Oleh: Mashuri Mashar, S.KM (Konsultan Kesehatan)

PEMBERLAKUAN Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Ambon sejak Senin 22 Juni 2020, adalah tahapan berikutnya dalam rangka meredam penyebaran COVID-19 pemerintah daerah. Kota yang melahirkan banyak pemusik di tanah air ini, juga melahirkan beberapa aturan untuk mendukung pemberlakukan PSBB. Diantaranya pembatasan aktivitas pada kantor-kantor dan fasilitas umum. Selain itu, konon, jam malam juga berlaku disana. Tidak ketinggalan sanksi bagi yang melanggar.

Selain ancaman sanksi untuk mendukung PSBB disana, salah satu aspek yang belum jadi perhatian dari pemangku kepentingan adalah sosial-ekonomi. Disaat bersamaan, jika kita belajar dari penerapan PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat), aspek yang sama jadi musabab munculnya riak beberapa hari kemarin. Aksi pedagang pasar salah satu contohnya.

Nah, berangkat dari kondisi inilah, pertanyaan kesiapan pelaksanaan PSBB masih relevan untuk dibicarakan saat ini. Baik itu menyinggung infrastruktur, struktur, atau suprastruktur yang ada.

Infrastruktur tentu saja menyangkut ketersediaan bangunan penunjang pelaksanaan PSBB. Di dalamnya keberadaan aspek pendukung lain dari bangunan tersebut. Misalnya, keberadaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga kesehatan (medis dan non medis). Apalagi jika mereka tadi berada di pintu masuk dan fasilitas kesehatan yang ada.

Bagi saya ini tidak kalah penting jika dibandingkan jumlah nominal denda yang tersebar di banyak media dan jadi alat menghukum setiap pelanggar. Kalo masyarakat melanggar ada hukuman, bagaimana jika pelaku pelanggaran adalah penyelenggara negara?

Setelah memeriksa itu, daftar panjang yang wajib diisi oleh Richard Louhenapessy dan jajarannya adalah kesiapan struktur. Bagaimana tatanan struktur baik pemerintahan maupun non pemerintah menghadapi fase PSBB? Saya kira ini penting juga.

Belajar dari Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar, pemberlakukan PSBB tidak semudah yang diangankan. Meski berbagai kesiapan telah dilakukan disana, lonjakan kasus jadi tidak terhindar. Bahkan provinsi Sulawesi Selatan menduduki peringkat pertama dalam klasemen sementara jumlah kasus COVID-19 di Indonesia.

Di lain pihak, banyak juga kesalahan dilimpahkan pada masyarakat. Keras kepala dan kurang disiplin adalah rangkuman kecaman yang muncul disana. Apakah kondisi ini bisa dibenarkan? Bagi saya tidak juga. Karena perilaku masyarakat sebenarnya adalah cerminan ketidakseriusan dari pihak terkait. Dalam hal ini penyelenggara negara tingkat daerah.

Kita kembali ke Ambon. Jika bercermin dari Makassar, menurut saya yang perlu dipastikan oleh pemerintah kota dan jajarannya adalah prilaku dari aparatur sipil negara. Mereka seharusnya jadi contoh dari masyarakat. Sekaligus membiasakan diri untuk paham prinsip “awali dari diri sendiri”.

Salah satu hal yang bisa dilakukan terkait ini adalah dengan menjaga sikap. Apalagi saat bersama atau bertemu dengan masyarakat umum. Nah, jika bagian infrastruktur dan struktur sudah siap, elemen terakhir yang juga sama pentingnya untuk di siapkan adalah suprastruktur di Kota Ambon.