Oleh :  Saadiyah Uluputy, ST (Anggota DPR RI Fraksi PKS)

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut, yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2. Negara maritime ini mempunyai potensi serta keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan, yang sangat besar.

Hal ini merupakan modal besar bagi pembangunan ekonomi, serta dapat dimanfaatkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat.

Luasnya lautan Indonesia ini, menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara produsen perikanan terbesar di dunia. Total produksinya 23 juta ton/tahun dengan rincian 6,5 juta ton disumbangkan oleh sektor perikanan tangkap, dan sekitar 17 juta disumbangkan oleh perikanan budidaya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sektor ini punya potensi sangat besar, 1,3 kali dari PDB alias 130 persen. Jika kita  totalkan potensi ekonomi Indoensia berdasarkan luas wilayah lautnya, maka akan mencapai US$ 1,3 triliun per tahun atau 5 kali lipat dari APBN 2019, yang sebesar US$ 190 miliar.

Ada 11 sektor yang bisa berpotensi menyumbang nilai ekonomi hingga US$ 1,3 triliun ini. Terbesar adalah sektor perikanan budidaya, serta energi dan sumber daya mineral yaitu  US$  200  miliar per  tahun.  Meskipun performa  ekspor perikanan  terus  mengalami perbaikan setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2020 volume ekspor perikanan tumbuh sebesar 8,74% dengan nilai Rp20,57 T.

Namun jika dilihat dari kacamata global nilai ekspor perikanan  masih kalau jauh  dari  Negara-negara dengan  produksi  perikanan,  yang lebih  kecil seperti Vietnam,  India ataupun Thailand. Hal ini menunjukkan masih rendahnya daya saing produk perikanan di kancah perdagangan global.

Senada dengan itu, Bappenas (2014) juga merilis, sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan di Indonesia yang mampu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia.

Sektor perikanan juga memberikan dampak penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada empat kenyataan.

Pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan besar, baik secara kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya.

Ketiga, industri perikanan berbasis sumber daya nasional atau dikenal dengan istilah national resources based industries, dan terakhir Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya yang dimiliki.

Menyimak potensi dan keunggulan sektor perikanan di atas, ada beberapa pandangan yang menjadi diskursus untuk segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, dan pihak berwenang, agar peruntukan hasil perikanan ini benar-benar pro rakyat, rakyat sejahtera. Beberapa pandangan ini, seperti berikut:

Pertama, terkait sertifikasi satu pintu.  Pada saat RDPU dengan para asosiasi pengusaha perikanan beberapa hari lalu, mereka menyatakan bahwa mekanisme sertifikasi seperti SKP, HACCP, Halal dll sebaiknya dilakukan satu pintu dengan alasan efisiensi.

Secara sekilas hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, yang mengamanahkan adanya sebuah lembaga baru guna menangani karantina.

Walaupun, bisa dikatakan proses sertifikasi satu pintu diharapkan dapat memacu pertumbuhan industri, tetapi kami juga meminta transparansinya, lebih cepat, serta semua pelaku usaha bisa memantau proses tersebut dengan baik, tanpa berbelit-belit.

Tak kalah penting juga, pihak terkait harus  melakukan bimbingan dan pembinaan mutu terhadap lembaga/instansi/kelompok yang telah tersertifikasi. Sebab boleh jadi, inovasi dan perbaikan sehebat apapun, tanpa disertai dengan pendampingan, akan menjadi kesia-siaan.

Kedua, tantangan pemisahan pengendalian mutu dan karantina. UU Tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan mengamanahkan pembentukan badan karantina, dan UU No 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Revisi UU 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina dan menfasilitasi usaha perikanan, agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.

Berdasarkan kedua peraturan perundangan tentu saja akan memberikan konsekuensi adanya pemisahan antara pengendalian mutu hasil perikanan, dan karantina yang dulunya di bawah BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan), di mana Karantina akan menjadi Badan Karantina Nasional.

Sedangkan Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan tetap berada di KKP.

Selanjutnya, UU Cipta Kerja mengamanahkan Penyelenggaraan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dilakukan oleh pemerintah pusat (KKP), dan pemerintah daerah. 

Pertanyaannya,  kita ketahui bersama hampir semua daerah belum memiliki sistem  penjaminan mutu hasil perikanan yang memadai. Jangan sampai kebijakan ini akan menjadi bumerang sendiri, bagi upaya peningkatan mutu  hasil perikanan, yang selama ini masih mejadi masalah. Olehnya itu, publik mesti mendapatkan penjelasan kongkrit tentang mekanisme ini.

