Pelangar protokol kesehatan  dalam  kegiatan Pemilihan  yang  dianggap dengan sengaja menghalangi  penanggulangan wabah, dan  dikenai  sanksi  dalam  Pasal 14 ayat (1)  UU  4/1984 dengan penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal 1 juta rupiah.

Demikian pula pelanggaran  kekarantinaan kesehatan yang menyebabkan kedaruratan kesehatan dikenai sanksi  dalam  Pasal  93 UU 6/2018 dengan penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal 100 juta rupiah.

Penerapan sanksi pidana berdasarkan Pasal 212, 214 dan 2016 ayat (1) dapat diberikan kepada pelanggar protokol kesehatan dalam Pemilihan yang dianggap tidak patuh terhadap perintah  atau melawan  seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas.

Dalam hal ini penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu dalam tahapan Pemilihan. Atau dalam hal melawan polisi atau pihak yang berwenang dalam penanganan covid,  dalam hal sedang menjalankan tugasnya untuk itu.

Ancaman maksimal  atas jenis pelanggaran itu, apabila dilakukan secara berkelompok dikenai sanksi maksimal  sesuai Pasal 214  ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dari penjara 8 (pejabat luka-luka), 12 tahun (pejabat luka berat) sampai 15 tahun (pejabat mati).

Tantangan Berat Penyelenggara

Tidak mudah mengatur ritme penyelenggara Pemilihan dalam siuasi pandemi.  Sesuai hasil RDP KPU akan menggodok perubahan PKPU 10/2020, dengan mengakomodasi poin 2 kesimpulan RDP dalam penerapannya terhadap 6 tahapan dalam poin  3 kesimpulan  RDP,  terutama berkaitan dengan larangan dalam masa kampnaye. Padahal  masa kampanye akan segera dimulai dari tanggal 26 September  2020 dan berakhir 6 Desember 2020.

Berdasarkan  jadwal tahapan dalam PKPU 5/2020, dalam tanggal 23 September 2020, akan dilakukan penetapan pasangan calon.  Tanggal 24 September 2020 melakukan pengundian nomor urut,  25 September 2020 penyerahan laporan awal dana kampanye, dan  berujung pada mulainya masa kampanye 26 September 2020.

Namun tugas inti teknis penyelenggaraan berulangkali terkoreksi dengan    penyesuaian kegiatan tahapan sesuai protokol kesehatan.  Desakan seperti ini, sepertinya ingin memastikan penyelesaian persoalan sedemikian normatif. Padahal  sekali lagi, arakan massa saat pendaftaran jauh lebih dinamis penanganannya,  baik dari sisi koordinasi, antisipasi maupun pengendaliannya.

Apakah ini problem normatif atau  penegakannya?  Sepertinya hal tersebut sudah dapat dijawab kesimpulan  RDP  dengan  mengaitkan 4 UU dalam menegaskan sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam tahapan Pemilihan. Sebab  perubahan PKPU  hanya akan menjawab pengauran yang berulang,  yang kemudian lebih ditegaskan kembali.

Namun  ibarat berlari dengan menoleh ke belakang, begitulah kerja-kerja penyelenggara Pemilu dalam situasi ini. Kadang kami berhadapan dengan norma yang akan datang (ius contituendum), dengan  kecepatan berubah dan beradaptasi dengan cepat, karena situasi  dan masyarakat menghendakinya.

Tidak cukup perubahan PKPU dan sanksi tegas atau ditegaskan kembali. Bangsa butuh kesadaran semesta dari pasangan calon, pedukung, pemilih  dan semua pihak untuk menyelamatkan pemilihan dan keselamatan   kesehatan segenap anak negeri ini. (***)