Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy  (Magister Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta; Dosen Psikologi di Jurusan BKI IAIN Ambon)

PURNA dari jabatan atau kekuasaan merupakan hal yang wajar terjadi dalam dunia kerja. Bahkan sekalipun dalam dunia politik. Sebab, sekarang ini kita hidup di zaman demokrasi, bukan otoritarianisme.

Di era demokrasi, pergantian kekuasaan atau jabatan lumrah terjadi. Menjadi masalah apabila kita sulit menerimanya sebagai kenyataan hidup. Bahkan lebih ekstrim, karena sulit menerima, akhirnya melimpahkan kekuasaan ke sanak keluarga.

Fenomena itu merupakan indikasi dari adanya gejala ketakutan akibat hilangnya jabatan. Ketakutan ini dalam istilah psikologi di sebut, “post power syndrome”, yakni penyakit psikologis yang di derita seseorang ketika sulit melepaskan jabatannya.

“Post power syndrome” muncul di saat seseorang mulai beralih dari satu aktivitas (jabatan) ke aktivitas lainnya (tanpa jabatan). Peralihan ini ditandai oleh gejala ketakutan, yakni muncul banyak pertanyaan dalam benak seseorang seperti, “Waduh kalau saya tidak punya jabatan, lantas saya harus bagaimana?”.

Pertanyaan itu akan mendapat jawaban rasional ketika seseorang mulai sadar bahwa jabatan bukan sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian. Meskipun demikian, terkadang juga muncul jawaban irasional (tidak rasional), yakni ketika seseorang sulit menyesuaikan dirinya dengan aktivitas selepas purna dari jabatan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami “post power syndrome”. Salah-satu di antaranya ialah status sosial dan keuntungan finansial. Yang mana, seseorang merasa dirinya selalu di hormati dan perintahnya selalu dikerjakan orang lain. Keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya juga terkadang membuatnya sulit melepaskan jabatan tersebut.

Namun, lagi-lagi di era demokrasi sekarang ini, penekanannya ialah bahwa peralihan kekuasaan atau lepas jabatan lumrah terjadi. Ketika seseorang benar-benar terlepas dari jabatannya, maka muncul gejala psikologis dari “post power syndrome” seperti merasa dirinya tidak di hargai orang lain. Selanjutnya mengalami kekurangan tenaga, tubuh kurus, dan wajah keriput.

Di samping itu, “post power syndrome” juga mengakibatkan munculnya perilaku bermasalah seperti, reaksi eksploitatif atau upaya menguasai orang lain, sering emosi, marah, dan gelisah. Terkait reaksi eksploitatif tersebut, dalam wacana terbaru, dapat kita lihat ketika seseorang melimpahkan jabatannya ke sanak keluarga akibat takut kehilangan jabatan tersebut.

Lantas, bagaimana solusi mengatasi gejala “post power syndrome” ini? Ada beberapa solusi psikologis agar seseorang tidak mengalami penyakit psikologis tersebut. Pertama, seseorang harus menganggap bahwa jabatan itu amanah dari rakyat, dan suara rakyat ialah suara Tuhan.

Artinya, kesalahan dalam mengemban amanah akan berakibat panjang sampai ke akhirat. Oleh sebab itu, amanah harus dijalankan sesuai keinginan nurani rakyat secara profesional dan proporsional. Dan ketika amanah ini selesai, maka selesai sudah tanggungjawabnya sebagai seorang pejabat.

Kedua, seseorang harus menganggap bahwa jabatan bukan sesuatu yang patut dipertahankan mati-matian. Artinya, jabatan bukan tujuan hidup, hanya alat untuk beramal. Jika jabatan menjadi tujuan hidup seseorang, maka ia terjerembab dalam suasana penuh kegelisahan.

Ketiga, menjaga komunikasi yang baik dengan sanak keluarga, bahkan dengan kolega-kolega terbaik dan terpercaya, juga dapat menekan tingkat gelisah setelah seseorang lepas dari jabatan. Hal ini penting untuk menyalurkan ‘unek-unek’ akibat rasa gelisah selepas dari mengemban jabatan.

Terakhir, ke empat ialah menyalurkan kebaikan melalui keterampilan atau hobi yang ada dalam dirinya. Misalnya, ketika ia hobi travelling, maka silahkan travelling, dan hasil travelling itu dibuat dalam bentuk cerita dan dibagikan ke orang lain. Atau hobi menulis, maka silahkan tulis pengalaman-pengalamannya menjadi sebuah memoar atau otobiografi yang dapat mencerahkan orang lain (***)