Ketiga, jumlah produksi dan nilai ekspor belum berbanding lurus. Secara umum Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai produsen perikanan terbesar di dunia. Namun, dari segi nilai ekspor menurut data trademap.com posisi Indonesia, hanya berada di urutan 10 sebagai negara dengan nilai eksportir perikanan terbesar di dunia. Jauh dari Vietnam yang berada di urutan ketiga. Tentu ini menjadi hambatan disaat kita punya peluang besar.

Keempat, produksi rumput laut sangat tinggi, namun nilainya rendah. Dari data produksi perikanan (KKP, 2020), rumput laut merupakan komoditas, yang memiliki produksi terbesar dengan rata-rata 10 juta ton/tahun, dibandingkan dengan perikanan budidaya rata-rata 5,5 juta ton/tahun dan perikanan tangkap rata-rata 7 Juta ton/tahun.

Namun, sangat disayangkan nilai produksinya justru sangat rendah atau tidak sebanding dengan besarnya volume produksinya. Budidaya rumput laut hanya menghasilkan sekitar 20 an M/tahun, PB menghasilkan 160 an M/tahun dan PT menghasilkan 210 an M/tahun.

Olehnya itu, kami meminta Kementerian Kelautan dan Perikana (KKP) perlu mencari jalan keluar permasalahan itu, khususnya dalam disersifikasi turunan dari produk rumput laut, agar meningkatkan nilainya.

Kelima, Unreported  and Unregulated Fishing (IUU Fishing) Pada dasarnya kami dari Fraksi PKS mengapreasiasi segala bentuk upaya, yang dilakukan untuk menindak segala bentuk praktek IUU Fishing.

Namun, kami melihat berbicara mengenai IUU fishing khususnya, yang dilakukan oleh negara asing di perairan Indonesia memerlukan sebuah prespektif, yang jauh lebih luas bukan saja dari aspek penindakan, dan penangkapan. Akan tetapi, yang sering kita lupakan adalah kerjasama.

Pada tahun tahun 2020, terdapat 72 kapal pelaku IUU fishing yang ditangkap KKP sebanyak 17 kapal berbendera Indonesia. Kemudian ada 25 kapal berbendera Vietnam, 14 unit kapal Filipina, 13 kapal Malaysia, serta satu kapal berbendera Taiwan.

Tahun 2021 sampai bulan Maret ada 67 kapal, yang ditangkap dengan rincian 60 kapal berbendera Indonesia, 5 Malaysia dan 2 Vietnam. KKP perlu menjelaskan apakah kapal berbendera Indonesia itu adalah kapal asing ataukah kapal milik warga Negara Indonesia?

Dari data tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan aktivitas kapal asing di perairan Indonesia, yang tertangkap apakah akibat dari masifnya upaya tangkap, atau pengawasan yang dilakukan KKP.

Ataukah sebaliknya karena pengawasan kurang sehingga sedikit kapal asing yang terdeteksi? Sebagai perbandingan satgas 155 di era menteri Susi periode 2014-2019 menangkap 516 kapal di mana 95% adalah kapal asing utamanya Vietnam.

Kami juga melihat salah satu persoalan mengapa persoalan IUU Fishing masih menjadi persoalan utama, khususnya di daerah perbatasan adalah karena minimnya perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Negara tetangga.

Kami meminta KKP menjabarkan persoalan kerjasama ini ke komisi IV, sebab masalah perikanan adalah persoalan transboundary spesies yang membutuhkan kerjasama antarnegara, yang berbatasan. Korea-China Joint Fisheries Committee bisa jadi salah satu contohnya.

Keenam, Impor Komoditas Perikanan. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor produk ikan, Krustasea, Moluska, dan kebutuhannya (HS 03) bernilai US$ 303,91 juta selama Januari-November 2019. Naik 6,19%, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sepanjang 2009-2018, nilai impor produk perikanan melonjak 195,76% secara point-to-point dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya adalah 13,08%.

Kebanyakan impor ikan Indonesia adalah dalam bentuk ikan segar, yang didinginkan atau beku (HS 034). Selama periode Januari-November 2019, impor komoditas ini bernilai US$ 180,93 juta atau 59,53% dari total impor perikanan.

Impor komoditas HS 34 terbanyak datang dari Norwegia. Dalam 11 bulan pertama 2019, impor HS 34 dari negara Skandinavia tersebut tercatat US$ 34,24 juta atau 17,93% dari total impor HS 34.

