Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Lulusan Magister Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta)

KALAU kita ingin mencari tahu masalah republik ini, maka cara terbaik ialah bertanya kepada orang pesimis. Orang pesimis akan berbusa-busa mengungkapkan segala masalah yang terjadi di bangsa ini.

Namun, jika kita ingin membicarakan masa depan Indonesia, maka pilihan terkahir ialah bekerjasama dengan orang optimis. Sebab, masa depan tidak bisa dibangun dengan watak pesimisme, masa depan hanya bisa dikejar dengan watak optimisme.

Pilihan terbaik sekarang ialah bersikap optimistik yang realistik, bukan optimistik sekedar mata terbuka. Artinya, dibalik harapan selalu ada masalah yang harus kita pecahkan bersama-sama.

Napoleon mengatakan, “Di dalam memenangkan masa depan, 2/3 ditentukan oleh mentalitas dan karakter kita, dan hanya 1/3 ditentukan oleh materialistik dan man of power”. Artinya, sekaya apapun kondisi alam kita, sebesar apapun pendapatan kas kita, tapi jika mental kita pesimis, maka tidak ada perubahan yang berarti.

Ada satu fakta sejarah yang darinya kita dapat mengambil sedikit hikmah. Ketika republik ini di merdekakan pada tanggal 17 Agustus, dan sehari setelah itu Soekarno dilantik sebagai presiden pertama, kondisi keuangan negara kita kosong.

Saat itu bertepatan dengan bulan puasa. Malam harinya, setelah berbuka puasa, presiden bersama koleganya berjalan kaki ke taman kota. Mereka ingin memeriahkan kemerdekaan ini di sana.

Sesampai di taman kota, Soekarno lalu memesan 50 tusuk sate. Tak jauh dari taman kota, seorang pemuda melihat presidennya berjalan kaki. Dia tiba-tiba merasa iba dan sedih. Presiden kok berjalan kaki. Pemuda itu lalu menghentikan salah-satu mobil yang lewat di depannya.

Sang sopir lalu turun dari mobilnya. Pemuda itu lalu mengatakan, serahkan kunci anda ke saya, karena saya ingin memberinya ke presiden kita. Sang sopir heran, “Loh kenapa?”. Pemuda itu lalu berkata, “Coba anda lihat presiden kita di sana, beliau berjalan kaki tanpa mobil dinas!”.

Sang sopir lalu menoleh ke arah taman kota. Di lihatnya presiden, sopir itu pun iba dan sedih. Akhirnya, diserahkannya kunci mobil ke pemuda tersebut. Inilah mobil dinas presiden pertama di republik ini. Yang kita perlu ingat bersama, bahwa 10 tahun sesudah itu, kita merayakan pesta demokrasi pertama yakni pemilihan umum dan Konferensi Asia Afrika.

Konferensi ini tentu mengeluarkan banyak biaya, tapi kita bisa melewatinya dan ikhlas menyelenggarakannya. Dari Konferensi Asia Afrika inilah, Indonesia akhirnya punya jejak dalam peta dunia, dan menjadi perhatian masyarakat dunia. Pertanyaannya, “Apa yang membuat kita bisa survive seperti itu sampai detik ini?”.

Yang membuat kita sekarang bisa berdiri tegak menghadapi masa depan ialah karena kita punya HARAPAN (dengan huruf kapital sebagai penegasan). Harapan kita ialah karena kita punya modal sosial yang bangsa lain belum tentu memilikinya.

Modal sosial ini berupa pertautan sosial, yang memungkinkan kita bisa berdiri sederajat (equal), punya harapan yang sama, dan saling percaya untuk menjadi warga di republik ini. Kalau kita bicara janji republik, maka kita harus memulainya dari basis modal sosial ini.

Sekarang, di mana-mana kita menyebut Indonesia sebagai “negara-bangsa” (nation state). Namun, barangkali, banyak orang lupa bahwa di dunia ini, meskipun banyak negara mengadopsi konsep “negara-bangsa”, tapi dalam praktiknya belum tentu merahimi makna dibalik konsep “negara-bangsa” itu sendiri.

Meskipun, konsep “negara-bangsa” ini awalnya dipraktikkan di Eropa pada tahun 1648, tapi dalam banyak negara di Eropa sekarang ini sesungguhnya belum menerapkan secara penuh konsep “negara-bangsa”. Ini landasan prinsipil yang harus kita pahami bersama.

Apa perbedaan “negara-bangsa” dengan imperium? “Negara-bangsa” ialah satu bentuk entitas politik, di mana setiap orang diperlakukan setara sebagai citizen (warga negara yang setara – adil).

Tapi, di dalam imperium, ada komunitas-komunitas politik yang dianggap sebagai “fist class citizen”, dan sebagian komunitas politik lainnya hanya dijadikan sebagai “subjek”.

Perlu kita ketahui bahwa istilah “citizen” dan “subjek” ini berbeda. Kalau citizen ini punya kehormatan sebagai warga negara tertinggi, sedangkan subjek hanya sebatas warga negara “alas kaki”. Artinya, subjek dalam imperium hanya sebagai sapi perah.

Disinilah kita sekarang berada. Persoalan utama kita ialah bukan hanya keadilan sosial, bahwa setiap orang harus diperlakukan setara di depan hukum, tapi persoalan kita ialah keadilan pembangunan, keadilan pendidikan, dan keadilan ekonomi.

Dalam sila kelima yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini sebetulnya di dalamnya mengandung tidak hanya demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonomi. Bahwa proses pembangunan di Indonesia harus adil, setara, sejajar, dan dirasakan semuanya.

Hal itu bisa terjadi dalam konsep “negara-bangsa” yang saat ini diterapkan sejak Indonesia berdiri. Jantung atau mentalitas “negara-bangsa” ialah orang yang agamanya apapun, etnis apapun, lokalitas manapun, harus diperlakukan sebagai “first class citizen”. Olehnya itu, ketika kita keluar dari zaman penjajahan, kita berteriak, “Merdeka!”.

Kata “merdeka” ini diserap dari bahasa sansekerta yakni “mahardika”, yang sering diasosiasikan dengan Brahmana dalam agama Hindu ialah salah-satu kasta tertinggi. Artinya, setelah merdek, kita semua ingin menjadi “first class citizen”. Inilah mentalitas kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (***)