(Telaah Hak Keperdataan)

Oleh : Jermias Rarsina (Advokat & Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)

DALAM hukum perdata, ada hak keperdataan yang melekat pada setiap orang selaku subyek hukum. Jika hak tersebut dilanggar, maka dia dapat menggunakan hak yang melekat pada dirinya untuk dapat bertindak atau berbuat sesuatu menurut hukum.

Hak dalam hukum secara universal selalu berarti kekuasaan (kewenangan). Dalam definisi lengkapnya adalah kekuasaan/kewenangan yang dimiliki setiap orang atau badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan berbuat sesuatu. Hak individu atau setiap orang dengan segala akibat hukum yang timbul dari padanya, oleh hukum perdata dijamin dan dilindungi.

Contohnya, protokol penguburan jenazah pasien Covid -19. Secara hukum proses ini merupakan bagian dari pelayanan publik oleh pemerintah sebagaimana telah kita ketahui bersama.

Pelayanan publik tersebut tidak terlepas dari penanganan medis oleh instansi berwenang. Yaitu rumah sakit, unsur pejabat serta tenaga medis lainnya yang diserahi kewenangan di bidang medis sebagai bagian dari Tim Gugus Tugas Covid 19.

Akhir-akhir ini sejumlah kasus penanganan pasien covid oleh Tim Gugus Tugas Covid 19 menjadi polemik yang krusial. Salah satunya adalah jenazah yang meninggal bukan karena positif covid 19, namun dikubur menggunakan protokol penguburan jenazah pasien covid 19.

Kalau hal demikian terjadi, apakah kita dapat menuntut secara hukum, dan hukum mana yang dapat kita berlakukan?

Opini ini berkaitan dengan perbuatan melawan hukum di bidang hukum perdata. Khususnya terkait cara penanganan medis oleh Tim Gugus Tugas Covid 19, dan segala akibat hukum berkenaan dengan protokol penguburan jenazah pasien Covid-19.

Dalam konteks hukum, harus ada perbuatan melawan hukum secara perdata yang berakibat ada kerugian hak perdata.

Menurut hukum perdata, perbuatan melawan hukum atau disebut “On Recht Matige daad ” lebih menekankan pada perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 1365 Jo 1366 KUH Perdata. Pasal ini menjelaskan tiap-tiap perbuatan yang melawan/melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian karena kesalahan atau kelalaiannya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut.

Walaupun demikian, dalam prakteknya praktisi hukum lebih sering memakai yurisprudensi (putusan hakim) berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje) yang lebih mengartikan perbuatan melawan hukum (On Recht Matige Daad) dalam arti luas. Yaitu, setiap perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum, hak orang lain, tata susila, kepatutan, serta kepentingan dan ketertiban umum.

Berkenaan dengan makna perbuatan melawan hukum dimaksud, maka kalau faktanya ditemukan pasien Covid-19 yang meninggal ternyata tidak positif mengidap Covid-19, padahal telah dilakukan protokol penguburan jenazahnya secara Covid-19, maka secara hukum keluarga/para ahli warisnya dapat menuntut dengan mengajukan gugatan keperdataan ke pengadilan.

Alasan hukumnya adalah perbuatan Tim Gugus Covid 19 telah melawan hukum. Yaitu bertentangan dengan peraturan yang berlaku tentang tata cara penguburan secara protokol Covid-19. Atau setidaknya telah melawan hak orang lain, yaitu keluarga/ahli waris dari pasien meninggal bukan karena positif covid yang berhak untuk mengambil dan mengubur jenazah secara lazim. Bukan malah dengan tata cara penguburan menggunakan protokol Covid-19.

Keluarga/ahli waris dapat menuntut kerugian perdata baik bersifat kerugian materil ataupun Im materil, dengan cara berdalil dalam gugatan perdata sesuai duduk kasusnya.

Tuntutan perdata dalam bentuk gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dan ganti kerugian dapat diajukan di Pengadilan. Gugatan kepada Tim Gugus Tugas Covid 19 dan/atau pihak berwenang terkait lainnya sesuai ketentuan yang berlaku tentang tata cara menggugat.

Gugatan perdata PMH disertai ganti kerugian sehubungan dengan kasus tersebut, dalam praktek hukum perdata dapat dibenarkan. Tentunya sepanjang keluarga/ahli waris mampu membuktikan ada unsur kesalahan/kelalaian pada Tim Gugus Tugas Covid 19 berupa melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Atau setidak-tidaknya melanggar hak perdata yang melekat pada keluarga/ahli waris dan telah berakibat kerugian.

Dalam contoh kasus pasien yang meninggal bukan karena positif Covid-19 namun dikuburkan secara protokol penguburan Covid-19. Maka secara hak perdata cukup beralasan hukum dan tidak terelakan. Yaitu, kerugian im materiil mengenai pemulihan hak dan nama baik keluarga/ahli waris. Serta dimungkinkan pula untuk mengajukan tuntutan materiil.

Pemulihan hak dan nama baik keluarga/ahli waris menjadi permasalahan pokok (sentral). Terutama karena publik (masyarakat umum) saat ini sudah menstigma bahwa pasien yang meninggal karena covid 19 adalah suatu aib. Bahkan seringkali jenazah mendapat penolakan dari masyarakat.

Hal itu tentu berdampak buruk bagi keluarga/ahli waris dalam hubungan sosial dengan masyarakat sekitar. Situasi tersebut secara hukum dapat dijadikan ukuran dalam pertimbangan hukum untuk menuntut hak im materiil.

Terlepas dari proses gugatannya, yang terpenting adalah dalam masa pandemi Covid-19 ada peristiwa hukum baru di Indonesia yang berdampak pada sengketa di pengadilan. Yaitu  tentang tuntutan hak keperdataan, terutama pemulihan hak dan nama baik dari stigmatisasi.

Tujuannya, melindungi kepentingan hukum yang berkeadilan, memberikan kepastian dan kemanfaatan. Tentunya bagi keluarga/ahli waris yang ditinggalkan oleh pasien yang meninggal bukan karena terkena positif covid 19, namun dilakukan pemakaman secara protokol Covid 19 (***)