Oleh : Dhino Pattisahusiwa (Jurnalis Maluku/ Pemred beritabeta.com)

GROUP pop legendaris asal Swedia ABBA, pernah tersohor dengan lagu berjudul   “The winner takes it all” (pemenang mengambil semua). Setidak-tidaknya judul lagu ini menggambarkan apa yang terjadi dalam dunia politik di dunia, Indonesia dan Maluku khususnya. Ketika kontestasi politik berhasil dimenangkan oleh seorang politisi, maka sang pemenang akan mendapatkan semuanya.

Tapi fenomena “The winner takes it all” lambat laun mulai redup, sejalan dengan pergantian regulasi yang begitu ketat. Saat ini seorang pemenang (politikus) tidak bisa serta mengambil semua apa yang diperoleh dari proses politiknya.

Dia harus mampu berbagi kepada mereka yang ikut serta dalam sebuah kemanangan itu. Siapa mereka?? Mereka adalah rakyat.  Jika tidak, maka pemenang pada waktunya akan menjadi penonton dalam pentas ini selamanya.

Berbagi hasil dengan rakyat, paling tidak harus ditunjukkan dengan nyata. Saya menggunakan kata “selingkuh”.  Politisi harus mampu berselingkuh dengan rakyat untuk kemenangan selamanya.  Cerita “selingkuh politik”, bukan barang baru. Jika kita mengamati sejarah di zaman kuno,  maka prilaku “selingkuh politik” ini sudah dipertontonkan di zaman Mesir kuno dengan tokohnya Cleopatra.

Cleopatra tahu bahwa politik dan kekuasaan sangat identik dengan kaum laki-laki, maka agar tidak terbuang dari lingkaran elit istana Mesir, ia menikah dengan Ptolemeus XIII, saudaranya sendiri.

Kemudian, ketika ancaman kudeta yang dirancang pendukung saudaranya datang, Cleopatra bersekutu dan menikah dengan Kaisar Romawi Julius Caesar, lalu juga dengan jenderal Marcus Antonius. Hal ini berhasil membuat kekuasaannya bertahan untuk beberapa saat.

Kisah serupa juga terjadi  antara Konstantinus dan Licinius. Pada masa Konstantinus hidup, Kekaisaran Romawi pada saat itu sedang mengalami pergolakan dan menghadapi ancaman perpecahan.

Konstantinus yang mengetahui bahwa ada dua kekuatan politik yang ada di sekitarnya saat itu, yakni Maxentius dan Licinius, memainkan strategi cerdas dengan merangkul Licinius dan menyatakan perang terhadap Maxentius.

Strategi Konstantinus adalah memberikan saudarinya Flavia Julia Constantia untuk dinikahi oleh Licinius. Licinius dan Konstantinus kemudian secara bersama-sama mengalahkan Maxentius.

Setelah Maxentius yang tenggelam di sungai pada pertempuran di jembatan Malvius berhasil dikalahkan, Konstantinus berbalik memerangi dan akhirnya mengalahkan Licinius.

Secara jelas kita bisa melihat gambaran bagaimana perempuan  bisa menjadi salah satu ‘alat’ bagi Konstantinus untuk menyatukan dan memperkuat kerajaan Romawi saat itu.Tidak hanya di dunia kuno, skandal serupa  juga menimpa tokoh-tokoh kontemporer, misalnya Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pada 1998 yang pernah direpotkan oleh skandal hubungannya dengan staf Gedung Putih, Monica Lewinski.

Atau juga dugaan skandal yang menimpa mantan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi yang pernah dituding melakukan hubungan seks dengan perempuan di bawah umur. Masih banyak lagi kasus-kasus politisi yang terjerat dalam fenomena skandal seks, yang mungkin kalau disebutkan satu per satu tidak akan pernah habis.

Kisah-kisah di atas,  kini menjadi lembran sejarah yang panjang dalam perebutan dan mempertahankan sebuah kekuasaan politik. Saat ini, laki-laki tidak lagi laku dan menjadi magnet yang kuat dalam ranah politik, menyusul sekat demokrasi dibuka lebar dengan berbagai regulasi yang menghimpun  dan memberi ruang eksistensi kaum perempuan. Maka decade ini, kepakan sayap perempuan dalam dunia politik makin lebar.