Oleh : Novita Irma Diana Magrib, ST, MT, IPM (Akademisi Universitas Kristen Indonesia Maluku-UKIM Ambon)

SAAT ini Indonesia sedang bersiap menghadapi “The New Normal” atau fase kehidupan baru setelah pandemi virus corona “menyerang” dunia. Fase ini harus dijalani, karena jika kehidupan dibiarkan seperti saat ini, maka dapat berakibat pada kebangkrutan ekonomi Negara. Tak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19  membuat anggaran negara berkurang karena adanya berbagai program Bansos dan jaring pengaman sosial lainnya yang menjadi beban Negara.

Inilah tugas negara yang secara konstitusional harus melindungi warga negaranya dari berbagai ancaman dan gangguan termasuk ancaman dan gangguan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Oleh karena itu fase new normal ini mau tidak mau secara perlahan harus menjadi kebiasaan baru masyarakat Indonesia untuk menjaga “ritme” perekonomian dan pertumbuhan ekonomi Negara terutama dari sektor riil masyarakat.

Menurut Achmad Yurianto (juru bicara gugus tugas nasional penanganan Covid-19), new normal adalah melakukan kegiatan produktif dengan menjalankan protokol kesehatan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat Indonesia harus menjalani kehidupan yang normal seperti bekerja dan melakukan kegiatan produktif lain tapi sambil tetap menjalankan langkah-langkah menghindari infeksi Covid-19.

“Kita harus tetap produktif tetapi dengan mengedepankan prinsip-prinsip agar kita tetap aman dari Covid19,” katanya di Jakarta, pada hari Selasa 19 Mei 2020.  Semua langkah itu dilakukan untuk memutus rantai penularan Covid19 yang sampai sekarang belum ditemukan vaksin dan obatnya.

Presiden Joko Widodo meminta daerah yang akan dan sudah menjalankan PSBB dan pembatasan sosial lainnya, harus tetap menerapkan new normal demi kepentingan masyarakat dan Negara.

Implementasi fase new normal harus direncanakan secara komprehensif. Sebab kehidupan pada fase new normal seperti pisau bermata dua, bisa mengurangi masalah dan sebaliknya juga dapat menambah masalah. Protokol kesehatan dapat dengan mudah dirumuskan, namun belum tentu  pelaksanaannya dilapangan mudah dilakukan.

Maka untuk itu hasil kajian dari berbagai disiplin ilmu perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan new normal. Penerapan new normal dapat berkaca pada pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tidak sedikit pelanggaran protokol kesehatan terjadi. Lalu bagaimana dengan tingkat pelanggaran protokol kesehatan saat diterapkannya new normal ?.

Belum lagi adanya resistensi masyarakat terhadap pelaksanaannya dilapangan. Perilaku resistensi masyarakat Kecamatan Salahutu beberapa waktu lalu ketika PKM kota Ambon baru diterapkan, seharusnya dijadikan bahan evaluasi pemerintah, karena pembatasan sosial masyarakat tidak semudah yang kita bayangkan dan penerapan budaya baru juga belum tentu dengan mudah diterima masyarakat.

Permasalahan inilah yang perlu dipikirkan dan diperhitungan secara matang dan komprehensif oleh semua pemangku kepentingan dan stakeholder pendukungnya.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Ambon yang sebentar lagi akan dimulai pasca berakhirnya PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang merupakan pra kondisi sebelum penerapan PSBB, kelak secara perlahan akan dilonggarkan dan pemerintah akan kembali membuka aktivitas sosial secara bertahap sebagai tanda dimulainya fase new normal.

New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas secara normal. Namun, perubahan ini membawa konsekuensi syarat tambahan dengan adanya penerapan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah terjadinya penularan COVID-19 di setiap kegiatan, apalagi yang melibatkan orang banyak.

Berbicara interaksi kegiatan masyarakat di ruang publik saat era new normal  dimulai, erat kaitannya dengan perilaku setiap orang, karena tingkat kepatuhan seseorang menentukan keberhasilan fase new normal secara kolektif. Disinilah sebetulnya permasalahan utama dari implementasi fase new normal ini.

Bagaimana dengan orang Maluku ? menjadi menarik untuk dikaji karena karakter orang Maluku dikenal keras, tegas dan teguh pendiriannya, apalagi jika mereka benar. Hal positifnya, jika disatu sisi orang Maluku sangat familiar dan loyal ketika bertemu dengan sesama orang Maluku, padahal mereka belum pernah kenalan dan bertatap muka, disisi yang lain orang Maluku juga dengan siapa saja memiliki sifat sangat terbuka tanpa memandang asal seseorang.

