Pada Oktober 2009, sekitar 300 pakar berkumpul di Roma untuk membahas strategi cara memberi makan dunia pada tahun 2050. Forum ini digelar untuk memberikan dasar dalam penyelenggaraan KTT Dunia tentang Keamanan Pangan pada November 2009 di Roma. Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan di bawah PBB,  memperkirakan pada 2050 dibutuhkan peningkatan produksi pangan sebesar 70 persen.

Berdasarkan proyeksi PBB,  populasi dunia akan meningkat dari 6,8 miliar hari ini menjadi 9,1 miliar pada tahun 2050 – sepertiga lebih banyak mulut untuk diberi makan daripada yang ada saat ini. Hampir semua pertumbuhan populasi akan terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 70 persen populasi dunia akan hidup di kota atau daerah perkotaan pada tahun 2050, naik dari 49 persen saat ini.

Permintaan makanan diperkirakan akan terus tumbuh sebagai akibat dari pertumbuhan populasi dan peningkatan pendapatan. Begitu juga permintaan pakan ternak diproyeksikan mencapai sekitar 3 miliar ton pada tahun 2050.

Terlepas dari kenyataan bahwa 90 persen pertumbuhan dalam produksi tanaman diproyeksikan berasal dari hasil yang lebih tinggi dan intensitas tanam yang meningkat, tanah yang subur harus diperluas sekitar 120 juta hektar di negara-negara berkembang. Lahan subur yang digunakan di negara-negara maju diperkirakan akan berkurang sekitar 50 juta hektar.

Dari laporan FAO itu, persoalan pertanian ini akan dihadapkan dengan kebutuhan irigasi (air), lahan pertanian yang diperkirakan membutuhkan 120 juta lahan baru. Di saat bersamaan lahan di negara maju diperkirakan berkurang 50 juta hektar.

Belum lama ini, FAO mengeluarkan laporan mengenai ancaman krisis pangan akibat Covid-19 yang melanda dunia. Dalam laporan pada penutupan tahun 2019, 135 juta orang di 55 negara dan wilayah mengalami kerawanan pangan serius.

Selain itu, di 55 negara krisis pangan itu, ada jutaan anak yang menderi kekurangan makanan atau malnutrisi pada tahun 2019. Selain itu, FAO mengingatkan ada 183 juta orang yang terancam dalam krisis pangan atau bahkan lebih buruk.

Lebih dari setengah (73 juta) dari 135 juta orang itu tinggal di Afrika; 43 juta tinggal di Timur Tengah dan Asia; 18,5 juta tinggal di Amerika Latin dan Karibia. Penyebab utama yang mempengaruhi situasi pangan ini dipicu konflik, (77 juta orang rawan pangan akut), cuaca ekstrem (34 juta orang), dan turbulensi ekonomi (24 juta).

Nasib sagu sebagai makanan pokok orang Maluku, Papua dan sejumlah daerah di Indonesia, terutama wilayah Melanesia, juga kehilangan pamor sebagai makanan pokok. Namun, di sisi lain, dunia internasional sangat serius meneliti sagu sebagai makanan pokok yang bisa menjadi alternatif untuk menjawab persoalan pangan seperti yang dikhawatirkan badan internasional.

Bahkan, sejumlah ilmuwan dari mancanegara secara rutin melakukan pertemuan untuk membicarakan persoalan sagu secara internasional. Orang Maluku, orang Papua  sejak lama telah memiliki keahlian dalam mengolah sagu sebagai makanan secara turun-temurun. Hanya membutuhkan sentuhan teknologi untuk mengolah sagu sehingga semakin baik.

Keahlian orang Maluku dalam persoalan sagu, bukan sebatas mengolah bahan makanan, tetapi juga kearifan lokal untuk menjaga kelestarian sagu. Ilmuwan dan pemangku kepentingan perlu melirik untuk belajar dari masyarakat adat/lokal, karena kearifan warisan nenek moyang jauh lebih bijak dalam memperlakukan alam sebagai sumber pangan. Hal itu masih dapat ditemukan dalam pelaksanaan sasi dan keberadaan kewang di Maluku dan ada banyak kearifan lokal yang tetap relevan untuk saat ini dan masa depan.

Kalau dikaitkan dengan poyeksi FAO tahun 2050, dimana ada kebutuhan pangan yang sangat tinggi, karena pendapatan yang makin tinggi dan penambahan penduduk, tentu sangat menarik untuk kembali kepada kekuatan lokal Maluku. Sudah terlalu jauh pangan lokal ditinggalkan, tidak mudah untuk mengembalikan pola makan ketika orang Maluku masih mengandalkan sagu. Namun, kesadaran akan kebutuhan pangan bagi generasi mendatang, tentu sangat relevan bagi generasi saat ini untuk memastikan ketersediaan pangan.

Dalam proyeksi pangan FAO itu sebenarnya negara berkembang perlu khawatir, karena wilayah merupakan harapan bagi lahan pertanian, sementara lahan di negara maju justru semakin menyusut. Artinya, negara berkembang diharapkan menjadi pemasokan pangan bagi negara maju. Persoalan pangan akan menjadi titik krusial di masa mendatang. Kembali mengembangkan sagu dan umbi-umbian akan menjadi jalan keluar bagi pemenuhan pangan di masa datang.

Bila Maluku mengandalkan beras semata, maka hampir pasti tidak akan pernah mencapai kedaulatan pangan. Maluku tidak akan pernah memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Kedaulatan pangan lokal, seperti sagu, umbi-umbian, pisang dan sebagainya harus menjadi prioritas dalam pengembangan pangan lokal. Tidak ada kata terlambat untuk mengembalikan sagu dan umbi-umbian. Semoga (***)