu, memang penuh dengan cerita inspiratif. Ada kisah mengani sosok semacam Mohammad Natsir yang juga sang penggagas Negara Kesatuan setelah Indonesia tercabik dan terburai dalam RIS. Ada juga sosok seperti Sjafruddin Prawiranegara yang juga sang Presiden PDRI dan pendiri Bank Indonesia yang fenomenal dengan guntingannya itu. Dan ada juga sosok dan Boerhanoeddin Harahap, anak muda yang menjabat Perdana Menteri dan berhasil menyelenggarakan Pemilu 1955. Pemilu ini dianggap paling bersih dan jurdil di tengah keterbatasan dan kegagalan kabinet-kabinet sebelumnya.

Jadi mereka adalah tiga idola anak muda seperti saya diantara tokoh partai Masyumi yang utama. Kisah tentang ketiga sahabat itu berjalin-jalin dalam sejarah. Dulu misalnya, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanieddin Harahap pun telah memutuskan sendiri untuk bergabung, tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh lain separtainya, dengan tokoh opisisi di Sumatera dan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesea (PRRI).

Semua itu dikatakan unik, karena mereka mendirikan merupakan pemerintah tandingan terhadap pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda Kartawinata di Jakarta.

Lalu apa akibatnya?

Pada Muktamar Masyumi tahun 1959 banyak peserta Muktamar yang mempersoalkan keputusan “secara pribadi” tiga orang tokoh Pimpinan Partai itu. Para pengkritik menilai, meskipun keputusan tiga tokoh itu adalah keputusan pribadi, namun itu akan membawa implikasi kepada kedudukan politik partai.

Ingat, tiga tokoh yang sama-sama pernah menjadi Perdana Menteri dan bahkan Presiden, bergabung dengan “para pemberontak”, menurut para pengkritik. Alhasi, jelas segala manuvernya bukan hanya membawa implikasi kepada partai, tetapi akan menimbulkan implikasi yang serius bagi negara dan bangsa.

Kisah serupa yang lain adalah soal fatwa haram ketika dahulu pihak RI berunding dengan Belanda pada era perang kemerdekaan. Kala itu, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, dari Partai Sosialis Indonesia, PSI, menandatangani Perjanjian Renville, yang menyebabkan wilayah Indonesia tinggal sebagian pulau Jawa dan sebagian pulau Sumatera saja.

Hasil perjanjian ini dilawan Partai Masyumi. Majelis Syura partai Masyumi yang saat itu diketua oleh Kiyai Haji Abdul Wahab Hasbullah memimpin rapat dan memutuskan pendapat bahwa Perjanjian Renville membawa mudharat (kerusakan) terhadap “negara dan bangsa”. Oleh karena itu difatwakan “haram” hukumnya. Bahkan, disebutkan dalam fatwa itu, pimpinan partai “wajib hukumnya” menolak perjanjian itu.

Dan kemudian sering Waktu berlalu, dan hari dan bulan berganti. Kabinet pun goyah. Ini karena Perdana Menteri berkeras menandatanganinya, maka Wakil Perdana Menteri Samsudin dan seluruh menteri dari Masyumi meletakan jabatan dari kabinet. Masyumi, kata Samsudin, “tidak mampu memikul beban sejarah kepada generasi yang akan datang karena menandatangani perjanjian itu”.

Kabinet Amir Sjarifuddin pun jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuk Mohammad Hatta menjadi Ketua Formatur pembentukan kabinet baru. Hatta pun menerima tugas mulia itu. Beliau pun menyusun kabinet. Tapi, Hatta hanya mau menyusun kabinet kalau Masyumi ikut di dalamnya!

Masalah Bagi Masyumi

Dan, sebagai konsekuensinya apakah fatwa Majelis Syura di atas adalah, “halal atau haram” hukumnya jika Masyumi ikut dalam kabinet baru di bawah Perdana Menteri Mohammad Hatta? Sedangkan kabinet baru ini terikat untuk melaksanakan Perjanjian Renville yang “diwariskan” oleh Kabinet Amir Sjarifuddin.

Kemudian, apa sikap Majelis Syura dan Putusan Pimpinan Pusat Partai Masyumi terhadap masalah ini?

Majelis Syura berpendapat bahwa masalah ikut atau tidaknya Masyumi dalam kabinet baru, adalah soal “taktik dan strategi” dan bukan termasuk “pekerjaan partai secara garis besar”, di mana Majelis Syura berhak mencampurinya.

Pimpinan partai Masyumi akhirnya kemudian memutuskan akan ikut dalam kabinet baru dengan motif untuk “Membatalkan Perjanjian Renville”, atau “setidak-tidaknya bisa mengurangi ekses negatif perjanjian itu”.

Argumen Pimpinan Partai ini pun disetujui oleh Majelis Syura. Bahkan Kiai Wahab memberikan arahan agar setiap calon menteri dari Masyumi lebih dulu wajib “melafalkan nawaitu” untuk menghapuskan Perjanjian Renville sebelum mereka dilantik secara resmi menjadi anggota kabinet.

Hmm… Begitu indah berpolitik yang ditunjukkan oleh para pendahulu. Begitu manis para pendahulu mengelola perbedaan.

Semoga kita bisa banyak belajar dari para pendahulu itu dalam berpolitik dan mengelola perbedaan demi tujuan yang lebih besar dan mulia, untuk dicatat oleh generasi berikutnya? Wallahu’alam.

Oleh: IR Sabar Sitanggang, (Kepala Sekretariat Lembaga Advokasi dan Pembelaan Hukum Bulan Bintang Pusat)