Oleh : Aswat Rumfot, S.Kep (Ketua Umum Gerakan Nasional Perawat Honor Indonesia (GNPHI) Korda SBT)

Di momentum Hari Perawat Nasional ini saya ingin memberikan perspektif lain bahwa, bagaimana seharusnya perawat bersikap ketika diperhadapkan dengan sejumlah persoalan yang sedang mengemuka.

Dengan tetap memakai pendekatan berfikir kritis dan berparadigma dalam urusan kepentingan perawat yang lebih luas. Tentu kita semua tahu bahwa persoalan hari ini yang dialami oleh perawat begitu kompleks, bahkan, bukan hanya soal kesejahteraan dan kejelasan statusnya. Namun, terkadang perawat juga menjadi korban dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Sebutlah misalnya nasib tenaga honorer yang hingga kini masih terkatung-katung dan tidak jelas arahnya, keluhan insentif rendah atau insentif dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), serta pemutusan kontrak kerja.

Bahkan belum lama ini muncul kebijakan pemerintah terkait seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tidak mengakomodir profesi perawat pada kuota alokasi tenaga P3K yang merata di setiap daerah, kondisi ini tentu ironis dan sangat memprihatinkan.

Mencermati kompleksitas persoalan yang dihadapi saat ini, perawat dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan dua pendekatan. Yakni dengan berfikir kritis dan berparadigma luas. Doktrin dan metode semacam ini sudah diajarkan sejak masih kuliah, hingga kini doktrin tersebut masih relevan untuk dilakukan.

Namun sayangnya, dua metode ini banyak disalahartikan oleh perawat dalam penerapannya menyelesaikan masalah. Bersikap kritis dan berparadigma dalam keperawatan bukan hanya menyangkut urusan melayani pasien semata, namun lebih jauh dari sekedar memberikan pelayanan kepada pasien.

Akumulatif persoalan yang muncul pada profesi perawat adalah sebagai korban kebijakan pemerintah, banyak regulasi dan peraturan yang belum sepenuhnya berpihak kepada tenaga keperawatan.

Sebab itulah kita menyadari bahwa dalam pemerintahan tidak terlepas dari kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh pemangku kebijakan, dan setiap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan akan berimplikasi kepada masyarakat maupun profesi perawat.

Kita juga memahami bahwa suatu keputusan pemerintah adalah hasil dorongan dari seseorang atau kelompok maupun organisasi profesi yang kesemuanya itu memerlukan peran dan keterlibatan dalam politik.

Panggung Politik Perawat

Peran perawat dalam politik telah dilakukan sejak dulu. Tokoh perawat yang berpengaruh Florence Nightingale sudah aktif bergerak melakukan pendekatan dengan tokoh yang berkuasa dalam mendapat suplai SDM yang diperlukan untuk merawat para tentara yang terluka dalam peperangan.

Peran politik perawat hari ini bisa kita lihat yang dilakukan oleh organisasi perofesi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dengan melakukan upaya advokasi dan komunikasi bersama DPR RI dan Pemerintah.

Satu capaian prestisius yang perlu diapresiasi dari gerakan politik perawat adalah lahirnya UU No. 38 tahun 2014 Tentang Keperawatan dan sejumlah regulasi turunannya.

Keterlibatan perawat dalam panggung politik atau perawat yang menjadi politisi masih sangat minim, padahal kita tahu bahwa masalah yang muncul saat ini disebabkan karena perawat jarang sekali dilibatkan dalam dialektika bersama pemangku kepentingan terkait dengan urusan-urusan profesi perawat.

Posisi dan peran perawat dalam politik – birokrasi sangatlah diperlukan, dimana setiap kebijakan memiliki dampak terhadap perawat dan kesejahteraan perawat.

Politik jangan diasumsikan hanya boleh “disentuh” oleh profesi tertentu, atau diperuntukan pada disiplin ilmu tertentu saja. Perspektif yang keliru semacam ini harus dibuang jauh-jauh.

Mengingat ungkapan bijak seorang Filsuf Barat, Socrates, pernah mengemukakan sebuah pernyataan bahwa “Politik adalah Jalan Kebajikan dan Kebajikan adalah Pengetahuan”. Sejalan dengan itu Ilmuan Politik Indonesia, Miriam Budiarjo, menguaraikan bahwa politik merupakan sarana untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies), yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation), kekuasaan (power) dan wewenang (authority).

Bahwa kekuasaan diperlukan, baik untuk melakukan kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses tersebut. Pandangan tersebut tentu menyadarkan kita bahwa untuk mencapai tujuan personal maupun kelompok adalah dengan terjun berpolitik, dan tidak akan ada perubahan yang pasti tanpa gerakan politik.

Posisi dan peran strategis perawat dalam politik diharapkan ikut merumuskan, dan berdialektika sehingga dengannya bisa melahirkan suatu kebijakan dan keputusan yang memihak kepada profesi perawat.

Memasuki Era 4.0 dan Era Millennial ini sudah sepatutnya perawat dibekali dengan pengetahuan terkait dengan politik, bahwa perawat tidak boleh alergi apalagi sampai ada yang fobia dengan politik.

Demi kepentingan dan kemajuan serta kesejahteraan perawat, maka perawat harus berpikir lebih luas dan ikut berperan aktif dalam perpolitikan di Indonesia.

Kehadiran perawat dalam panggung politik terkhususnya di parlemen menjadi satu kekuatan baru bagi profesi perawat untuk memperjuangkan aspirasinya secara langsung dan lebih dekat, melihat aspirasi yang dititipkan kepada selain perawat belum maksimal diperjuangkan, bahkan sama sekali tidak disuarakan.

Bertepatan di hari yang bersejarah ini; Hari Ulang Tahun Perawat Nasional Indoneisa sebagai bentuk refleksi, di usia 47 tahun perawat sudah seharusnya berfikir kritis dan berparadigma luas, bahwa profesi perawat juga memiliki peran aktif dalam dunia politik, tidak sekedar politik pasif. Sebab jika hanya sekedar pasif maka akan sulit mewujudkan harapan dan impian perawat.

Panggung politik adalah tempat mengaktualisasikan kemampuan perawat dan ikut berpartisipasi secara aktif melakukan perubahan dan perbaikan serta memajukan profesi perawat dalam birokrasi dan pemerintahan. Sejalan dengan itu posisi dan peran strategis organisasi profesi sangat diharapkan.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai wadah berhimpunan nya seluruh perawat seharusnya memiliki peran yang sama dalam melahirkan Perawat Politisi / nurse politician.

Diharapkan dengan adanya perwakilan perawat di Parlemen baik di tingkat Nasional maupun di setiap daerah kabupaten/kota mampu menjadi representasi sejawat untuk berdialektika, dan ikut serta merumuskan keputusan dengan pemerintah. Sehingga terciptanya produk regulasi atau kebijakan yang akomodatif terhadap profesi perawat.

Langkah inilah yang saya sebut sebagai bagian dari kontribusi nyata perawat dan panggung politik (***)