KITA sungguh mengerti bahwa media sosial (medsos) mensenjakala di kehidupan kita. Tak ada manusia (milenial), yang tak menggenggam gawai atau terjangkit medsos. Ia adalah sabda kehidupan manusia sekarang. Medsos hadir setiap saat, di jalan, di kantor, di kampus, bahkan sejak dalam pikiran. Kita merasa gelisah tanpanya. Tanpa disadari, praktis kita telah mendelegasi banyak hal kepadanya.

Kini, derap medsos kian pesat dan sulit dibendung. Ia melukiskan kehidupan yang sangat kompleks tapi tak bisa menerjemahkan realitas nyata (beneran) dari sudut pandang yang juga kompleks. Namun, kita patut bersyukur. Berkatnya, banyak sekali manfaat yang didapat.

Secara pongah, orang-orang bergairah memilikinya. Dampaknya, begitu sangat signifikan dalam pola berpikir dan pola bertindak dalam dimensi bersosial serta beragama manakala disikapi secara bijak. Masyarakat lebih leluasa dan merasa puas memperoleh kemudahan mengakses konten yang diperlukan serta memberikan informasi secara mudah.

Namun, perlu disadari bahwa kedigdayaan medsos juga mempunyai problem besar. Mulai dari problem otoritas, otensititas, individualitas, dan sakralitas informasi (Abd. Halim: 2018). Di dunia medsos, informasi cepat diterima dan cepat berlalu. Medsos mengubah dunia secara cepat dan radikal. Orang-orang yang tak siap akan hanyut dalam kendangkalan, serba manja, serba praktis, serba artifisial. Dengan semua itu, orang menjadi homodigitalis yang menjelma menjadi brutalis.

Di Indonesia, lebih dari tiga perempat penduduk pemakai internet, 132 juta orang pada 2017, aktif di media sosial (Kompas, 10 Februari 2018). Dan, pada genarasi milenial, 75 persen mencari berita, 59 persen mencari travel, dan 62 persen mencari makanan. Sebanyak 59 persen dari para milenial menggunakan internet untuk mencari informasi tetapi mereka lebih tertarik bila informasi disajikan lewat foto menarik, kalimat singkat, padat—yang sesui pergaulannya (Kompas, 25 Agustus 2018). Bila kita membayangkan orang sebanyak itu juga aktif membagikan informasi, betapa bisingnya semesta kehidupan ini. Apalagi, diperburuk adanya berita hoaks yang menyebabkan lautan malapetaka besar yang merusak tubuh persatuan.

Kini, orang-orang berdengung tragis. Orang tak mampu mengatasi situasi pelik yang mengikis hidupnya akibat prilaku zaman digital (J. Sumardianta: 2014). Ada orangtua frustasi atas perubahan anaknya yang sampai mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan permainan di gawai (Kompas, 23 Juli 2018). Ada ilmuwan bingung melihat generasi milenial lebih merasa sengsara bila fakir data-sinyal ketimbang fakir miskin harta dan ilmu (Kompas, 30 April 2018).

Kita bingung. Kita kewalahan dan sulit membendung arus digital. Lebih-lebih ditahun politik ini. Demagogi informasi hoaks dan kebencian-ketidaksukaan tumpah bagaikan air bah. Karena kita tahu, dunia digital tak mengenal status orang, sebarapa religiusnya orang, agungnya orang, tingginya rating, like, and share dari user. Sabda digital tak mengenal status sosial.

Medsos telah mengubah paradigma manusia sangat cepat. Medsos membimbing manusia pada dunia baru: yang serba berpikir cepat, serba padat, serba modern, serba pesona-warna, serba maha canggih, serba sensasi, serba praktis, dan serba pragmatis yang mungkin relevan dengan hasratnya untuk mencari keasyikan, kebenaran, serta keadilan.

Ketika medsos menjadi media pencari jati diri, karakter, dan identitas generasi milenial, saat itulah ancaman-ancaman datang. Seperti, kelompok radikal yang mencoba memanfaatkan peluang dari media sosial dan mereka bakalan gemar melakukan tindakan diskriminatif, eskapisme, serta tak memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan. Tak hanya itu, bila ihkwal tersebut terjadi maka kepekaan akal sehat akan hilang. Dan, pamer diri gencar dilakukan. Sensasi tak rasional membumbung tinggi, difisit harga diri makin terjadi.

Sadar dan kritis

Dari sekian kompleksnya ancaman itu, kita tentu harus membebalkan diri tetap mengupayakan mengembangkan diri. Salah satunya dengan tak terlalu menaruh lebih pada medsos (sesuai kebutuhan tanpa melampaui subtansi kebutuhan), serta berikhtiar, berpikir kritis, logis, mendalam, disertai kerja riset wacana-informasi yang bertumpu pada sikap reflektif. Dengan ini, kita sangat mungkin bisa mendeteksi sejak dini informasi-informasi yang tak berakurasi.

Kita tak hanya harus memiliki literasi digital tetapi hal tak kalah penting harus mempunyai kode etik, moral, dan bisa manata informasi. Artinya, kita mesti membangun kesadaran serta merasa bertanggungjawab atas zaman modernitas ini. Sebab, tanpa hal itu akan kembali muncul dampak negatif dan timbul kekacauan yang merasuk pada caruk kehidupan.

Peran milenial harus menganalisis dan meneroka pelbagai fenomena sosial yang krusial akibat komunitas medsos untuk dijawab secara rinci, bijaksana, dan ketulusan, supaya dapat memberi alternatif solusi informasi yang kolektif dan afektif.

Dan pada akhirnya, kita (generasi milenial yang akan mengganti kaum sekarang), pada tahun 2045, yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, dapat memberikan capaian terang, progresif, dan memberikan kontribusi positif pada negeri berdikari tanpa penyakit polusi informasi. Semoga. (*)

Oleh : Agus Wedi  (Mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsi IAIN Surakarta, Penjaga Komunitas Serambi Kata).