Oleh : Said Moksen Almahdaly (Ketua AMPERA- Maluku)

CIRI sebuah negara demokratis adalah seberapa besar negara melibatkan masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan pemilihan umum. Sebab partisipasi politik masyarakat (pemilih) merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi.

Dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan.

Dalam Pemilu misalnya partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat kepada calon atau pasangan calon yang terpilih. Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untukmenentukan pilihan mereka dalam pemilu.

Bisa dikatakan bahwa masa depan pejabat publik yang terpilih dalam suatu Pemilu tergantung pada preferensi masyarakat sebagai pemilih. Tidak hanya itu, partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan.

Partisipasi politik masyarakat merupakan bentuk perwujudan negara demkorasi. Negara tanpa partisipasi politik masyarakat cenderung otoriter dan sentralistik. Pengalaman politik pada saat Orde Baru memperlihatkan kesewenangan para pengambil keputusan politik dalam setiap perumusan kebijakan maupun perencanaan program.

Akibatnya kebijakan atau yang diputuskan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Partisipasi politik masyarakat merupakan bentuk pemberian diri baik dalam bentuk keikutsertaan, kehadiran, gagasan, keterlibatan dalam perumusan kebijakan dan pemberian diri dalam pengawasan manakala kebijakan itu hendak diimplementasikan.

Partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum juga sangat menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa. Kualitas partisipasi politik akan sangat ditentukan apakah semua masyarakat yang telah memenuhi wajib pilih dapat memberikan suaranya, apakah masyarakat diberikan akses atau kemudahan dalam memilih serta apakah masyarakat dapat memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas yang didsarkan pada keyakinan dan keperayaan pada calon yang ia pilih.

Konsep pemilihan umum yang demokratis bersandar pada dua dimensi penting yakni kontestasi dan partisipasi. Kontestasi yakni menyangkut subjek peserta pemilu (partai politik dan kandidat) yang saling berkompetisi dalam meraih posisi politik terntentu.

Dalam dimensi kontestasi, akan dilihat seberapa adil dan setara proses kompetisi yang berlangsung diantara para kontestan. Sementara dimensi partisipasi menyangkut subjek masyarakat sebagai pemilih yang memiliki hak.

Dimensi ini melihat bagaimana hak masyarakat dijamin serta diberikan ruang keterlibatan untuk mengawasi dan mempengaruhi dalam proses pemilihan umum.

Selain dua dimensi yang menjadi dasar dalam pemilihan umum yang demokratis juga ada satu hal yang berpengaruh dalam literasi kontemporer manajemen pelaksanaan pemilu yakni faktor penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh subjek penyelenggara pemilu. Hal ini terkait bagaimana integritas dan profesionalitas penyelenggara dalam menjamin pemilu berjalan demokratis.

Penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dari tahun ke tahun masih memunculkan persoalan. Baik persoalan yang berkaitan dengan kesiapan daerah dalam menyelenggarakan pemilu kepala daerah, persoalan pelaksanaan jadwal, tahapan dan program pemilu kepala daerah, pemenuhan persyaratan calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah dan persoalan lain yang berkaitan dengan eksekusi di lapangan.

Sejumlah masalah yang terjadi menjelang dan saat Pilkada sedang berlangsung ialah, pada Pilkada langsung yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia ini tercatat beberapa sejumlah masalah krusial.

Masalah krusial yang terjadi sebelum penyelenggaraan Pilkada di antaranya: pertama, masalah penetapan tanggal pelaksanaan Pilkada. Kedua, masalah pendanaan. Persoalan pendanaan ini terkait dengan kemampuan daerah menyediakan dana untuk penyelenggaraan pilkada yang umumnya tersedot untuk dana penyelenggaraan honorarium dan kurangnya dana untuk logistik Pilkada.

Ketiga, masalah penjaringan dan penetapan calon umumnya gesekan dan praktik-praktik politik uang (money politics) mulai terjadi pada proses ini.

Salah satu masalah yang sangat krusial pada saat penyelenggaraan ialah netralitas birokrasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pelaksanaan Pilkada. Sampai saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan netralitas ASN seperti tidak pernah terselesaikan.

Pemerintah telah membuat ragam pengaturan untuk membatasi hubungan Aparatur Sipil Negara dengan kegiatan politik praktis guna memperkuat eksistensi dari netralitas.

Ternyata hingga pada saat ini setiap berlangsungnya kegiatan Pemilihan Umum selalu diwarnai oleh maraknya pemberitaan tentang pelanggaran netralitas oleh pihak ASN. Hal ini berarti bahwa akar persoalan netralitas belum terjawab dan dapat diasumsikan bahwa pemerintah masih kesulitan menemukan form yang tepat (**)