Oleh :  Lusi Peilouw (Aktivis LSM/ Pemerhati Masalah Sosial)

TAHUN 2005 seorang penulis buku-buku perlawanan bernama Eko Prasetyo menuliskan satu buku bernada Kiri yang diberi judul Orang Miskin Dilarang Sakit. Judul yang pedas menampar, bukan? Berangkat dari pengalaman pribadinya mengakses layanan yang buruk dan tidak murah, penulis mengungkap secara lugas fakta-fakta ketidakadilan dan kebobrokan layanan kesehatan publik.

Lima belas tahun berselang kini, tak dipungkiri berbagai upaya pembenahan dilakukan. Namun mesti diakui pula bahwa masih ada begitu banyak fakta miris dalam dunia kesehatan berseliweran di ruang waktu yang telah lalu. Di Maluku saja, beberapa hari belakangan ini pun kita diperhadapkan dengan fakta yang teramat miris.

Tercatat 3 pasien meninggal setelah ditolak oleh pihak Rumah Sakit. Salah satu dari mereka adalah seorang bocah 4 tahun warga Kota Ambon manise yang berjuang melawan penyakit Anemia Aplastik. Suka atau tidak, kisah akhir hidup Rafadan mesti menjadi ukuran kematangan sense of humanity kita.

Adalah di tanggal 21 Mei, semesta dan nurani menjadi saksi peristwa na’as yang menimpa Rafadan, bocah malang itu. Penolakan yang diterima di depan pintu 5 Rumah Sakit berujung maut. Bukan mimpi, bukan pula sinetron.

Di pintu 3 Rumah Sakit, Rafadan ditolak oleh petugas dengan alasan yang berhubungan dengan pandemic COVID -19, di satu Rumah Sakit ditolak juga oleh petugas dengan alasan tidak tersedianya dokter spesialis pada saat itu dan di satu Rumah Sakit lainnya dia ditolak melalui gembok yang digantung di gerbang. Artinya ada rumah sakit yang ditutup sama sekali sebagai dampak perawatan pasien COVID -19 dan tidak menerima Rafadan (dan orang sakit lainnya)

Kisah ini tentu melahirkan beberapa sudut pandang. Mungkin saja ada yang memilih sikap tawakkal, yakni iklas menerimanya sebagai takdir. Bahwa itu sudah ajalnya; atau bahwa Rafadan sudah ditakdirkan untuk berpulang ke Penciptanya dengan cara yang demikian.

Atau mungkin ada yang marah terhadap pihak Rumah Sakit. Kabarnya, sang ibu pun menyampaikan kekesalannya: “anak saya mati sia-sia”. Saya, dalam hal seperti ini, tidak bisa bersikap tawakkal. Apapun alasannya, penolakan terhadap pasien, apalagi usia balita seperti Rafadan, adalah tidak manusiawi.

Hal penolakan pasien ini sesungguhnya telah menjadi kekuatiran public, pada saat RSUD dr. Haulussy mulai ditutup oleh Pemerintah Provinsi pada tanggal 13 Mei lalu, pasca 17 tenaga medisnya dinyatakan terkonfimasi positif covid 19. Kekuatiran itu menjadi kenyataan.

Memang, dalam situasi pandemi saat ini, kewaspadaan pihak rumah sakit tidak bisa ditawar-tawar. Kita sangat bisa memakluminya. Itu pun untuk kebaikan kita. Dengan kata lain, ketika tenaga medis terkonfirmasi positif terpapar virus corona,  harusnya kita bisa menerima sebagai sebuah kewajaran jika Rumah Sakit tempat mereka bekerja ditutup. Walaupun di tempat lain, Rumah Sakit yang tenaga medisnya terpapar tetap membuka pelayanan umum. Saya ingin mengambil Semarang sebagai pembanding.

April lalu, puluhan tenaga medis  di RSUP Kariadi Semarang yang merupakan Rumah Sakit rujukan perawatan pasien COVID 19 di Jawa Tengah, dikabarkan terpapar Covid 19. Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah menyediakan Hotel Kesambi Hijau milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menjadi tempat isolasi dokter dan perawat. (Sumber: Kompas.com tanggal 16 April).

Sepanjang pencarian saya akan informasi penutupan RS Kariadi akibat kondisi tenaga medis ini, saya tidak menemukan apa-apa. Muncul pertanyaan yang saya sendiri tak bisa menjawab secara pasti  adalah, mengapa kita berbeda?

Mungkinkah insfrastuktur yang kita miliki tidak sebaik di tempat lain? Ataukah ketersediaan tenaga medis di sini sangat terbatas, berbeda dengan di luar sana? Ataukah kita tidak cukup siap dari sisi dukungan anggaran? Semoga saja pihak rumah sakit kita sudah berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik, namun sebatas itulah kemampuan mereka untuk bikin lebih, sehingga penolakan pun tak terelakan.

Ilustrasi Pasien Ditolak

Pada titik ini, menurut saya Pemerintah Provinsi yang memegang kendali atas pelayanan bidang kesehatan di daerah ini mesti diminta pertanggungjawaban. Di lain sisi, yakni dari perspektif Hak Asasi Manusia, realita penolakan oleh pihak Rumah Sakit adalah pengabaian akan kewajiban memberikan penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat akan kesehatan.

Ketika itu dilakukan oleh Rumah Sakit milik pemerintah, maka negara telah memasung HAM warganya. Jika itu dilakukan oleh Rumah Sakit swasta pun, itu merupakan pelanggaran HAM. Sebab pihak Rumah Sakit swasta dalam hal ini merupakan pengelola layanan yang berkaitan dengan HAM atau dikenal sebagai non-state actor sehingga juga memegang kewajiban (due diligence) sebagaimana halnya negara.

Kerangka pikir HAM ini menggiring kita untuk memahami bahwa dalam keadaan dunia dilanda pandemi sekalipun, penutupan layanan Rumah Sakit bukan tidak boleh berdampak pada ditutupnya pelayanan bagi masyarakat. Atas nama upaya memotong mata rantai transmisi COVID-19, bolehlah Rumah Sakit secara gedungnya ditutup. Tapi jangan menutup sama sekali pelayanannya. Harusnya layanan tetap disediakan walaupun dalam settingan yang lain. Dengan membangun tenda darurat, misalnya; atau membuka layanan darurat di instalasi pemerintah lain.

Atas nama kemanusiaan, orang sakit janganlah sampai ditolak begitu saja tanpa solusi.  Paling tidak dibantu dengan mekanisme rujukan. Toh, di masa pandemi ini orang akan berusaha sekuat dan sebisanya untuk tidak sakit atau tidak berurusan dengan rumah sakit. Namun ada kasus yang tidak dapat dihindari misalnya mereka yang memang sakit sejak lama (pasien lama) seperti almarhum Rafadan. Bagi mereka harusnya tetap diberikan solusi atau alternative layanan medis, sekecil apapun itu akan lebih baik dari pada menolak.

Dimensi kemanusiaan mesti menjadi pertimbangan dasar pengambilan kebijakan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Apalagi pada sektor kesehatan yang merupakan sektor vital dimana mati dan hidup seseorang diperjuangkan. Perkara mati atau hidup adalah otoritas keilahian Sang Pemberi Hidup. Tetapi memperjuangkan kehidupan adalah ikhtiar yang diamanatkan bagi manusia.

Jika negara tidak lagi sanggup mendukung ikhtiar itu, maka seharusnya Pemerintah Daerah mengkampanyekan: semua orang dilarang sakit (***)