Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi di Jurusan Bimbingan Konseling Islam – IAIN Ambon)

RAMADHAN, bulan penuh berkah. Bulan yang dikhususkan Allah bagi umat muslim untuk meraih ampunan-Nya. Bulan yang ditutup dengan teriakan takbir sebagai wujud kemenangan.

Menang dari hawa nafsu. Menang untuk saling berbagi kasih dan bahagia. Menang untuk keharmonisan semesta.Semua orang sudah tahu. Bahwa Ramadhan tahun ini sangat berbeda. Tidak ada salam-salaman. Tidak ada saling kunjung kecuali melalui medsos. Kalaupun ada yang berkunjung maka ia wajib pakai masker dan hand sanitizer. Dan seterusnya.

Meskipun nuansa Ramadhan cukup berbeda, tapi tampak umat muslim sangat syahdu tenggelam dalam gema takbir. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.  Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan bathin. Kalimat ini terkandung makna yang sangat dalam. Inti poin dari kalimat tersebut ialah maaf lahir dan bathin.

Filsuf Derida mengungkapkan bahwa ciri khusus dari memaafkan ialah mengampuni hal-hal yang tak bisa di ampuni. Pernyataan ini selaras dengan makna maaf lahir dan bathin.  Artinya, proses memaafkan harus totalitas, yakni maaf lahir saja tak cukup, harus juga di perkuat dengan maaf bathin. Alhamdulillah, Islam mengajarkan umat muslim seperti demikian adanya.

Thompson, Snyder, dan Hoffman bahwa perilaku memaafkan terdiri dari tiga aspek yaitu memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain, serta memaafkan situasi.  Memaafkan diri sendiri yaitu individu yang berusaha memaafkan dirinya sendiri, walaupun dampak rasa sakit hati terhadap orang lain sangat menyakitkan dirinya.

Memaafkan orang lain ialah individu yang berusaha memaafkan kesalahan yang diperbuat orang lain terhadap dirinya. Terakhir, memaafkan situasi yaitu individu yang berusaha memaafkan situasi walaupun keadaannya terasa sangat buruk bagi dirinya.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh McCullough mengemukakan bahwa perilaku memaafkan sangat berhubungan positif dengan kebahagiaan. Jika seseorang sering memberi maaf, maka ia akan merasa bahagia.

Perilaku memaafkan juga dapat mengatasi hal-hal negatif. Penelitian yang dilakukan Thompson membuktikan bahwa perilaku memaafkan dapat mengatasi rasa dendam dan kecemasan yang dialami seseorang.

Tak hanya itu, beberapa penelitian seperti Rassmussen dan Lopez membuktikan bahwa perilaku memaafkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologi (psychological well-being). Laroine juga mengatakan bahwa perilaku memaafkan sangat berdampak pada harga diri, regulasi emosi, dan harmonisasi.

Meskipun terlihat proses maaf lahiriah di Ramadhan tahun ini agak terbatasi oleh protokol kesehatan dan social distancing. Tapi maaf bathin masih berlaku baik di lapak-lapak grup Whatsapp. Proses memaafkan melalui dunia virtual tak mengurangi esensi Ramadhan tahun ini. Yang penting ada proses saling memaafkan antar-sesama.

Harapannya semoga proses memaafkan ini dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan psikologis kita semuanya. Di samping itu, dapat mengatasi rasa cemas akibat wabah covid-19.

Semoga tahun depan, kita semua dapat kembali berjumpa lagi dengan Ramadhan, yang tentu tanpa wabah Covid-19  (***)