Oleh: Hasbollah Toisuta (Rektor IAIN Ambon)

DALAM Al-Quran (Q.S.2:185), disebutkan oleh Allah bahwa perintah puasa kepada orang mukmin adalah suatu perintah yang tidak saja diwajibkan kepada orang-orang muslim yang beriman, tapi juga diwajibkan atas umat-umat sebelum Nabi Muhammad Saw.

Dari berbagai catatan sejarah, menurut para ahli puasa merupakan suatu ibadah yang lebih awal dilaksankan dan sebarannya paling meluas di antara umat manusia. Dari berbagai sumber diketahui semua umat mempunyai syariat tentang puasa.

Perbedaannya pada satu umat dengan umat lain sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi masing-masing umat. Secara umum bentuk puasanya selalu dalam bentuk sikap menahan diri dari mekan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis. Ada juga puasa dalam bentuk menahan diri dari bekerja (seperti halnya tradisi Nyepi dalam agama Hindu), bahkan puas dalam bentuk tidak berbicara.

Terhadap puasa dalam bentuk tidak berbicara ini dituturkan Al-Quran, dilakukan oleh Siti Maryam, Ibunda Nabi ‘Isa al-Masih.

Seperti dikisahkan dalam Al-Quran, ketika masyarakat Yahudi akan mengetahui bahwa Maryam telah mengandung dan melahirkan ‘Isa (Nabi ‘Isa) tanpa melalui pernikahan, maka potensi fitnah menjadi luas. Serentak saja menjadi viral dan tersebara di seluruh masyarakat.

Fitnah dan berita hoax serta ujaran-ujaran kebencian akan terjadi di seantero negeri bahwa Siti Maryam telah melakukan perbuatan amoral (berzinah). Dapat dibayangkan bagaimana daya tahan seorang Siti Maryam berusaha untuk mengkarifikasi dan menghadapi aneka fitnah, ujaran kebencian dan pemberitaan hoax yang akan terjadi tersebut.

Dalam situasi genting ini Allah memetintahkan Siti Maryam untuk berpuasa dan bentuk puasanya adalah menahan diri untuk tidak berkata-kata; “Inni nazartu li al-Rahmaani shauman, falan uqallim al-yauma insiyaa” (sesungguhnya aku bernazar kepada Tuhan yang Maha Pengasih untuk berpuasa, maka aku tidak berbicara dangan siapa pun pada hari ini. Q.S.19:26).

Sikap Siti Maryam dengan berpuasa dari berkata-kata (berbicara) ketika menghadapi kemungkinan terjadi fitnah semestinya dapat kita teladani, khususnya ketika dewasa ini begitu maraknya lalulintas media sosial (medsos) dipenuhi dengan fitnah, pemberitaan hoax dan ujaran-ujaran kebencian.

Pesan moralnya sangat jelas bahwa puasa dalam artian diam dan tidak berkata-kata atau turut menyebarkan (baca: memviralkan) suatu berita yang tidak diketahui sumber dan kebenarannya itu lebih baik dari pada mengambil bagian untuk menyebarkannya.

Selain puasa untuk tidak berbicara seperti dalam cerita Siti Maryam ini. Bagi umat Islam kewajiban berpuasanya adalah secara total dengan menahan diri dari – semua jenis – makan dan minum tanpa kecuali, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari sementara berbicara dan bekerja diperbolehkan meskipun lebih dianjurkan juga untuk mampu mengendalikan diri dari perkataan maupun perbuatan yang menghilangkan nilai ibadah puasa itu sendiri.

Kaum Sabean (al-shaabi’uun) dan para pengikut Manu (al-manuuwiyuun), yaitu kelompok keagamaan Timur Tengah Kuno, khusunya di Mesopotamia dan Persia adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan menghindari jenis tertentu dari makanan dan minuman. Demikian pula halnya umat Kristen, khususnya umat Krsiten Timur di Asia Barat dan Mesir. (NM, 2000 : 5).

Terhadap masalah bilangan dan waktu berpuasa juga berbeda satu umat dengan umat lain. Umat Islam berpuasa sepanjang siang di bulan Ramadhan, sementara sebagian umat lain justeru berpuasa hanya di malam hari. Bahkan ada umat yang pula berpuasa sepanjang siang dan malam.

Para nabi juga punya tradisi berbeda, Nabi Daud a.s, berpuasa sehari dan berbuka sehari. Sementara Nabi Isa as, pernah berpuasa selama 40 hari ketika menghadapi godaan iblis (Injil, Rasul Lukas 4: 13) dan seperti juga dijelaskan agar puasa dilakuan oleh orang Kristen secara diam-diam (Injil, Rasul Besar Mateus 6:16-18). Dikisahkan Nabi Musa as, ketika bermunajat di Bukit Tursina, dia juga berpuasa selama 40 hari sebelum akhirnya menerima wahyu berupa 10 perintah (the ten commandements). Demikian pula para nabi yang lain, semua melaksanakan ajaran ibadah puasa.

Dari perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa ajaran puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukan kebersambungan atau kontinuitas agama-agama. Sedangkan bagi Islam ajaran puasa merupakan salah satu bukti bahwa agama Islam merupakan bukti kelanjutan dan penyempurnaan ajara-ajaran agama Allah yang diturunkan kepada umat-umat Sebelumnya. Wallahu’alam. (***)