Oleh : Mashuri Mashar, S.KM (Konsultan Kesehatan)

BERDASARKAN tarikh Masehi, hari ini, genap dua hari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) putaran kedua untuk kota Ambon. Jika pada putaran pertama,  masyarakat disodorkan salah satu menu berupa sanksi bagi pelanggar, untuk dua Minggu kedepan bertambah lagi aturannya.

Seperti diungkap pak walikota pada hari Minggu kemarin, perpanjangan masa PSBB akan diikuti dengan berlakunya sistem (Nomor Polisi) genap-ganjil untuk kendaraan pribadi. Harapannya, akan berdampak pada pengurangan jumlah kendaraan disana.

Masih dalam penjelasan yang sama di Hotel Marina (Ambon) paska rapat evaluasi pemberlakuan PSBB tahap pertama, kepada wartawan Richard Louhenapessy menambahkan beberapa hal.

Diantaranya akan memperketat penerapan PSBB untuk pusat-pusat perbelanjaan. Tidak ketinggalan aspek hukuman juga menjadi titik tekan. Kurang lebih demikian dilansir beritabeta.com pada 5 Juli 2020.

Apalagi, keesokan harinya, Senin 6 Juli 2020, Menteri Kesehatan dan Ketua Gugus Tugas (GUSTU) Nasional bertandang ke kota berjuluk Kota Musik. Kesan tingkat keseriusan makin bertambah dari pemerintah kota dalam melaksanakan PSBB kali kedua. Puja dan puji dari “orang pusat” menjadi bahan bakar tim gugus tugas Kota Ambon untuk sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. Semoga.

Dalam kesempatan lain, bantuan untuk penanggulangan COVID-19 turut serta menggenapi keadaan. Laiknya ombak di Laut Banda, jumlah bantuan yang masuk di Maluku seperti tidak berhenti.

Untuk yang satu ini, banyak pihak mengapresiasi. Apalagi jika itu diperuntukkan bagi penanganan Pandemi global ini. Dengan catatan, semua penyalurannya tepat sasaran.

Namun bagaimana jika fakta perpanjangan PSBB dan gelombang bantuan tanpa henti serta puja dan puji “orang pusat” tersebut kita hubungkan dengan kondisi di lapangan? Apakah berbanding lurus dengan tingkat ketaatan masyarakat? Bagaimana dengan pedagang pasar tradisional (jibu-jibu) di Ambon? Apakah PSBB putaran kedua sudah mengatasi permasalahan sebelumnya?

Saya kira rangkaian pertanyaan ini jika diteruskan tentu tidak akan ada habisnya. Untuk itu negara, dalam hal ini pengelola tingkat Kota seharusnya bisa hadir dalam rangka penyelesaian.

Seharusnya, aksi gabungan adik-adik mahasiswa dan pedagang kaki lima didepan kantor walikota Ambon pada Jumat (3 Juli 2020) bisa jadi pelecut pihak terkait. Apalagi jika berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat umum.

Meskipun pada aksi Jumat siang kemarin (konon) pak Walikota meninggalkan kantor saat mengetahui massa coba menyerbu masuk dan berujung konflik dengan penjaga, sebaiknya “pesan” terkait mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi jadi pertimbangan para pemangku kepentingan di Ambon. Ini juga tidak kalah pentingnya.

Anggaplah, tim Gustu COVID-19 kota Ambon sudah bersungguh-sungguh berjibaku menekan angka terkonfirmasi positif Korona, memperhatikan dan mengedepankan  kesejahteraan ibu-bapak jibu-jibu adalah tanggung jawab dari pak Richard Louhenapessy beserta jajarannya. Yang juga merupakan ketua Gustu Kota Ambon.

Inilah salah satu hal yang saya pernah katakan pada tulisan sebelumnya dengan memakai terminologi suprastruktur. Dalam artian, saat nasib jibu-jibu hanya dipandang sebelah mata, besar keyakinan saya niatan menurunkan angka COVID-19 di Kota Ambon akan menemui jalan buntu.

Kita ambil contoh kondisi pasar Mardika. Pasar yang resmi beroperasi sejak tahun 70-an ini, saat masa PSBB pertama tidak berkurang aktifitas jual-beli disana.

Bayangkan saja, sejak minggu lalu hingga sekarang sepanjang pinggir pantai jalan Yos Sudarso jumlah kendaraan umum dan orang-orang masih berjejal-jejal. Apalagi menjelang sore hari.

Bukankah kondisi ini bertolak belakang dengan petunjuk teknis PSBB itu sendiri? Jika kemudian ada pihak menyalahkan jibu-jibu dan masyarakat yang tetap berjejal di pasar tua saat PSBB berlaku, pertanyaan sebaliknya tidak berlebihan bisa saya ajukan.

Apakah mereka (jibu-jibu dan masyarakat) tadi harus berhenti jualan dan beraktifitas hanya untuk menaati PSBB kota Ambon? Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka? Tidak cukupkah sangkakala kematian toko-toko kecil saat diperhadapkan dengan keberadaan miniswalayan yang berkembang bak jamur di Kota Ambon? Harus lagi jibu-jibu menelan pil pahit tidak makan dan ancaman kematian selama dua Minggu kedepan demi sebuah kata “ketaatan”?

Sekiranya menyalahkan tanpa memberikan jalan keluar yang sesuai hanya bisa dilakukan, disaat bersamaan kita sedang berlaku tidak adil kepada lainnya. Wasalam (***)