Buktinya sebelum daerah lain di Indonesia menerima bangsa asing, nenek moyang orang Maluku sudah lebih dulu mengenal bangsa asing seperti Persia, Irak, Turki, Arab, China dan Eropa. Prof. Aholiab Watloly (Guru Besar Filsafat FISIP Unpatti) katakan, “Nilai dasar yang membentuk karakter orang Maluku adalah kemajemukan dari daerah kepulauan dan lautan yang menjadi realitas pembentuk lingkungan, mereka bersifat cair dan mengalir serta tidak tertutup karena kondisi geografis menyebabkan mereka intens berinteraksi antar  satu wilayah dengan yang lain”.

Dikatakannya juga bahwa, “sebagai daerah dengan karakteristik kepulauan dan dikelilingi oleh laut yang membentang luas lebih besar dari daratan yang ada, orang Maluku menjadi teradaptasi oleh alam, mereka terlihat keras tapi sesungguhnya tidak seperti yang terlihat”.

Hal itu menurutnya terlihat juga dari kentalnya budaya kekerabatan dalam pandangan hidup orang Maluku, mereka tidak mempersoalkan perbedaan budaya dan kesukuan tertentu orang lain.

“Setiap pulau di Maluku memiliki nilai kehidupannya tersendiri karena memiliki kebudayaan dan lingkungan yang berbeda-beda, tapi nilai perbedaan itu tidak bersifat anarkis, sebaliknya orang Maluku sangat terbuka dan bisa menerima siapa saja sebagai orang basudara (bersaudara), ke-Maluku-an kita tidak menjadi ancaman bagi orang lain, kita menjadi orang Indonesia karena kita orang Maluku”, tambahnya.

Ini sesuai dengan  fase new normal  yang membutuhkan kesadaran kolektif bersama semua komponen masyarakat untuk  menjalankannya.

Kita semua tentu berharap fase perubahan tatanan kehidupan ini bisa diikuti semua masyarakat Maluku terutama di Ambon dengan pola adaptasi masing-masing. Masyarakat harus bersiap menghadapi perubahan tatanan kehidupan baru ini. Sebagai daerah yang pluralis dari berbagai aspek, fase ini menjadi tantangan tersendiri.

Tantangan terbesarnya adalah benturan nilai-nilai budaya tradisional Maluku dengan nilai kehidupan baru pada fase new normal ini. Sikap penerimaan tanpa syarat terhadap kondisi yang ada menjadi hal yang penting untuk beradaptasi dengan kehidupan new normal.

Inilah yang harus disadari sepenuhnya oleh masyarakat Maluku juga masyarakat di Indonesia pada umumnya. Kemampuan adaptasi ini terhadap kondisi new normal, membuat seseorang akan mampu mengembangkan kebiasaan baru dan memandang kehidupan yang baru lebih realistis dibanding situasi yang sebelumnya dianggap sebagai disrupsi pada semua aspek kehidupannya. Ini juga akan dialami semua masyarakat di Maluku, pribumi maupun pendatang.

Ada empat aspek Kehidupan yang akan berubah ketika fase kehidupan new normal dimulai. Beberapa aspek perubahan yang mulai dilakukan pada daerah yang telah mencapai tahap ini diantaranya adalah:

  1. Terbentuknya gaya hidup stay at Home. Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat untuk menerapkan gaya hidup stay at home atau di rumah saja. Pada akhirnya mobilitas akan menurun drastis, masyarakat juga akan diwajibkan selalu menggunakan masker saat keluar rumah. Belanja keperluan sehari-hari akan bergantung pada aplikasi online. Orang juga akan lebih selektif dalam belanja (kebutuhan vs keinginan).
  2. Back to basic, dimana aktivitas akan lebih banyak di rumah. Masyarakat juga akan cenderung kembali ke bahan tradisional atau herbal untuk menjaga kesehatan tubuh. Aktivitas sederhana seperti mencuci tangan hingga berjemur sinar matahari akan menjadi kegiatan yang akan selalu dilakukan.
  3. Optimalisasi virtual. Aturan bekerja dari rumah atau work from home hingga sekolah dari rumah akan sangat memanfaatkan teknologi. Ini diperkirakan akan melahirkan generasi rapat virtual. Bahkan konsultasi kesehatan juga akan banyak menggunakan teknologi dengan layanan telemedicine.
  4. Timbulnya kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan.

Pada akhirnya, rasa kemanusiaan dan kebersamaan akan sangat diuji dan akan menjadi hal yang berarti di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang.

Tentu tidak semua orang memiliki ketangguhan yang sama untuk menerima perubahan ini. Perubahan kearah yang lebih baik tentu merupakan keinginan semua orang. Dalam kacamata budaya, bangsa yang besar biasanya belajar untuk mengganti apa yang buruk dari budayanya, dan selalu menjaga keaslian akar budayanya.

Perubahan peradaban dalam fase new normal pasti akan terdesain dan berjalan dengan dasar kesadaran, kesengajaan, kebersamaan, dan komitmen bersama yang didasarkan atas keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Semoga penerapan new normal akan berjalan baik setelah PSBB diakhiri.- Sekian (***)