Sementara itu persentase siswa yang menggunakan komputer/PC di perkotaan dua kali lipat dibandingkan siswa di perdesaan yaitu 31,37 persen berbanding 15,43 persen.

Kemudian, persentase penggunaan internet siswa daerah perkotaan (62,51 persen) lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan (40,53 persen). Secara nasional, terdapat 53,06 persen siswa usia 5-24 tahun yang menggunakan Internet.

Kapasitas sekolah bergantung pada biaya yang dimiliki oleh sekolah seperti infrastruktur yang mendukung operasionalisasi pembelajaran secara daring antara lain koneksi internet, kuota, laptop, dan penguasaan teknologi.

Latar belakang siswa secara sosial ekonomi juga sangat memengaruhi apakah kegiatan belajar jarak jauh melalui beragam perangkat daring (zoom, google meet, webex, dsb) dapat optimal dilakukan.

Sekolah negeri di perkotaan ataupun sekolah swasta yang memiliki input siswa yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah atas tidak akan kesulitan dalam menjalankan pembelajaran daring.

Tidak ada persoalan terkait akses terhadap internet dan perangkat teknologi. Berbanding terbalik dengan sekolah negeri di perdesaan atau sekolah swasta yang input siswanya dari kalangan keluarga miskin.

Kreatitivitas Pendidik dalam mendesain pembelajaran daring bagi siswa juga memegang peranan penting. Untuk memastikan pembelajaran menjadi menyenangkan, penuh makna, membangkitkan kreativitas, daya kritis, dan mampu membuat siswa mandiri tentu bukan perkara mudah. Apalagi pendidik tidak dapat secara langsung berhadap-hadapan dengan siswa.

Kejelian pendidik dalam membuat desain dan metode yang mampu memikat siswa untuk terus bersemangat belajar menjadi hal yang patut diperhatikan. Jika hanya memberi beban tugas kepada siswa tentu membuat siswa menjadi jenuh.

Partisipasi orangtua menjadi sangat penting untuk menyukseskan pembelajaran daring. Situasi dilematis kemudian terjadi ketika orangtua tidak dapat hadir mendampingi anak karena masih harus bekerja. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kemewahan untuk bekerja dari rumah. Para petugas kesehatan, pekerja informal, buruh pabrik, peternak, nelayan, dan petani misalnya harus tetap bekerja.

Sementara mereka tidak memiliki orang lain yang dapat membantu mendapingi anak. Para orangtua yang memiliki kesempatan bekerja dari rumah tetapi tetap memprioritaskan pekerjaan kantor juga tidak dapat membantu anak-anak belajar secara optimal.

Khusus bagi anak-anak di usia dini ini tentu menjadi perkara. Jika kedua orangtua bekerja dan mereka tidak memiliki asisten rumah tangga misalnya, mereka harus mampu membagi peran untuk mengasuh anak. Jika tidak dapat disikapi secara bijak, lagi-lagi isu kesehatan mental menjadi bagian yang perlu diantisipasi.

Pembelajaran daring telah membuka berbagai problem pendidikan di negeri ini. Selain itu semakin menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Pendidikan sebagai suatu ekosistem utuh yang tidak lepas dari kebijakan politik, daya dukung teknologi, infrastruktur yang memadai, serta dukungan dari orangtua/masyarakat.  Tanpa itu semua, pendidikan tidak dapat optimal dalam mencerdaskan anak bangsa.

Kita bersama akan membebaskan diri dari kesulitan mendiseminasi pendidikan berkualitas dari keterbatasan lokasi dan waktu. Bangunan sekolah dan jam sekolah bukan lagi satu-satunya cara untuk menikmati pembelajaran yang berkualitas. Inilah salah satu contoh dampak dari integrasi teknologi ke dalam “model bisnis” pendidikan yang dapat mengakselerasi gerak kita mencapai tujuan pendidikan.

Mari bersama kita ubah tantangan ini jadi peluang dengan memanfaatkan “momen” pembelajaran daring untuk melakukan quantum leap untuk masa depan Indonesia yang lebih

Sebagai kesimpulannya, momen “paksaan” masuk ke pembelajaran daring ini janganlah dipandang hanya sekedar solusi sementara untuk pandemik Covid-19 tetapi seyogyanya kita bisa manfaatkan jadi sebuah batu pijakan untuk melakukan lompatan katak menuju transformasi digital dunia pendidikan Indonesia (***)