Untuk yang ini lebih banyak berhubungan dengan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Di saat bersamaan, banyak pemerintahan level daerah di Indonesia tidak mengindahkan bagian ini.

Dalil dan dalih yang digunakan adalah karena lebih banyak berhubungan dengan masyarakat. Padahal berjalannya Infrastruktur dan struktur idealnya ditopang oleh suprastruktur yang solid.

Pertanyaannya kemudian, apa itu suprastruktur?

Istilah suprastruktur pertama kali diurai oleh Karl Marx melalui teori Marxisme. Pembagian tatanan kemasyarakatan ini jadi populer, salah satunya akibat duet ciamik John J. Macionis dan Keneth Plummer dalam buku Sociologi A Global Introduction (Pearson Prentice Hall, 2005). Menurut Marx, suprastruktur adalah sesuatu yang berasal dari ide masyarakat seperti lembaga-lembaga politik, hukum, agama, budaya, dan kepercayaan lain.

Jika mengacu pada batasan tersebut dan dihubungkan dengan PSBB di Kota Ambon, hal yang perlu disiapkan oleh pemerintah adalah bentuk antisipasi. Terutama jika berkaitan dengan sosial ekonomi.

Maksud saya, bukan hanya seputar pengumuman denda jika terjadi pelanggaran. Atau, bukan pula pada mengatakan keras kepala dan sikap nir-patuh masyarakat. Pemenuhan kebutuhan seharusnya jadi prioritas. Selain itu, melibatkan para tokoh dan ahli terkait dalam rangka persiapan suprastruktur.

Anggaplah semua bentuk aturan terkait PSBB sudah tersebarluas di dalam kota, apakah diikuti dengan identifikasi masyarakat yang akan paling terdampak? Atau, jika jumlah denda dan berlakunya jam malam sudah dipahami oleh masyarakat, bagaimana pemerintah kota menjawab pertanyaan pedagang kecil terhadap ancaman berkurangnya pemasukan nantinya?

Ini kita belum berbicara soal landasan hukum penentuan jumlah nominal denda bagi pelanggar PSBB. Kenapa angkanya sebegitu. Akan dikemanakan denda yang terkumpul tersebut?

Selain hal tadi, bicara yang berhubungan dengan suprastruktur adalah ancaman masyarakat mengidap Cabin Fever Syndrome. Seperti yang dilansir Kompas (14 Mei 2020), penyakit psikis ini akan jadi bagian saat berlakukan kuncitara. Dengan melakukan banyak aktifitas dirumah dalam jangka waktu panjang yang sebelumnya sering keluar rumah, seseorang semakin berpeluang mengalami gangguan psikologi ini.

Gejalanya antara lain; gelisah, motivasi menurun, mudah tersinggung, mudah putus asa, sulit berkonsentrasi, pola tidur tidak teratur, sulit bangun dari tidur, lemah lesu, sulit percaya pada orang sekitar, tidak sabaran, depresi dan sedih. Apakah ini sudah jadi bagian dari antisipasi?

Menurut saya belum terlambat untuk dilakukan. Sekali lagi, virus maharenik bernama COVID-19 selalu mencari dan berpestapora di tubuh yang tingkat kekebalannya lemah. Cabin Fever Syndrome bisa mewujudkan itu.

Saya kira, jika aksentuasi pemerintah kota Ambon hanya pada tersebar luasnya aturan dan angka denda saja, justru akan jadi bumerang bagi mereka. Apalagi jika aspek suprastruktur diatas tidak turut serta jadi prioritas dari penyelenggara negara tingkat kota.

Bisa dibayangkan, niatan tulus gugus tugas penanggulangan COVID-19 akan berujung pada peningkatan angka penderita dan yang meninggal karena Korona. Betul kah, seng? (***)