TAHUN baru 2019 telah  tiba. Ditandai dengan semburan cahaya merona yang meluncur di udara disertai suara letupan besar. Apakah ini pertanda kebahagiaan sejati ataukah hanya kebahagiaan semu yang telah didoktrin kepada kita semua?

Tak bisa dipungkiri jika setiap tahunnya malam pergantian tahun selalu dimeriahkan oleh pesta kembang api yang suaranya terdengar di segala penjuru. Sebuah pesta sebagai perwujudan dalam menghadapi tahun baru.

Tahun baru layaknya hidup baru. Kutipan ini mengajak saya sendiri berpikir bahwa apakah perubahan hidup selalu harus dimulai di awal tahun?

Menurut saya, 365 hari dalam satu tahun itu tidaklah sebentar. Sehingga aksi nyata perubahan agar selangkah lebih maju bisa dilakukan kapan saja. Namun, jika kutipan itu ada yang menganggapnya benar, perlu digarisbawahi jikalau memulai hidup baru tak harus dilakukan dengan menyeleggarakann sebuah pesta kembang api menggelora yang menghabiskan banyak dana.

Bahkan jika ditinjau dari kacamata lingkungan, ternyata penggunaan kembang api dan petasan turut menyumbang polusi udara. Perlu diketahui, kembang api tersusun atas lima komposisi utama, yaitu binder, oksidator, reduktor, agen pemberi warna, dan regulator.

Binder adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengikat seluruh bahan kembang api sehingga menjadi sebuah campuran berbentuk pasta. Biasanya, yang digunakan adalah senyawa dextrin. Senyawa ini jika terhirup bisa mengiritasi sistem saluran pernapasan.

Sementara pada regulator, terdapat logam berat guna mengatur kecepatan terjadinya reaksi pada kembang api. Partikel logam berat ini sangat berbahaya dan memicu kanker jika tertelan. Oksidator diperlukan sebagai penghasil oksigen untuk memulai proses pembakaran. Bahan oksidator yang biasa dipakai adalah senyawa kimia dari golongan nitrat, klorat, ataupun perklorat.

Sisa pembakaran klorat dan perkolarat akan terbang di udara ketika kembang api meledak. Jika terhirup, perklorat akan terserap oleh kelenjar tiroid. Zat tersebut kemudian mempengaruhi produksi hormon tiroid yang bertugas menjaga dan mengatur metabolisme tubuh.

Berbeda lagi dengan reduktor. Reduktor bereaksi dengan oksigen yang dihasilkan oleh oksidator membentuk gas yang bertemperatur tinggi sehingga pancaran kembang api terlihat lebih indah seperti gerakan cantik air mancur. Reduktor yang dipakai pada kembang api, biasanya adalah belerang dan karbon. Sisa pembakaran belerang juga berbahaya bagi tubuh jika terhirup.

Dilansir dari liputan6.com bahwa enam pelajar tewas menghirup belerang saat mendaki di gunung dan puluhan ikan mati di Danau Batur akibat serangan gas belerang. Jika dipahami dari efek menghirup belerang ini, maka bisa dipastikan menghirup partikel belerang berlebih bisa menyebabkan kematian.

Ada lagi kutipan dari ThoughtCo, The Ecologist, majalah dan jurnal lingkungan Inggris terkait kembang api yang menyatakan pada perayaan milenium pada 2000 silam, pesta kembang api yang diselenggarakan sampai menyebabkan polusi lingkungan dalam lingkup global.

Sisa pembakaran kembang api saat itu memenuhi langit pada daerah padat populasi dengan arsenik dan zat penyebab kanker lainnya. Memang betul, keindahan warna-warni api yang muncul serontak itu berasal dari nyala kembang api. Namun, warna-warni tersebut bukanlah hal produk ajaib ataupun sihir, melainkan hasil dari pembakaran unsur-unsur kimia seperti magnesium, kalsium, strontium, barium, kalium, dan natrium.

Dibuktikan lagi oleh penelitian Alison Tomlin dan rekan-rekannya di Universitas Leeds yang pernah mengukur partikel-partikel yang dihasilkan dari perayaan kembang api. Mereka menemukan bahwa pada puncak perayaan tersebut, udara berjelaga yang dihasilkan mengandung sekitar 10 kilo partikel lebih banyak dibanding keadaan normal di siang hari.

Tomlin menunjukkan bahwa pembakaran tidak sempurna akibat  kembang api yang terbuka bisa mengarah pada peningkatan jumlah partikel di atas konsentrasi sehari-hari di udara daripada yang hanya disebabkan oleh emisi kendaraan. Imbasnya, partikel-partikel  itu tak hanya menggangu kesehatan manusia, melainkan kondisi iklim juga.

Memang benar, bahan kimia yang terhirup tidak serta merta langsung berdampak pada tubuh. Sebab, lagi-lagi ia bergantung dari ukuran dan jenis bahan kimianya. Menurut saya, di malam tahun baru perayaan kembang api biasanya dimulai pukul delapan malam sampai jam tiga pagi.

Coba diperhitungkan, berapa banyak partikel bahan kimia di udara yang melayang. Mungkin saja, orang yang berada di ruangan terbuka dan menyaksikan pesta kembang api itu dari awal sampai selesai, bisa langsung berdampak pada tubuhnya karena banyaknya partikel yang terhirup.

Selain polusi udara, ada juga kembang api yang memiliki efek peledakan tidak sempurna. Seperti yang dilansir dari detik.com bahwa penyusunan bahan-bahan atau komposisi kembang api yang tidak tepat atau benar akan menyebabkan sebuah ledakan yang tidak sempurna. Itu artinya, ledakan bisa terjadi secara langsung di tangan pengguna seketika kembang api dinyalakan. Seperti yang pernah terjadi di Perancis, ledakan kembang api di Gereja Meksiko berdampak pada tewasnya delapan orang termasuk dua anak dan ledakan pabrik kembang api di Tangerang menyebabkan lebih dari 40 karyawan pabrik tewas.

Dengan mahalnya biaya kesehatan dan dalam isu dunia tentang perubahan iklim serta pemanasan global, apakah dari kita masih enggan melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama dengan melakukan pesta kembang api di perayaan tahun baru?

Mari kita bijak misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan yang lebih bermanfaat bagi pengembangan diri, orang lain, masyarakat atau kesehatan dengan memainkan permainan yang ramah lingkungan dan tidak kalah meriahnya dengan pesta kembang api. Misalnya saja bermain game board bersama keluarga, menonton film favorit, atau mungkin seru-seruan dengan jamming bersama?

Oleh : Rio Pridatama (Mahasiswa Departemen Kimia ITS Angkatan 2016)