Catatan : Mary Toekan Vermeer         

Kisah Romeo dan Juliet bak kisah cinta sepanjang masa. Siapapun yang sedang terbius rasa ini diibaratkan cinta Romeo pada Juliet. Namun apa indahnya ketika cerita cinta mereka harus berakhir bunuh diri ?

Maka belajarlah cinta dari kitab - kitab para ulama. Cinta yang tak akan membawa kita berujung pada hilangnya nyawa justeru membawa pada kemuliaan cinta. Saling mencinta tersebab ikatan cinta yang sama, cinta di jalan Sang Maha Cinta.

Ternyata ulama - ulama itu juga menulis buku - buku yang ringan. Mereka tak selamanya melulu berbicara tentang ilmu fiqih dan tafsir. Mereka juga menulis cerita - cerita mengharu biru, mozaik kehidupan bagi siapapun yang membacanya. Tak sekedar roman picisan ala - ala drama yang digandrungi hari - hari ini.

Bagaimana kisah romantis Buya Hamka pada cintanya Siti Raham? Sang istri yang lebih dulu meninggalkannya. Sepotong kisah mereka dari buku berjudul "Ayah" ditulis putra mereka Irfan Hamka.

Untuk memenuhi undangan KBRI di beberapa negara Timur Tengah, mereka melakukan perjalanan melintasi padang pasir. Melewati kota - kota dari Baghdad hingga Saudi. Sempat dikejar badai pasir, bahkan nyaris mobil mereka terguling. Perjalanan yang  memacu kecepatan degub jantung.

Di tenda keluarga Arab Badui di tengah gurun mereka beristirahat, dijamu dengan daging kambing yang baru disembelih. Kesehatan sang istri sedikit menurun.

Tengah malam, berdua, mereka keluar tenda, saling menggenggam jemari,  menyaksikan keagungan ciptaan-Nya, cahaya gemintang yang bertebaran di langit Allah, menghidu dinginnya aroma gurun.

Lebih lima puluh tahun usia pernikahan mereka, sang istri menemui Tuhannya. Buya tak sanggup menahan kesedihan.

Tiap kali muncul kerinduannya, sang ulama bersenandung cinta, lalu berwudhu mengerjakan sholat taubat dua rakaat, takut cinta pada sang istri mengalahkan cintanya pada sang pemberi cinta mereka.

Cinta yang bersemayam di ruang jantung ini, menyebabkan hadirnya buku - buku di abad pertengahan saat peradaban Islam mencahayai bumi.

Ada buku seni mencinta terbit dari negeri Timur oleh Imam Ibnu Qayyim Al - Jauziyyah berjudul Raudhatul Muhibbin (Taman orang - orang yang jatuh cinta dan memendam rindu).

Dari negeri Barat, seni cinta berjudul Thauq - al Hamaamah (Untaian kalung merpati) ditulis oleh Imam Ibnu Hazm Al - Andalusia.

Mereka buatkan kitab suci cinta agar umat Islam tahu apa arti cinta dan mencinta sebenarnya. Tak kehilangan iman, tak kehilangan akal apalagi sampai berujung pada hilangnya nyawa sebab terperangkap dalam urusan rasa ini.

Cinta yang sama, kebahagiaan yang sama namun menggelar cerita cinta di atas jalan sang pemberi cinta.

"Ingin sekali kurobek hati ini dengan sebilah belati, agar bisa kumasukkan kau dan kudekap  sepenuh hati, agar kau tak pernah berpaling hati, hingga yaumul qiyamah," (Thauq - al Hamaamah, hal. 135. Ibn Hazm Al - Andalusia )

Kisah Ini Berakhir Indah

Umat Islam mendapat keistimewaan bolehnya bertayammum. Bermula dari Harits bin Abi Dhirar, kepala suku bani Musthaliq, mengumpulkan kaumnya dan beberapa suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin.

Berita ini sampai kepada Rasulullah SAW. Setelah memastikan kebenarannya, keluar  perintah Rasulullah membentuk pasukan. Kali ini sang istri Aisyah RA. mendapat giliran menemani Rasulullah ke medan laga menghadapi bani Musthaliq.

Di sebuah daerah bernama Al-Baida atau di Dzatul Jaisy, tiba - tiba pasukan diberhentikan Rasulullah sejenak. Mereka terpaksa bermalam di tempat yang jauh dari mata air.

Apa pasal? Sang istri yang menemani perjalanan itu mengeluh telah kehilangan kalungnya di sekitar area itu.

