Oleh: Engelina Pattiasina (Direktur Archipelago Solidarity Foundation dan Pemerhati Masalah Politik Ekonomi)

PERHATIAN dunia yang fokus pada penanganan pandemi covid-19 ternyata tidak mampu meredakan ketegangan di Laut China Selatan (South China Sea). Pandemi Covid-19 memancing perang pernyataan antara Amerika dan China.

Amerika dan China seolah melanjutkan perang dagang dalam penanganan pandemi Covid-19. Sejak memasuki tahun 2020, ada sejumlah insiden yang membuat ketegangan di Laut China Selatan dan sekitarnya. Pada 28 Mei 2020, saluran berita CNN menyatakan, Angkatan Laut AS sekali lagi berlayar dengan kapal The Arleigh Burke, yang dipandu Kapal perusak rudal USS Mustin di dekat Kepulauan Paracel.

Juru Bicara Armada ke-7 AL AS, Anthony Junco, menyatakan, pada 28 Mei 2020, USS Mustin (DDG 89) menegaskan hak navigasi dan kebebasan di Kepulauan Paracel, konsisten dengan hukum internasional. Dengan melakukan operasi ini, Amerika Serikat mendemonstrasikan bahwa perairan ini berada di luar apa yang Tiongkok dapat klaim secara hukum sebagai laut teritorialnya.

Sebelumnya, Kapal Perang AL AS juga telah berlayar di dekat Pulau Paracel dan Spratly di Laut China Selatan pada April dan Maret 2020.  Situasi ini menambah ketegangan di Luat China Selatan yang menghangat sejak beberapa waktu terakhir ini.

Tapi, langkah yang dipertunjukkan AS tidak bisa diremehkan, karena AS sangat siap sejak jauh hari karena pangkalan militer AS tersebar di sejumlah negara, seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Guam, dan di berbagai negara.

Pangkalan Militer AS di Subic Bay (Filipina) berada di posisi yang strategis karena langsung mengarah ke Laut China Selatan. Meskipun perjanjin Visiting Forces Agreement (VFA) yang diteken pada 1998 akan berakhir pada Agustus 2020, tetapi kelihatannya kerjasama itu bakal berlanjut, meski Presiden Duterte sering “melirik” ke China.

Klaim terhadap Laut China Selatan masih tetap melibatkan sejumlah negara, China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunai. Sementara posisi Amerika dianggap membantu lawan China, tapi sesungguhnya berada pada kebijakan kebebasan navigasi atau freedom of navigation (FON) dan tidak megakui klaim nine dash line China di Laut China Selatan.

Sengketa di Laut China Selatan ini sangat kompleks, karena klaim yang saling tumpang tindih antara satu negara dengan negara lain. Misalnya, China mengklaim sebagai wilayah tangkapan tradisional dengan menggunakan klaim nine dash line atau sembilan garis putus, sementara negara lain menggunakan klaim wilayah territorial, termasuk wilayah Zona Economic Exclusive (ZEE) sejauh 200 mil laut.

Terkena Dampak

Posisi Indonesia, sebenarnya sama sekali tidak bebas dari konflik Laut China Selatan, masih jelas teringat pada Januari 2020, Presiden Joko Widodo harus berangkat ke Natuna menyusul insiden pengusiran nelayan oleh kapal patroli China di perairan Natuna Utara.

Pada masa Rizal Ramli menjadi Menko Kemaritiman menggagas untuk mengubah nama menjadi Laut Natuna Utara, untuk wilayah laut yang beririsan dengan Laut China Selatan. Jadi, Untuk itu tidak heran ketika kapal China mengusir nelayan Indonesia menjadi persoalan yang sensitif bagi Indonesia.  Bukan mustahil, insiden ini merupakan pesan kalau Laut Natuna Utara belum sepenuhnya aman dari incaran negara lain.

Kalau melihat pernyataan resmi dari pemerintah China melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang’s dalam konferensi pers regular pada 31 Desember 2019, sangat jelas, menyatakan, “China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha. Sementara itu, Tiongkok memiliki hak historis di Laut Cina Selatan.

Wilayah Konflik Laut China Selatan

Nelayan Tiongkok telah lama terlibat dalam kegiatan perikanan di perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha, yang selama ini sah dan sah. Penjaga Pantai Tiongkok melakukan tugasnya dengan melakukan patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat China yang sah di perairan yang relevan”.

Meski begitu, Geng Shuang’s menyatakan China tetap konsisten berpihak kepada Indonesia dan Tiongkok akan mengelola perselisihan dengan baik melalui dialog bilateral, dan untuk menjaga kerja sama yang bersahabat serta perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.

Sikap China ini tidak bisa disepelekan karena hanya persoalan waktu akan selalu memunculkan insiden, jika hal seperti ini dianggap sebagai hal yang biasa. Namun, Indonesia merespon dengan tegas karena Presiden dan rombongan memantau langsung situasi di Natuna untuk menunjukkan kepada negara lain, kalau insiden itu mengganggu teritori Indonesia.