Impor produk perikanan selain untuk bahan baku diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 58/2018 tentang Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan Selain Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Impor dibatasi hanya boleh untuk pemindangan, umpan, konsumsi hotel, restoran, catering, pasar modern, bahan pengayaan makanan, dan bahan produk olahan berbasis daging lumatan.

Ada hal yang perlu dipertanyakan yaitu mengapa harus mengimpor sesuatu yang bisa dihasilkan sendiri oleh negara kita? Jika industri yang menjadi alasannya, seharusnya pemerintah memperkuat sarana dan pra sarana khususnya logistik perikanan, agar ikan-ikan dari Ambon, Papua, NTT dll dapat memperoleh akses pasar ke industri.

Ini sangat disayangkan, sekaligus mengkritisi kebijakan maritim, yang digaungkan Presiden Jokowi pada tahun 2014, yang belum bisa diterjemahkan dalam bentuk kebijakan teknis, sebut saja tol laut.

Impor ikan ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah, agar fokus pada program yang sudah direncananakan. Jika dievaluasi sekarang berapa pelabuhan laut yang melayani khusus logistik perikanan? Berapa jumlah kapal khusus logistik perikanan yang beroperasi?

Ketujuh, impor garam. Terdapat 2 fase kebijakan impor garam. Pada periode 2014-2017 Mentri susi pada saat itu dianggap menghambat impor komoditas pergaraman, sehingga disinyalir menjadi penyebab industri-industri nasional, yang menggunakan garam untuk produksinya menjadi terhambat.

Pada tahun 2018 Presiden Jokowi memutuskan bahwa kebijakan impor garam tidak lagi membutuhkan rekomendasi kuota dari menteri KKP. Kewenangan rekomendasi impor dikembalikan ke Kementerian Perindustrian. Rencana pemerintah untuk mengimpor garam pada tahun 2021 sebesar 3,07 juta ton merupakan impor garam terbesar sejak tahun 2010. 

Hal ini sangat kontradiktif. Kenapa demikian? KKP setiap tahun mengeluarkan anggaran lebih dari 100 M terkait pergaraman. Melalui kesempatan ini kami perlu mendapatkan informasi, yang jelas sejauh mana program tersebut meningkatkan kualitas garam petani, dan mendorong industri untuk menggunakan garam petani.

Selanjutnya, dari beberapa informasi, yang kami peroleh untuk meningkatkan kualitas garam rakyat tersebut, sebenarnya KKP sudah banyak memberikan input teknologi seperti Penerapan Teknologi Adaptif Lokasi (PTAL), yang disinyalir  dapat meningkatkan kualitas garam rakyat.

Bahkan KKP mengklaim peningkatan harga yang dapat menyentuh  4900/kilogram (biasanya garam rakyat hanya ihargai 300-500/kilo). Tetapi sejauh mana aplikasi teknologi tersebut? karena dengan rencana impor 3 juta ton garam menunjukan ada, yang salah dari kebijakannya bukan dari teknologi yang kita miliki.

Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yang pertama optimalisasi sistem rantai dingin (Cold Chain System) bukan hanya membangun cold storagenamun juga membangun konektivitas khususnya pada daerah lumbung ikan nasional.

Harga ikan bisa dijaga dengan optimalisasi sistem rantai dingin melalui modernisasi sarana dan prasarana penangkapan ikan, baik itu kapal dan unit pengolahan ikan.

Data Kadin bidang kelautan dan perikanan dari 625.633 unit kapal ikan hanya 0,6% atau 3.811 unit yang tergolong modern, dari 380.000 ha tambak undang hanya sekitar 10% yang modern, dari 60.885 unit pengelohan ikan (UPI) hanya 1,2% atau 780 unit yang dikelola secara modern.

Kemudian, kedua mendorong  KKP  untuk  memperkuat  kembali  Sistem  Logistik  Ikan  nasional  (SLIN) sesuai Permen KP No 5 tahun 2014.

Ketiga, mendorong KKP selama 5 tahun ke depan untuk serius mengelola sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT), sehingga   benar-benar menjadi pusat pengembangan kelautan dan perikanan, yang bertujuan untuk ekspor dan menghidupkan perekonomian antardaerah di Indonesia.

Keempat, mengingatkan kembali nawacita Presiden Jokowi tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia, dengan kembali fokus kepada program TOL LAUT sebagai upaya pengembangan ekonomi antarwilayah di Indonesia (***)