Catatan : Rudi Fofid

Maria Margaretha Alacoque Ohoiwutun adalah salah satu cucu saya yang luar biasa. Dia insenyur perikanan, ahli budidaya mutiara dan rumput laut. Kami memanggilnya Meyti. Dia selalu punya banyak solusi dalam situasi kritis. Ketika jalan buntu, Meyti selalu tampil dengan solusi cantik.

Angin reformasi sedang melanda Indonesia. Presiden Soeharto didemo para aktivis di Jerman. Saya dan Meyti duduk di kursi KMP Mujair, melintasi jalur Poka-Galala nan elok. Kami menyaksikan TV menyiarkan berita tersebut.

Kami sedikit terganggu dengan kehadiran tiga bocah penjual kacang. Mereka memang saban hari ada di atas feri. Anak-anak itu selalu ngotot. Maka dengan sedikit terpaksa, saya membeli satu atau dua bungkus yang harganya Rp50 saja. Padahal, saya tidak doyan kacang goreng.

Saya dan Meyti tak pusing lagi dengan berita demo anti Soeharto di Jerman. Pasalnya, Meyti tiba-tiba menunjuk tulang kering salah satu bocah penjual kacang. Pada tulang keringnya, mengalir darah segar.

“Ade, itu kaki mengapa berdarah?” Tanya Meyti.

“Tadi beta tabrak besi di pintu kapal,” kata bocah berkulit kuning itu.

Rupanya dia menabrak ramp-door, bagian depan dan belakang kapal feri yang biasa naik turun.

Meyti dengan tangkas mengeluarkan kotak P3K dari dalam ransel. Ia bersihkan darah di tulang kering, memberi obat, kain has, dan plester. Tersenyumlah anak itu.

“Terima kasih, Tante,” ucapnya dengan senyum manis.

Meyti membeli beberapa bungkus kacang. Saya lantas melakukan wawancara kecil dengan bocah itu.

“Siapa yang goreng kacang?”

“Mama”

“Ade tinggal di mana?”

“Galala”

“Sekolah ka seng?”

“Sekolah. Beta kelas tiga”

“Ade nama sapa?”

“La Rudi”

“La Rudi?”

“Iya. Panggil Rudi juga seng apa”

Saya dan Meyti tertawa. Agak meledak malah. La Rudi terlihat agak tersipu. Meity langsung cepat-cepat klarifikasi.

“Katong seng ketawa Ade. Om ini juga nama Rudi. Kamong dua punya nama sama,” jelas Meyti.

La Rudi memandang saya. Matanya bening. Mata anak Indonesia yang harus bekerja di usia dini membantu orang tua.

Mungkin karena kesamaan nama, secara emosi saya jadi terikat dengan La Rudi. Anak-anak penjual kacang di atas kapal feri sepertinya juga memaklumi. Kalau saya naik feri, mereka tidak mendekat. Mereka malah meneriakkan La Rudi memberitahu kehadiran saya.

Hubungan saya dan La Rudi berlangsung lama. Saya selalu membeli kacang walau saya tidak makan. Saya kantongi saja. Terkadang saya beri Rp500 namun ambil hanya sebungkus. Begitu seterusnya. Berkali-kali juga saya memberi Rp100 tanpa mengambil kacang.

Pada satu kesempatan lain, La Rudi datang kepada saya. Ia memberi sebungkus kacang.

“Ini untuk Om jua. Jangan bayar lagi. Barang sisa satu,” kata La Rudi.

Waktu itu, saya nyaris mengeluarkan Rp100 untuknya. Tiba-tiba saya batalkan niat itu. Saya bersalah andai memberinya uang. Justru saya tidak boleh mencederai niat tulusnya. Maka saya mengambil kacang itu, dan memakannya di hadapan mata La Rudi. Saya yakin dia puas, sebab sanggup memberi kacang gratis kepada saya. Dengan begitu, dia bukan hanya menerima dan menerima, tetapi juga sanggup memberi.

Beberapa bulan, saya tak pernah naik kapal feri. Sebab itu, lama tak bersua La Rudi. Maka ketika dari Ambon ke Poka, saya putuskan naik kapal feri.

Hari masih pagi. Mahasiswa, dosen dan para pegawai Universitas Pattimura berjubel. Ketika hendak naik tangga ke lantai dua, saya kaget La Rudi ada di situ. Dia tersenyum tipis lalu mendekat.

“Kacang, om?”

