Oleh : M. Saleh Wattiheluw, MM (Pemerhati Masalah Ekonomi Maluku)

MENYONGSONG 75 tahun Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita dihadapkan pada satu pertanyaan sederhana pertanyaannya adalah Maluku Mau Dikemanakan? Pertanyaan ini diangkat sebagai respon kondisi kini menjelang 75 tahun usia NKRI.

Berbagai referensi yang dapat diangkat kembali untuk dikaji salah satunya adalah Webiner Keadilan Sosial, yang berlangsung hari Senin 3 Agustus 2020, dengan salah satu nara sumber utama DR Abraham Tulalesy. Minyimak paparan yang disampaikan Tulalesy yang secara akademik disertai fakta, data tentang apa yang dimiliki oleh Maluku sebelum Indonesia Merdeka, hingga sekarang.

Penulis melihat dan menganalisa apa yang disampaikan nara sumber juga sebagai fakta dan menjadi fenomena tersendiri yaitu ketidakadilan bagi Provinsi Malaku.

Fakta-fakta kekayaan Maluku dimaksud mulai dari dari aspek historis Maluku. Yang meliputi : potensi perikanan, pertambangan, kehutanan serta sejumlah fenomena yang lewat berbagai kebijakan Negara terkait ekspolorasi, eksplotasi sumberdaya alam sejak masa lalu hingga kini tidak atau belum ada dampak signifikan untuk Maluku.

Misalnya, ekspolasi minyak di kota Bula sejak 1932, Banda See Agreement 1967, subsitusi Industri Pengolahan Tuna digalala, penjualan Dok Waiyame, penghentian pembangunan 40 dermaga oleh pemerintah Belanda.

Kemudian, eksplorasi Tambang Wetar, Romang dan Gunung Botak dimana ketiganya juga tidak jelas kontribusinya untuk daerah penghasil. Demikian Blok Masela yang letak di atas 12 mil meskipun ada di wilayah Maluku, batasan hak pengelolan wilayah laut hanya 12 mil dalam provinsi kepulauan.

Maka yang terjadi adalah Provinsi Maluku mengalami akumulasi kerugian dari tahun ke tahun hingga kini, penyebabnya karena ketidakadilan.

Selaku pemerhati saya ingin mengatan bahwa di era demokrasi dan otonomisasi ini,  mestinya kita harus memaknai hakekat otonamisasi, menggunakan hak untuk terus berbicara tentang keadilan ekonomi, keadilan politik dan keadilan kebijakan.  Semuanya dalam kaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sepanjang UU menjamin.

Akibat dari fenomena ketidakadilan dimaksud, maka dalam prespektif makro ekonomi, tidak mungkin akan terjadi multiflair efek ekomoni secara maksimal untuk Provinsi Maluku sehingga berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi, pelambatan pertumbuhan investasi, pendapatan masyarakat rendah, daya beli rendah, penganguran semakin tinggi, angka kemiskinan relatif tidak berubah, hingga September 2019.

Data BPS Prov, angka kemiskinan Maluku mencapai 319,51 ribu jiwa (17,65%). Salah satu ukuran sederhana juga adalah fostur APBD Provinsi Maluku yang kurang lebih RP 3 T, untuk membiayai Provinsi Kepulauan, artinya menggambarkan Maluku belum mampu secara maksimal memanfaatkan potensi sumberdaya alam untuk mendorong peningkatan PAD.

Inilah siklus kondisi makro ekonomi yang sangat-sangat tidak menguntungkan bagi Provinsi Maluku dalam skala Nasional maupun skala regoinal, jika dibandingkan antar provinsi.