Cinta dan perhatian Rasulullah kepada istri tercinta ibunda Aisyah, tak mengenal waktu. Betapa Rasulullah memahami usaha sang istri yang ingin terus tampil cantik di mata suami walau harus berulang kali memastikan kalungnya masih melingkar di lehernya sebab pengait yang mulai rusak.

Ma sha Allah. Adakah cinta dan pengertian yang mampu menghentikan perjalanan sebuah pasukan yang sedang menuju medan pertempuran ?

Cinta Rasulullah ini banyak menginspirasi para lelaki muslim yang mencintai istrinya. Bagi wanita, cinta itu harus berbalut perhatian.  Ada perlindungan, ada hormat, ada pujian, ada pujaan, spontan menghadirkan kebahagiaan.

Seperti kisah salah satu Sultan Utsmani yang terkenal paling romantis. Wajahnya dikaburkan dengan cerita palsu. Seakan Sultan yang angkuh, doyan berganti - ganti wanita, cenderung zalim seperti keruhnya cerita Sultan Harun Al - Rasyid dengan dongeng negeri Seribu satu malam.

Adalah Sultan Sulaiman Al - Qonuni, sang  penakluk tiga benua. Sejarah Islam mencatat kiprah dan perjuangannya dengan tinta emas, sebagai penguasa Muslim tersukses di abad ke 16 M.

Dimasa kepemimpinannya, Daulah Utsmani berada di puncak kejayaannya. Wilayahnya terbentang di dua pertiga dunia. Sebuah negara lintas benua. Ia dikenal dengan "Sulaiman The Magnificent ".

Hampir seluruh wilayah Eropa dikuasai Kesultanan Utsmaniyah atau Barat menyebutnya Kekaisaran Ottoman yang mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur.

Demikian pula bagian Afrika. Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al - Jazair, Maroko, Ethiopia dan Somalia adalah bentangan kekuasaan Utsmaniyah.

Sementara wilayah Asia meliputi Syam, Persia, Hijaz, Yaman terus menuju Samudra Hindia. Laut Hitam, Teluk Arab, Laut Merah dan Samudra Hindia dibawah kekuasaan angkatan laut Turki Utsmani.

Tak hanya memiliki kekuatan militer terkuat di dunia, Istanbul juga menjelma menjadi pusat kebudayaan dunia. Sudut - sudut kota penuh sesak oleh bangunan megah berarsitektur sangat indah.

Ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat dan mendapat tempat di mata dunia. Sang pemimpin sendiri bukan hanya panglima militer yang hebat, namun juga seorang sastrawan dengan karya - karya luar biasa.

Puisi cinta yang ditulis beliau untuk permaisuri tercinta Roxelana menjadi terkenal setelah dipublikasikan oleh kantor Arsip Kepresidenan.

Sang panglima mengawalinya dengan bait - bait : "Tahta relungku yang sepi, cintaku, cahaya bulanku, sahabatku, orang terpercayaku, Sultanaku, yang paling cantik diantara yang cantik,”.

Hidupku, alasan hidupku, surgaku, arak Kausar - ku, musim semiku, wajah riang cintaku, hari cerahku, makna hari-hariku, kekasihku bagai gambar yang tersulam di hatiku, daun yang tertawa.

Engkaulah Istanbulku, Kahramanku, bumi Anatoliaku, Badakhshanku, Baghdad, dan Khorasanku, kekasihku yang lebih berharga daripada kota Roma dan seisinya.

Rupanya gemuruh cinta ini dituangkan saat Sang Sultan dalam perjalanan jihadnya membebaskan negeri - negeri Balkan. Dari medan laga Hongaria, Beograd, hingga batas Austria.

Ditengah kecamuk perang yang menyita tenaga dan pikirannya, dikeheningan malam di dalam tenda komando, Sang panglima menulis kan kerinduan pada isteri tercintanya.

Puisi cinta itu dibalas sang isteri, tak kalah puitisnya : "Aku tahu engkau jatuh hati padaku karena kehendak takdir. Menghapus air mata membuat bahagia. Aku kirimkan padamu pakaian yang aku basahi dengan air mataku. Kenakan untukku. Aku tidak menginginkan apa - apa selain kebahagiaanmu."

Aaaahhh !! Sesungguhnya Allah telah menjamin, wanita yang baik akan berpasangan dengan lelaki yang baik (***)

Geldrop,13 Dzul- Qi'dah 1442 H.