Saya tersenyum memandang La Rudi yang berdiri di hadapan saya. Lama saya tak jumpa. Lagi-lagi, saya tak suka makan kacang goreng, apalagi pagi-pagi.

Saya dan Rudi bergerak serentak. Saya naik ke anak tangga sedangkan La Rudi berdiri di bawah anak tangga. Tak ada yang membeli kacang La Rudi. Maka saya mengambil sebungkus kacang La Rudi. Dia tidak tahu bahwa saya mengambil kacangnya.

Tiba-tiba La Rudi bergerak menjauhi saya. Rupanya dia mengincar seorang calon pembeli di sebelah sana.

Seorang perempuan usia 50an berbusana orang kantoran memegang lengan La Rudi. Ia menahan gerak La Rudi sehingga bocah itu terhenti. Dia memandang ibu itu dengan heran.

“Ose kalau bajual, musti perhatikan bae-bae. Orang pancuri itu ada di mana-mana,” kata perempuan itu lalu matanya melotot ke arah saya.

“Eh, laki-laki tar tau diri, tar tau malu. Kalaparan Kapa sampe pancuri anak-anak kasiang punya kacang,” teriak perempuan itu.

Dia masih terus ngomel menghardik saya. Saya tidak terlalu risau dengan kata-kata perempuan itu, walau menyakitkan memang. Mata saya melihat kiri-kanan, apakah mungkin ada semacam gerakan main hakim sendiri seperti sering terjadi di mana-mana.

Ternyata orang-orang di atas kapal feri tidak spontan bereaksi. Tapi semua mata memandang ke arah saya.

“Ibu maksud Beta kah yang curi kacang?” Tanya saya kepada perempuan itu.

“Ose jua mo sapa lai? Itu kacang masih ada di ose punya tangan itu,” cetusnya sambil menunjuk sebungkus kacang di tangan saya.

Saya belum sempat membela diri atau melakukan klarifikasi. Saya memandang La Rudi yang bingung karena perempuan itu terus saja bafeto. Tanpa saya duga, La Rudi tiba-tiba berjalan cepat sekali dari jarak lima meter. Dia datang naik anak tangga kedua, berdiri sejajar dengan saya. Tangan La Rudi memeluk pinggul saya.

“Tante! Ini Om Rudi. Ini beta punya Om. Antua biasa kase beta uang banyak-banyak. Antua ambel beta punya kacang saja seng apa-apa. Nanti sabantar antua kase beta uang,” kata La Rudi.

Untuk pertama kali saya mendengar La Rudi bicara dengan kalimat panjang. Biasanya kami komunikasi dengan kalimat yang sangat hemat.

Saya peluk La Rudi. Rudi tetap memeluk keranjang kacang. Saya memandang perempuan cerewet tadi. Dia kini diam dan membuang muka ke tempat lain. Saya juga melihat orang sekeliling. Mereka bagai menonton drama satu babak berjudul Rudi dan La Rudi.

Saya tidak pernah bertemu La Rudi sejak tahun 1999. Jika saat itu dia kelas tiga dan usia delapan tahun, maka kini usianya 25-26 tahun. Kalau bertemu lagi, pasti saya tidak kenal. Luka kecil di tulang keringnya pasti sudah tak membekas.

Saya menulis kenangan manis ini di bekas Benteng Leyden di negeri Hitu, di rumah keluarga Bapak Ali Pelu. Naturalis Rumphius pernah hidup di sini. Rumphius adalah sebuah sejarah besar. Saya menulis kenangan kecil saja tentang La Rudi sambil teringat pada cucu Meyti Ohoiwutun di Kei.

Hidup adalah himpunan kenangan. La Rudi kecil pernah membuat pembelaan besar kepada saya, sebab dia sanggup merawat kenangan.

Salam padamu, La Rudi, di manapun dirimu berada. Selamat Lebaran. Maafkan saya, pernah membuatmu bingung, waktu itu. Saya percaya, kau kini menjadi La Rudi yang tangguh, petarung kehidupan sejati, seperti banyak orang Ambon berdarah Buton yang saya kenal.

La Rudi, saya merindukanmu, sebab ketika saya menjadi terdakwa di pengadilan itu, kau jadi saksi meringankan, sehingga hakim memvonis saya bebas dari segala dakwaan. Tuhan baik. Allah Akbar. Mari rayakan kebesaran-Nya setiap ada detik (*)

Hitu, 1 Juli 2017